Mohon tunggu...
Muhammad Nabhan Fajruddin
Muhammad Nabhan Fajruddin Mohon Tunggu... Lainnya - Petualang Ilmu

Akademisi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menilik Pesta Demokrasi dan Isu Proporsional Tertutup

21 Februari 2023   19:25 Diperbarui: 6 Juli 2023   14:15 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.canva.com/design/DAFnvwv_oh4/GXS-HksZDNcO4aT5SdZBuQ/edit?analyticsCorrelationId=1f8f1d24-2f55-415d-8ad4-d43693f22c43

Kontestasi Pemilu merupakan wujud nyata dari pesta demokrasi dari suatu Negara yang menganut sistem demokrasi. Rakyat Indonesia biasa menyebutnya ‘pesta rakyat’, ya pesta rakyat dalam segala hal. Hiruk pikuk kemeriahan ditandai dengan adanya pesta aspirasi, pesta suara rakyat, pesta harapan baru, pesta pemikiran, pesta gagasan, pesta konsep, dan tidak ketinggalan yang selalu ada mewarnai Pemilu yakni pesta uang.

Tahun 2023 ini menjadi tahun politik bagi para kontestan Pemilu 2024, awal tahun ini sudah mulai muncul spekulasi-spekulasi calon presiden dan wakil presiden, calon gurbernur dan wakil gubernur, hingga calon DPR dan DPRD.  Sesungguhnya pesta rakyat di Indonesia memang selalu ramai dan meriah, adu strategi politik mewarnai kehidupan sosial di tahun politik. Terlepas dari masifnya politik uang di negeri ini, kemeriahan pesta demokrasi menjadi awal harapan rakyat untuk perubahan progresif bangsa ataupun daerah selama satu periode kedepan.

Dilansir dari detiknews, Pemilu 2024 akan dilaksanakan secara serentak, dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi dasar konstitusi pelaksanaannya. Pemilu serentak 2024 nantinya akan memilih lembaga Legislatif (Pileg) 2024 untuk anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota. Serta lembaga Eksekutif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Indonesia dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.

Tentunya dana yang akan dikeluarkan oleh Negara untuk anggaran Pemilu menjadi berkali lipat, yang diperuntukan untuk biaya logistik dan honor petugas Pemilu. Tidak hanya uang APBN saja yang akan bergulir di masyarakat, biaya politik yang akan dikeluarkan para calon untuk kampanye memasang baliho, iklan, dan ‘uang pelicin’ kepada para konstituen menjadi harga yang harus dibayar untuk menjadi peserta Pemilu di Indonesia. Tidak heran, proses demokrasi di negeri ini masih menganut demokrasi transaksional. Peserta Pemilu harus memiliki modal yang cukup besar untuk memenangkan kontestasi Pemilu, karena politik uang sudah membudaya di rakyat Indonesia.

POLITIK UANG

Politik uang menjadi Ironi demokrasi di Indonesia, lebih lagi politik uang selalu terjadi sejak awal Pemilu pasca reformasi di berbagai segmentasi kekuasaan. Padahal praktik politik uang termasuk dari sesuatu yang dilarang, ini tercantum pada pasal 280 ayat 1 huruf j UU N0. 7 Tahun 2017. Namun, politik uang sudah menjadi budaya yang tidak bisa dihilangkan di masyarakat Indonesia. Peran Bawaslu yang seolah pura-pura tidak mengetahui praktik politik uang dengan asumsi ‘itu sudah menjadi hal lumrah dalam Pemilu’. Tak heran, Bawaslu tak ubahnya seperti orang-orangan sawah yang hanya diam saja ketika ada burung yang mencuri padi.

Politik uang akan tetap abadi selama konstituen dalam hal ini masyarakat masih memiliki mental matrealistik dan berpikiran pendek. Ditambah lagi para peserta Pemilu selalu berpikiran jika tidak melakukan politik uang maka kekuasaan yang didamba tidak akan terwujud. Apalagi peran Bawaslu yang hanya sebagai orang-orangan sawah yang hanya diam saja ketika pelanggaran politik uang terjadi.

Beginilah relaitas demokrasi transaksional yang ada di negeri ini, nafsu amarah (jiwa tirani) yang haus akan kekuasaan menyelimuti para peserta Pemilu dan didukung dengan rakyat sebagai konstituen yang haus akan materi. Serta lembaga pengawas yang tidak memiliki integritas untuk menindak sesuatu yang salah, padalah itu adalah tugas utamanya. Sungguh ironi sistem demokrasi yang sudah didesain sedemikian rupa, bersama-sama dilanggar oleh seluruh rakyat dan para stakeholder. Agaknya pantas Pemilu di negeri ini disebut sebagai pesta keserakahan dan kecurangan berjamaah.

WACANA PROPORSIONAL TERTUTUP

Di tengah carut marut demokrasi di negeri ini dengan dinamika politik uang yang tak selesai. Awal tahun 2023 bergulir wacana kemungkinan demokrasi dengan sistem proporsional tertutup, dimana calon legislatif dipilih dan ditentukan oleh partai. Masyarakat nantinya hanya memilih partai bukan lagi memilih calon legislatif yang mencalonkan diri.

Hal ini pertama kali dikemukakan oleh ketua KPU Hasyim Asy’ari, dilansir dari dpr.go.id kemungkinan Pemilu 2024 berlangsung dengan sistem proporsional tertutup. Pasalnya, saat ini MK tengah memproses gugatan uji materi Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2017 terkait sistem proporsional terbuka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun