Cara Menanam Jahe di Ladang Kami
Jahe adalah salah satu jenis tanaman yang kami tanam di ladang kami, di Kabupaten Simalungun, Sumut. Harga jahe lumayan mahal dalam beberapa tahun terakhir ini terutama setelah Covid-19. Pada saat Covid itu terjadi, harga jahe tiba-tiba melonjak tinggi karena banyak orang yang mempergunakan jahe sebagai salah satu jenis obat herbal untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Kami pun waktu itu hampir setiap hari meminum rebusan jahe yang dicampur dengan tumbuhan herbal yang lain seperti kulit kayu manis, kunyit, cengkeh dan serai.
Orangtuaku setiap tahun menanam jahe. Kalau kita menanam jahe seperti sekarang ini, memang memerlukan modal yang cukup besar kalau ditanam di lahan yang luas. Kami tidak perlu membeli bibit jahe karena kami bisa menyisakan sebagian dari jahe yang kami tanam untuk dijadikan benih. Biasanya, jahe yang akan kita gunakan sebagai benih dibiarkan sampai cukup tua, daunnya semua sudah berwarna kuning atau rontok dari umbi jahenya. Setelah dipanen, jahe yang akan kita jadikan benih sebaiknya didiamkan untuk beberapa waktu sampai muncul tunas-tunas baru dari mata-mata jahe.
Di kampungku, kalau kami sedang menanam jahe atau panen jahe, bahkan juga dalam proses perawatan jahe seperti membersihkan rumput di ladang jahe, kami anak-anak dan remaja juga turut serta bekerja. Biasanya orang tua kami akan melatih dan menunjukkan bagaimana cara menanam jahe yang benar. Setiap benih jahe diletakkan di jalur yang sudah disediakan, ditekan sehingga tidak mudah tergeser saat proses penutupan jalur. Jalur-jalur penanaman jahe digali dengan kedalaman sekitar 15 cm. Setelah jaluran ditanami jahe, maka jaluran itu akan ditutup dengan tanah sampai jahe tidak tampak lagi. Jarak antara setiap benih sekitar 20 cm.
Biasanya, yang mengerjakan penjaluran adalah orang yang lebih dewasa, yang sudah biasa bekerja di ladang setiap hari. Membuat jalur memerlukan tenaga yang relatif kuat karena harus mengorek jaluran memakai cangkul. Walaupun tanah sudah gembur untuk dijaluri, pembuatan jalur tetaplah memerlukan tenaga yang besar. Kami sebagai anak-anak atau remaja, biasanya mengerjakan yang lebih ringan seperti menanamkan benih-benih jahe di jaluran-jaluran yang sudah tersedia.
Sedapat mungkin, penanaman jahe dilakukan secara serentak, tidak bertele-tele dalam arti ditanam pada hari-hari yang berbeda. Penanaman serentak di lahan yang luas akan mempermudah perawatan dan juga pemanenan. Jahe di lahan yang luas sebaiknya tumbuh secara serentak sehingga mudah merawatnya. Apalagi kalau di wilayah perladangan kami yang dekat dengan hutan, penanaman serentak juga mempermudah kami untuk melakukan penjagaan. Kera-kera dari dalam hutan mau memakan pucuk-pucuk jahe terutama yang baru tumbuh. Jahe masih harus dalam penjagaan dari gangguan kera sampai usia 2 bulan lebih. Kera-kera itu akan mencabut bagian tengah dari pucuk-pucuk jahe dan memakannya. Kalau pucuk-pucuk jahe sudah dicabut, biasanya daun-daun yang ada di bagian bawahnya juga menjadi rusak. Proses pertumbuhan jahe yang pucuk-pucuknya sudah dicabut itu akan terganggu.
Beberapa kali dalam sehari, tanaman jahe yang masih berusia di bawah dua bulan harus diperiksa jangan sampai dimasuki gerombolan kera. Inilah salah satu tantangan yang dihadapi oleh para petani di berbagai tempat di wilayah Simalungun. Para petani tidak selalu bisa berada di lahan pertanian mereka sebab bisa saja mereka mempunyai lahan pertanian di tempat-tempat yang berbeda atau terpisah. Tidak semua memang wilayah pertanian di Simalungun diganggu oleh gerombolan kera, hanya sebagian saja, biasanya yang dekat dengan hutan atau di wilayah itu terdapat banyak pohon-pohon besar.
Gerombolan kera itu sebaiknya tidak kita ganggu. Para petani di kampungku juga tidak mengganggu kera itu. Kami hanya menjaga ladang kami sebaik mungkin pada siang hari sehingga mereka tidak merusak atau mengambili tanam-tanaman kami. Sebagian mereka memang mau juga keras kepala. Walaupun mereka melihat kami ada di ladang kami sendiri, kalau jaraknya masih agak jauh, mau juga mereka masuk ke ladang dan mengambil tanaman seperti jagung. Itu memang cukup menggelikan. Biasanya kami tidak terlalu memusingkan tingkah mereka yang seperti itu. Mungkin mereka sangat kelaparan dan memerlukan makanan.
Menurutku, gangguan gerombolan kera di wilayah perladangan kami yang dekat dengan hutan masih dalam batas yang dapat dimengerti. Orang tuaku mengelilingi ladang jahe dengan mempergunakan jaring sebaik mungkin untuk mengurangi gangguan kera. Hampir setiap hari, kami juga berusaha untuk menyalakan api di dekat ladang jahe untuk memberi tanda kepada gerombolan kera bahwa sebaiknya mereka cari makanan di hutan saja, jangan mengganggu tanaman kami.
Beberapa kali dalam jangka waktu satu sampai delapan bulan, ladang jahe perlu dibersihkan dari berbagai macam rumput. Perlu juga memberikan pupuk tambahan walaupun pada saat menanam, kompos berupa kotoran hewan (ayam) sudah dijadikan alas dari benih. Itu saja belum cukup, harus ada penambahan pupuk setelah jahe berusia sekitar tiga bulan.
Jahe sudah dapat dipanen dan dijual pada usia delapan bulan. Para petani juga sudah dapat memanen dan menjual jahe pada usia enam bulan. Jahe yang dipanen pada usia enam bulan masih digolongkan sebagai jahe-sayur. Harganya pun lebih murah dengan jahe yang dipanen pada usia delapan bulan. Jahe yang dapat dijadikan benih sebaiknya berusia sepuluh bulan. Nah, harga jahe benih juga lebih mahal daripada jahe yang berusia delapan bulan.***
Aku baru memulai channel YouTube-ku di: https://www.youtube.com/@N.AbigaelSihaloho
Silahkan dan terima kasih Anda berkunjung ya. Terima kasih juga untuk dukungan Anda sehingga aku lebih bersemangat mengembangkan channelku dengan cara me: like, share, and sudscribe. Sukses untuk kita semua di mana pun kita berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H