Persoalan pendidikan merupakan suatu hal yang penting dalam keberlangsungan suatu bangsa. Pendidikan dianggap sebagai ujung tombak dari kemajuan suatu peradaban. Negara yang telah merasakan dampak dari pendidikan bagi kemajuan bangsa adalah Jepang. Kurang dari delapan dasawarsa setelah dua kota Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh sekutu, Jepang mampu melesat menjadi negara maju.
Hal itu karena Perdana Menteri Jepang pada saat itu membangun peradaban Jepang melalui pendidikan yang menjadi fokus untuk bangkit dari kehancuran. Artinya, pendidikan menjadi segmentasi sosial yang penting dalam membangun dan memajukan suatu bangsa. Bangsa yang memiliki semangat untuk maju seharusnya memiliki kesadaran dan fokus dalam membangun pendidikan anak-anak bangsanya.
Jika melihat wajah pendidikan Indonesia hari ini sangat menyedihkan. Dilansir dari World Population Review 2022, nilai rata-rata IQ penduduk di Indonesia adalah 78,49. Skor itu menempatkan Indonesia di posisi ke-130 dari total 199 negara yang diuji. Ditambah lagi data mengenai laporan berjudul Digital Civility Index (DCI), netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara, alias paling tidak sopan se-Asia Tenggara.
Data tersebut menggambarkan bahwa ranah kognitif yang tergambar pada rata-rata IQ hanya 78,49 dan ranah afektif yang tergambar pada sikap tidak sopan di sosial media. Ini menunjukkan kualitas pendidikan kita masih rendah dan jauh tertinggal dengan negara-negara di Asia Tenggara. Data tersebut menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan Indonesia. Ada formula yang tidak berjalan optimal dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
Kondisi pendidikan suatu negara tidak lepas dari faktor kondisi sosiologis dari masyarakatnya. Sudah menjadi rahasia umum di dunia pendidikan Indonesia tentang budaya praktik “perjokian”.
Seorang hanya memberikan sejumlah uang kepada pihak penyedia jasa, dan tugas yang menjadi tanggung jawabnya dikerjakan oleh penyedia jasa joki tugas. Tampaknya hampir semua segmentasi pendidikan Indonesia terdapat oknum yang memakai jasa joki untuk menyelesaikan tugas atau penelitian.
Alasannya beragam, ada yang karena faktor malas, sibuk, mendapatkan gelar, naik pangkat dan alasan yang lain. Bahkan, peluang jasa joki tugas sudah menjamur di hampir semua instansi pendidikan, ada yang bergerak perseorangan ada juga yang sudah terorganisir sampai membentuk semacam bisnis yang terstruktur.
Perlu diketahui apa pun alasan yang dipakai untuk menggunakan jasa joki, muaranya adalah pada mentalitas buruk yang dimiliki oknum tertentu. Gambaran dunia “perjokian” ini menjadi fenomena sosiologis yang berkaitan dengan dampak negatif pada dunia pendidikan di Indonesia.
Faktor sosiologis berikutnya yang berkaitan dengan penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah orientasi output pendidikan. Masifnya sosial media yang banyak memengaruhi cara berpikir dan sudut pandang pelajar dalam motivasi mencapai cita-cita.
Tampaknya hari ini lebih sering mendengar seorang anak kecil yang bercita-cita menjadi tiktoker, selebgram, dan youtuber, dari pada menjadi dokter, akademisi, insinyur, ilmuan dan lainnya. Fenomena tersebut, tidak lepas dari faktor sosiologis yang mendorong popularitas dan uang menjadi tujuan sebagian masyarakat Indonesia.
Dengan akses kemudahan menuju popularitas dan kondisi sosiologis mendukung, menjadikan pelajar lebih memilih jalan pintas untuk mencapai cita-citanya, yakni popularitas dan uang.
Fenomena sosiologis ini memberikan kesan bahwa kuliah atau pendidikan menjadi suatu formalitas agar mendapatkan gelar dan agar tidak dimarahi orang tua. Oleh karena itu, banyaknya praktik joki tugas yang menjamur di berbagai instansi pendidikan sebagai alternatif bagi mereka yang memiliki pandangan “yang penting lulus”.
Sesungguhnya banyak faktor untuk menuju pendidikan berkualitas di suatu negara. Tapi selama ini kebanyakan kritik tertuju pada hal teknis seperti kurikulum pendidikan dan kebijakan pemerintah terkait pendidikan saja.
Faktor sosiologis yang merupakan suatu hal yang melekat pada masyarakat terkadang terlupakan. Dua fenomena sosiologis di atas menjadi suatu permasalahan yang terjadi dalam ranah sosiologi pendidikan Indonesia hari ini.
Buruknya IQ dan sopan santun penduduk Indonesia tidak lepas dari kondisi sosiologi pendidikan yang terjadi demikian memprihatinkan. Praktik joki tugas dan orientasi output yang keliru, merupakan dosa sosiologis terhadap keberlangsungan pendidikan Indonesia.
Faktor sosiologis yang demikian berdampak pada kesadaran pelajar terhadap pentingnya pendidikan menjadi hilang. Akibatnya kualitas cara berpikir, wawasan, dan sopan santun menjadi buruk. Tidak heran, jika penduduk Indonesia hanya memiliki IQ 78,49 dan menjadi penduduk tidak sopan dalam interaksi media sosial se-Asia Tenggara.
Permasalahan pendidikan ini menjadi suatu yang perlu diselesaikan oleh berbagai pihak. Pemerintah selaku stakeholder harus merumuskan formula dan membangun kerja sama dengan berbagai elemen masyarakat dalam menyelesaikan masalah ini.
Para akademisi, praktisi, budayawan, konten kreator, dan lain sebagainya harus berupaya untuk bersama-sama memberikan kesadaran kepada pelajar mengenai pentingnya belajar sepanjang hidup.
Belajar dari mana saja, dengan siapa saja, dan di waktu kapan saja, asal memiliki kemauan pasti akan terlepas dari belenggu kebodohan dan buruknya sopan santun.
Fenomena kemudahan akses informasi memberikan manfaat bagi siapa saja yang memiliki kesadaran dan kemauan untuk belajar tentang apa pun. Dengan penanaman kesadaran pentingnya pendidikan yang masif ini diharapkan bisa memperbaiki kondisi pendidikan Indonesia yang memprihatinkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H