akar rumput" pada setiap kontestasi Pemilu atau Pilkada yang berlangsung lima tahunan. Semua orang membicarakan bahwa akar rumputlah yang menentukan pemenang dari kontestasi Pemilihan Umum di tingkat nasional dan daerah.Â
Sering kali kita mendengar istilah "Akar rumput menjadi kartu As untuk meraup keuntungan suara di sistem pemilihan di negeri ini. Setiap masyarakat Indonesia memiliki bobot suara yang sama, suara mereka yang tidak sekolah, para maling, tukang becak, hingga mereka yang berpendidikan tinggi dan berpangkat, bernilai sama. Dengan sistem pemilihan langsung ini maka akar rumput menjadi komoditas yang menggiurkan bagi para politikus di negeri ini.
Akar rumput dikenal dengan mereka yang berada di kalangan arus bawah dan bukan dari kalangan elite. Sebagaimana halnya rumput yang berada di bawah dan selalu diinjak-injak dan mudah tercabut, akar rumput memiliki arti mereka yang gampang terpengaruh oleh para elite.Â
Akar rumput tidak hanya mereka yang berada di status sosial ekonomi rendah, tetapi juga mereka para elite yang mudah dipengaruhi dan tidak memiliki kedaulatan yang kuat. Idiom akar rumput selalu memiliki konotasi buruk karena  mereka adalah individu yang mudah disetir dan dipengaruhi oleh para elite politik untuk mendulang suara. Namun dalam pengertian positif, akar rumput merupakan sekumpulan rakyat mayoritas yang mendukung dan peduli dengan dilandasi prinsip dan semangat perjuangan yang dibutuhkan masyarakat umum.
Kontestasi Pemilu langsung dari tahun ke tahun melahirkan stigma yang buruk bagi istilah akar rumput. Terjadi salah kaprah yang dihasilkan sistem demokrasi, akar rumput yang semula merupakan motor penggerak untuk mendukung calon terbaik di suatu kelompok masyarakat, berubah menjadi komoditas politik yang dicari-cari oleh para elite politik untuk diberi materi.Â
Melihat kondisi demokrasi hari ini, mungkin saja para relawan calon pemimpin adalah akar rumput dalam pengertian negatif. Ketika mereka hanya hanyut oleh pengaruh materi tanpa mengetahui landasan filosofis untuk mengusung salah satu calon pemimpin.
Bahkan yang terjadi adalah calon Kepala Daerah tanpa tedeng aling-aling mengancam dan mengintervensi kelompok masyarakat, Kepala Desa, dan PNS daerah dalam kontestasi Pilkada 2024 di suatu Kabupaten. Ancaman tersebut berupa dicabutnya bantuan, dimutasi ke daerah terpencil, bahkan hingga melibatkan preman untuk mengancam secara fisik.Â
Kejadian tersebut menunjukkan bahwa akar rumput menjadi komoditas bagi calon Kepala Daerah dalam kontestasi Pilkada 2024. Selain itu, para relawan yang mendukung tanpa adanya landasan filosofis dan hanya ikut arus mereka tidak ubahnya seperti akar rumput dalam konotasi negatif.
Sudah menjadi fakta umum bahwa politik merupakan sesuatu hal yang praktis, artinya untuk mencapai tujuan tertentu dibutuhkan hitung-hitungan pragmatis. Hal tersebut berlaku pada calon pemimpin dan masyarakat pemilih.Â
Calon pemimpin memperhitungkan jumlah suara yang akan didapat dengan berbagai strategi. Masyarakat pemilih dengan sikap pragmatisnya untuk mencari keuntungan materi dari masing-masing calon pemimpin.Â
Dalam demokrasi hari ini politik uang yang merupakan pelanggaran pemilu diubah menjadi ongkos politik dan dibiarkan terjadi oleh Bawaslu. Dengan praktik semacam ini akar rumput akan terus menjadi komoditas politik yang menguntungkan para elite apabila ruh akar rumput tidak diubah.