Buku adalah jendela dunia mungkin dari kita semuanya sering mendengarkan kata-kata ini. Untuk generasiku buku itu suatu hal yang mewah. Aku ingat dulu semasa kanak-kanak ada temanku yang berlangganan majalah Bobo dan itu hanya bisa dilakukan oleh keluarga yang mampu. Untuk yang tidak tahu Bobo itu majalah anak-anak yang cukup terkenal untuk angkatan 90-an.Â
Karena, hal itulah yang membentuk persepsiku akan nilai suatu buku. Ditambah lagi jika ada penulis yang mampu menerbitkan buku. Untukku kedua hal itu sangat luar biasa. Seorang penulis bisa membuat karyanya menjadi buku pun merupakan suatu hal menakjubkan untukku. Apalagi jika mampu menerbitkan buku dan menjualnya. Hal itu sangat menakjubkan karena, mereka bisa mendefinisikan ide mereka menjadi karya yaitu buku.Â
Namun saat ini dengan kemajuan teknologi yang cukup masif. Banyak orang-orang yang sudah bisa menjadi penulis tanpa menerbitkan buku dulu. Sebut saja Raditya Dika seorang penulis yang memulai karyanya melalui Blog pribadinya. Dari sanalah batu loncatannya untuk bisa menerbitkan buku.Â
Kalau dulu untuk menjadi penulis harus mengirimkan naskah dulu ke penerbit barulah bisa menerbitkan bukunya. Itu pun harus melalui proses yang cukup panjang. Ada seleksinya dari editor jika, dirasa tulisannya menarik barulah ada obrolan untuk menerbitkan buku.
Memang dengan kemajuan teknologi saat ini untuk menerbitkan buku tidak seperti dulu. Beberapa kenalan ku sudah pernah menerbitkan buku mereka sendiri. Uniknya penerbitlah yang mencari penulis. Dari hasil pengamatan pribadikup enerbit buku seperti itu disebutnya penerbit indie atau juga disebut penerbit independen. Cukup berbeda dengan penerbit buku yang ada di kepalaku. Sebagian besar penerbit seperti ini membantu menerbitkan buku untuk individu ataupun kelompok yang mau menerbitkan buku.
Penerbit indie ini membantu dan memudahkan para penulis untuk membuat buku mereka. Dari membantu mencetak, editor, pengurusan nomor ISBN (International Standard Book Number ), dan mempromosikannya. Namun yang berbeda adalah sang penulislah yang membayar untuk itu semuanya. Kurang lebih ada dua hal yang perlu dibayarkan oleh penulis yaitu biaya cetak buka dan jasa penerbit. Biasanya penerbit indie sudah membuat paket-paket jasa mereka. Itu sudah disesuaikan dengan kebutuhan bagi si penulis.
Ini berbeda dengan penerbit konvensional yang  dimana merekalah yang membeli karya dari penulis dan untuk menjualnya penulis mendapatkan royalti buku sesuai kesepakatan awal sebelum buku diterbitkan.
Aku awalnya sedikit bingung dan merasa aneh cara kerja seperti itu. Namun kalau melihat secara esensi penerbit indie sebenarnya membantu untuk penulis pemula untuk mengedarkan karyanya. Ya memang untuk beberapa kalangan hal itu cukup aneh aku pun awalnya merasakan yang sama.Â
Namun secara esensi hal itu diperlukan untuk para penulis. Bahkan musisi saat ini pun banyak yang tidak memiliki label musik. Mereka berdikari menjual karyanya sendiri tanpa bantuan label musik. Mereka secara mandiri hidup dari karya.
Sama halnya dengan para penulis sepertinya memang zaman sudah berubah. Tentu ada baik buruknya dalam hal ini. Buruknya adalah penulis akan kesulitan menjual karyanya jika tidak pandai melihat pasar. Baiknya penulis bisa lebih mudah dalam mengekspresikan diri mereka sesuai kehendak diri mereka seperti tidak ada deadline yang harus dikejar.
Menerbitkan dan menjual adalah dua hal yang berbeda. Untuk menjual buku sepertinya memang bukan perkara mudah untuk penulis indie.Â
Aku pribadi sangat mengapresiasi para penulis yang berani menjual buku pribadi mereka.Â
Ide yang baik adalah ide yang direalisasikan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H