Tentunya wacana yang bergulir ini mendapatkan perhatian serius dari berbagai partai kontestan Pemilu 2024. Dilansir dari kompas.com, delapan partai politik telah bereaksi secara terbuka dengan menolak wacana sistem proporsional tertutup. Mereka menganggap sistem proporsional tertutup hanya menimbulkan demokrasi sentralistik para petinggi partai dan rakyat tidak diberi kebebasan untuk mencalonkan diri.
Parpol yang menolak proporsional tertutup juga menganggap sistem proporsional tertutup menjadikan keterbukaan demokrasi yang sudah terjalin mengalami kemunduran. Selain itu, proporsional tertutup juga memungkinkan adanya politik transaksional di kalangan petinggi partai dengan orang yang berambisi dipilih partai sebagai anggota calon legislatif. Oleh karena itu, banyak yang menyebut sistem proporsional tertutup ibarat politik beli kucing dalam karung.
PROPORSIONAL TERTUTUP VS PROPORSIONAL TERBUKA
Bergulirnya isu sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024 mendatang, menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan. Dari sisi pro dengan sistem proporsional tertutup menganggap sistem proporsional terbuka melahirkan legislator yang hanya bermodalkan popularitas dan materi saja.
Pada praktiknya selama tiga periode ini sebagian yang menjadi anggota dewan hanya mereka yang mengeluarkan biaya kampanye dan ‘uang pelicin’ yang banyak. Sebagian yang lain adalah para legislator yang sudah memiliki popularitas, misalnya artis ibu kota dan anak politisi yang belum cukup kompeten menjadi legislator.
Alasan lain pro proporsional tertutup adalah politik uang yang semakin masif di kalangan arus bawah. Tentunya dengan sistem proporsional terbuka siapa saja yang mencalonkan diri harus memiliki modal yang cukup besar untuk berkampanye mendulang suara. Salah satunya dengan melakukan budaya demokrasi negeri ini yakni politik uang. Salam tempel, uang pelicin, uang aspirasi, serangan fajar atau apapun istilahnya menjadi cara jitu untuk mendulang suara tergantung besar/kecilnya nominal yang diterima masyarakat.
Dengan banyaknya para caleg yang melakukan transaksi politik maka, Pemilu dengan sistem proporsional terbuka tak ubahnya seperti politik pedagang kaki lima. Hal tersebut karena banyaknya caleg yang berdagang kekuasaan dengan rakyat serta siapapun berhak berdagang walaupun tidak memiliki kompetensi khusus untuk menjadi legislator.
Selain itu, proporsional tertutup dapat meminimalisir anggaran politik dan ongkos politik, serta mau tidak mau meminimalisir politik uang yang masif yang terjadi di sistem proporsional terbuka. Namun, politik transaksional masih mungkin terjadi di kalangan elite, antara partai dengan calon legislatif yang berambisi menjadi caleg dari partai tertentu.
Proporsional tertutup ini memudahkan masyarakat untuk mengontol wakilnya melalui partai yang dipilihnya. Jika partainya menunjuk nama-nama yang tidak kompeten untuk mengisi kursi DPR maka masyarakat akan memberi rapor merah dan partai terancam kehilangan suara. Oleh karena itu, proporsional tertutup ini menuntut kaderisasi yang berkualitas di internal partai.
Selama ini demokrasi di Indonesia hanya berdasarkan kuantitas banyaknya kader atau pemilih, dengan memanfaatkan kendaraan agama, kondisi ekonomi, popularitas selalu menjadi strategi untuk mendapatkan suara. Â Padahal kualitas kader atau pemilih menjadi hal yang penting bagi kemajuan suatu Negara.
Pernyataan proporsional tertutup seperti membeli kucing dalam karung terbantahkan ketika nama-nama yang diajukan partai adalah orang yang kompeten. Serta kontrol masyarakat yang kritis terhadap partai yang memilih kader yang tidak berkontribusi bahkan berbuat seenaknya di gedung DPR.