Kota Satria adalah panggilan untuk kota Purwokerto yang berada di provinsi Jawa Tengah. Sempat membaca tulisan tentang kota Purwokerto yang konon terlalu diromantisasi.
Ada rasa terpanggil untuk membagikan kisah kehidupan selama di kota Satria. Kala itu angkatan kuliah ku yang non Purwokerto menyingkat panggilan kota ini menjadi Pewete entah dari mana trend ini muncul namun, sudah menjadi pakem anak-anak non Purwokerto.
Kesan pertama
Aku berasal dari Lampung menuju ke Purwokerto untuk mendaftar kuliah di salah satu kampus swastanya yaitu Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) jurusan farmasi. Aku menggunakan jalur darat via bus lintas provinsi perhentian terakhir di terminal Purwokerto.
Sesampai disana sudah malam, kebeteluan berangkat bersama paman ku yang juga merupakan alumni UMP. Kami dijemput oleh temannya kalau tidak salah pukul 22.00 wib kami tiba.
Kesan pertama melihat kota Purwokerto kala itu tidak terlalu ramai, tidak ada gedung tinggi yang menjulang. Jauh dari apa yang aku bayangkan sebagai anak daerah.
Logat ngapak itu penak
Yup, sebagai anak daerah lampung paparan bahasa jawa sebenarnya sudah cukup sering, dan sebenarnya aku sendiri masih ada keturunan jawanya juga namun, bahasa Jawa ngapak jauh dari kuasa ku.
Aku tidak punya bekal dengan bahasa jawa yang satu ini. Kesan pertama bercengkrama dengan bahasa ngapak ini adalah kocak, lucu, dan menghibur.
Suara dari penutur ngapak ini cukup lantang ketimbang bahasa jawa lainnya. Lantang sekaligus rada cepat dalam berkomunikasi.
Mungkin butuh beberapa bulan aku terbiasa dengan bahasa ngapak, dan memahaminya. Hal yang paling menyebalkan adalah teman-teman ku yang berbahasa ngapak tetap menggunakan bahasa ngapak saat aku berkomunikasi dengan bahasa indonesia yang baku.
Terpaksa, dipaksa, dan akhirnya terbiasa dengan bahasa ngapak walau tidak bisa bertutur dengan lancar aku sudah paham maksud dan makna dari bahasa ngapak.
Ora ngapak ora kepenak dimana bumi dipijak disana kita ngapak.
Perubahan yang pelan namun pasti
Aku tinggal di daerah pinggiran tidak ada cafe yang dijadikan tempat nongkrong atau bercengkrama apalagi tempat untuk melakukan tugas kelompok. Semuanya dilakukan ya di pelataran gedung kampus.
Banyak perubahan Purwokerto cukup besar-besaran banyak hal yang berubah setelah aku tidak tinggal disana.
Dalam tulisannya tersebut aku paham dirinya menyayangi perubahan tersebut namun, untukku perubahan tersebut masih dalam kondisi yang positif. Rasanya masyarakat Purwokerto butuh keriuhan tersebut.
Selama aku tinggal disana teman-teman ku yang asli Purwokerto cukup iri dengan kota-kota lain yang dimana rimpah ruah dengan acara. Mungkin hal ini karena, letak geografi kota Purwokerto yang kurang strategis.
Lingkungan geografis Purwokerto cenderung perbukitan dan terkadang aksesnya hanya bisa dilakukan via darat. Hal ini juga dikeluhkan oleh perantau seperti ku. Aku harus naik bus lintas provinsi yang dimana teman-teman angkatan ku naik pesawat karena, kota tempat kuliah mereka memiliki bandara.
Harus diakui tinggal di Purwokerto itu rasanya nyaman tidak ada macet, fasilitas kesehatan cukup lengkap, biaya hidup tidak mahal, aku ingat tahun 2012 harga kosan ku seharga  Rp 250.000 sudah terisi lengkap ada kasur lemari, listrik, air, juga letaknya dekat dengan kampus. Jika dibandingkan dengan kosan ku saat ini di daerah  Sleman pinggiran harganya 2 kali lipat.
Sehingga tidak apa perubahan terjadi namun, mari kita pantau bersama demi kemajuan kota Purwokerto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H