Raut sedih terpancar dari wajah Hasna Dani Paita. Beberapa hari terakhir terasa bagai mimpi buruk baginya. Anak pertamanya, Wahyudin S Lamampara, 39, adalah salah satu dari 19 korban tewas dalam ledakan tungku smelter nikel di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) pada Minggu (24/12).
Dalam kisah kelam ini, kita menyaksikan bagaimana mimpi berkumpul bersama keluarga berubah menjadi kenangan pahit bagi Hasna. Sebelum tragedi itu, Wahyudin bercita-cita untuk pulang ke rumah, berkumpul bersama keluarga besar. Namun, keinginan itu sirna bersamaan dengan ledakan mengerikan yang merenggut nyawa pekerja setia PT IMIP.
Percakapan Terakhir yang Meruntuhkan Hati
Melalui sambungan telepon terakhir, Hasna mendengar suara putranya yang penuh harap, bercerita tentang rencana untuk berkumpul di Palu. Tak diduga, itu menjadi kabar terakhir yang Hasna terima dari Wahyudin. Udin, seperti dia akrab disapa, meninggal dunia sebelum dia pulang untuk bertemu keluarganya.
Namun, takdir berkata lain. Udin telah berkumpul dengan keluarganya, tetapi bukan di rumah hangat yang ia impikan. Kini, Hasna hanya dapat merangkai kenangan bersama dengan fotonya yang terakhir kali memeluk sang anak.
Duka yang Tidak Terbayar dengan Kompensasi
Perusahaan memberikan kompensasi finansial kepada keluarga korban, termasuk Hasna, senilai Rp600 juta. Namun, bagi Hasna, uang itu tidak sebanding dengan kehilangan yang dirasakannya. "Kalau saya, tidak bisa anak saya diganti dengan uang... Ya Allah...," tutur Hasna sambil menangis.
Artikel ini menggali bagaimana kompensasi yang diterima keluarga korban hanyalah sekadar angka di atas kertas, sedangkan kesedihan mereka yang mendalam tak terukur dengan materi. Hasna mengungkapkan bahwa, baginya, kepergian Udin telah merampas lebih dari sekadar mata pencaharian; itu merampas sepotong dari hatinya yang tak akan pernah pulih.
Ketidakpastian Keamanan Pekerja dan Tuntutan Perbaikan
Kisah ini juga mengulas ketidakpastian keamanan para pekerja di IMIP. Hasna dan keluarganya masih was-was terhadap keponakannya, Yayat, yang masih bekerja di sana. Ratusan pekerja bahkan berunjuk rasa menuntut perbaikan sistem keselamatan dan kesehatan kerja (K3).