perdagangan manusia adalah perekrutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang melalui paksaan, penipuan dengan tujuan memanfaatkan mereka untuk mendapat keuntungan. Pada dasarnya, perdagangan manusia merupakan suatu praktik perbudakan manusia modern yang masih terjadi hingga saat ini.
Menurut Foo Yen Ne,Dalam konteks perdagangan manusia, Malaysia dianggap sebagai negara destinasi dan juga transit bagi aktivitas perdagangan manusia. Alasan dibalik mengapa negara tersebut dijadikan sebagai negara destinasi perdagangan manusia adalah karena faktor perkembangan ekonominya yang pesat. Hal ini kemudian mengakibatkan banyaknya kasus perdagangan manusia yang terdiri dari warga negara asing. Mereka menjadikan Malaysia sebagai negara destinasi untuk mereka mencari peluang ekonomi yang lebih baik. Hal inilah yang kemudian membuat praktik dari perdagangan manusia di Malaysia berkembang.
 Perdagangan manusia di Malaysia ini pada umumnya melibatkan pihak-pihak yang berasal dari negara tetangga, salah satunya adalah Indonesia. Diperkirakan pada tahun 2018 sebanyak 1.9 juta pekerja migran yang berstatus illegal dari Indonesia berada di Malaysia. Mereka terdiri dari perempuan dewasa dan remaja yang menjadi target perdagangan seks, dan pekerja rumah tangga yang tidak mendapatkan perlindungan undang-undang di negara tujuan.
Dalam merespon isu perdagangan manusia, pemerintah setempat telah melakukan berbagai upaya dalam mencegah adanya praktik tersebut. Pada bulan Maret tahun 2021, pemerintah Malaysia meluncurkan UU Anti-Trafficking in Persons 3.0Â yang bertujuan untuk memberantas perdagangan manusia. Akan tetapi, usaha tersebut dianggap kurang dapat membuahkan hasil karena tidak memberantas permasalahan hingga ke akarnya. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh pemerintah Amerika Serikat melalui Laporan Trafficking in Persons (TIP) yang dirilis pada bulan Juni 2021.
Berdasarkan laporan tersebut, upaya Malaysia dalam memberantas perdagangan manusia berada tingkat terendah, yaitu tingkat tiga. Malaysia dinilai gagal untuk berbuat dengan cukup dalam upaya memberantas perdagangan manusia. Pengklasifikasian ini juga didasarkan pada realitas bahwa pemerintah Malaysia belum dapat sepenuhnya untuk memenuhi standar minimum UU perlindungan Korban Perdagangan (Trafficking Victims Protection Act) tahun 2000 dan belum dapat melakukan upaya signifikan untuk menghapus praktik perdagangan manusia di negaranya. Berdasarkan Laporan Trafficking in Persons, Malaysia dianggap tetap menjadi destinasi pilihan bagi para pelaku perdagangan manusia, yang diam-diam memperdagangkan korban yang rentan dari wilayah sekitar ke negara tersebut atau menggunakannya sebagai titik transit untuk memindahkan para korban ini ke daerah tujuan lain.
Ketika Malaysia jatuh ke Tingkat 3 pada tahun 2021 selama pandemi COVID-19, Kementerian Luar Negeri negara tersebut berusaha untuk meresponnya dengan melakukan peningkatan upaya dalam mengatasi masalah human trafficking. Hal ini dilakukan dengan mengamandemen Undang-Undang Anti-Trafficking in Persons dan  Anti-Smuggling Act 2007.
Pada dasarnya NAPTIP 3.0 menggarisbawahi beberapa hal berikut: pertama, menyerukan mengenai adanya intensifikasi penegakan hukum. Hal ini mencakup kerjasama antar lembaga dan kerjasama internasional. Kedua, menyatakan akan adanya kebutuhan kemitraan strategis dengan lembaga pemerintah terkait, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga internasional. Ketiga, NAPTIP 3.0 menguraikan perbaikan mekanisme perlindungan yang ada bagi korban perdagangan manusia. Terakhir adalah UU ini menguraikan upaya untuk mendidik masyarakat terkait dengan perdagangan manusia dan meningkatkan upaya untuk lebih sadar dan menyebarkan informasi penting melalui kampanye media yang efektif. Terlepas dari segala usaha di atas, upaya pemerintah juga harus ditegaskan lagi dan lebih serius dalam menjalin kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat lokal yang relevan di semua tingkatan.
Sebagai negara yang menjaga kedaulatannya, Pemerintah Malaysia hendaknya juga harus meningkatkan pengamanan perbatasan. Hal ini karena pada praktik perdagangan manusia, pelaku dapat memasuki negara bersama dengan korbannya dengan dipersenjatai menggunakan surat masuk yang sah dan dokumen kerja. Oleh karena itu, urgensi untuk memperbaiki dan meningkatkan kapasitas keamanan perbatasan di setiap titik masuk internasional negara tersebut harus ditingkatkan.
Sejak dibentuknya Dewan Anti-Perdagangan Manusia dan Anti-Penyelundupan Migran (MAPO) pada tahun 2008, dinyatakan bahwa terdapat dua lembaga penegak hukum yang bertanggung jawab atas keamanan perbatasan: Polisi Kerajaan Malaysia (RMP) dan Badan Penegakan Maritim Malaysia. Badan ini telah bekerja sama dengan lembaga pemerintah lainnya seperti Departemen Imigrasi Malaysia, Bea Cukai Kerajaan Malaysia, dan Departemen Tenaga Kerja.\
Pemerintah juga membentuk Satuan Tugas Nasional di bawah kendali Angkatan Bersenjata Malaysia untuk meningkatkan integrasi operasi. Selain itu, dibentuk juga kemitraan yang kuat antara Badan Pertahanan Sipil, Kementerian Kesehatan, dan Badan Keamanan Perbatasan Malaysia.
Pada bulan Juli, Undang-Undang Badan Keamanan Perbatasan Malaysia dibubarkan. Mandat badan tersebut kemudian diambil alih oleh RMP. Menurut wakil menteri dalam negeri, Ismail Mohamed Said, hal ini guna meningkatkan efektivitas operasi di daerah perbatasan darat karena polisi memiliki mandat untuk melakukan perencanaan yang efisien dan sistematis melalui Pasukan Operasi Umum, di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri dan Pesanan publik.