Indonesia berarti kebineakaan, karena kultur dan budaya yang ada di negara yang katanya gemah ripah loh jinawi ini sangat beranekaragam. Data Badan Statistika Nasional (BPS), tercatat jumlah suku yang tersebar dari Sabang hingga Merauke sejumlah 1.331 suku. Belum lagi perbedaan yang lain, seperti perbedaan agama, budaya, tingkat ekonomi, pendidikan, selera musik, hobi, pemikiran, politik, dan segala bentuk perbedaan yang ada. Nampaknya, permasalahan tersebut membuat founding father bangsa Indonesia sepakat menetapkan semboyan Negara Indonesia dengan "Bhinneka Tunggal Ika", merepresentasikan bahwa perbedaan tak hanya menjadi penyebab konflik saja, tetapi merupakan suatu hal yang sejatinya bisa dipersatukan dalam bingkai negara Indonesia.
Namun, dalam realitas kehidupan yang terjadi dari zaman awal kemerdekaan hingga sekarang masih banyak konflik yang terjadi karena perbedaan dan kebinekaan yang ada, mulai dari perbedaan pendapat hingga konflik karena perbedaan budaya, suku, dan ideologi. Kebinekaan atau perbedaan memang sering menyebabkan konflik karena dalam perbedaan tersebut pasti terdapat ego dari dalam individu. Menurut teori Sigmun Freud tentang psikoanalisis mengatakan bahwa, ego merupakan cara berpikir tentang realitas yang bekerja berdasarkan id atau kepribadian yang melekat. Ditegaskan oleh para ahli psikologi bahwa, konflik disebabkan karena perbedaan-perbedaan baik antar individu maupun antar kelompok.Â
Di tengah berbagai permasalahan tentang perbedaan yang beranekaragam, yang seringkali terjadi adalah perbedaan sudut pandang intra agama. Berdasarkan riset penulis yang menanyakan perbedaan intra agama dalam agama Islam, Budha, Kristen, Katolik di wilayah Telogosari, Semarang, semua tokoh agama mengatakan perbedaan pemikiran dalam intra agama menjadi persoalan yang justru lebih kompleks dibandingkan perbedaan anatar agama. Termasuk dalam agama Islam itu sendiri banyak sekali madzhab yang berbeda dalam menentukan syariat Isalam. Perbedaan pemikiran dan sudut pandang dalam Islam semakin kompleks sejak era kematian Nabi Muhammad SAW hingga sekarang. Hal ini karena Nabi Muhammad SAW menjadi penuntun, suri tauladan, serta juga menjadi imam dalam masalah syariat Islam yang dicintai oleh umatnya, sehingga konflik intra agama jarang terjadi dan tidak sekompleks pada era sekarang ini.Â
Islam sendiri di dalamnya terdiri berbagai aliran, madzhab, pemikiran, sekte, yang kompleks dan menjadi organisasi masyarakat, yang berkembang cukup popular di Indonesia diantaranya adalah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, MUI, Syiah, Al-Irsyad, Salafi, dan lain sebagainya. Konflik khilafiyah atau perbedaan pendapat antar ormas yang cukup konsisten setiap tahun adalah tentang hukum mengucapkan selamat natal, perbedaan metode hisab dan rukyah, doa qunut, praktik tahlilan, maulidan, jumlah adzan dalam shalat jumat, dan lain sebagainya. Permasalahan tersebut berkembang dan menjadi identitas bagi individu tertentu, misalnya ketika membaca doa qunut pada saat shalat subuh berarti individu itu NU, yang tidak tahlilan ditandai Muhammadiyah, dan lain sebagainya.Â
Bahkan, tidak jarang kita jumpai pertanyaan yang cukup unik yakni, "Kamu ikut NU, Muhammadiyah, atau yang lain?" ini merupakan representasi masyarakat yang sangat konsen dalam perbedaan ormas walaupun sama-sama beragama Islam. Namun, terkadang pertanyaan tersebut menjadi suatu hal yang positif dalam komnikasi, tapi juga dapat menjadi hal yang negatif dalam berkomunikasi, orang yang kebetulan sama ormasnya dengan penanya maka cenderung akan menjalin hubungan yang akrab dan juga sebaliknya. Apalagi sekarang ini muncul gerakan salafi yang digandrungi para pemuda yang baru memulai belajar Islam lebih dalam, mereka merasa yang paling benar dan cenderung menyalahkan mereka yang berbeda dengannya. Begitu kompleks aliran dan perbedaan intra agama Islam, yang sejatinya jika konflik itu berlarut-larut maka bukan tidak mungkin umat Islam semakin kacau.Â
Di tengah badai perbedaan yang melanda terdapat suatu kelompok yang bergerak diarus bawah hingga menengah yang selalu bersama-sama menerima perbedaan, bersama-sama belajar, bersama-sama menuju Tuhan, dan bersama dalam bingkai mencapai ridho Allah. Kelompok yang lahir di tengah gejolak reformasi 98 mereka membersamai rakyat arus bawah yang dibumbui shalawat kepada Nabi Muhammad SAW mendoakan negeri ini agar tetap berdiri walaupun pincang. Gerakan yang dipelopori oleh budayawan Muhammad Ainun Nadjib dan grub gamelan Kyai Kanjeng di Jakarta konsisten membersamai rakyat di arus bawah hingga saat ini dan tersebar di berbagai kota, gerakan tersebut dikenal dengan, Maiyah. Seperti namanya "Maiyah" yang memiliki arti kebersamaan, gerakan ini berasaskan cinta dan kebersamaan dalam setiap forum-forum yang digelar di berbagai kota. Maiyah laiknya samudra luas, yang selalu menerima segala material yang dibawa oleh aliran sungai dari berbagai aliran sungai yang berbeda. Segala latar belakang agama, budaya, suku, kelas ekonomi, status sosial, dan lain sebagainya diterima dengan penuh cinta di gerakan Maiyah ini.Â
Salah satu simpul Maiyah di Semarang yang menjadi pengalaman empiris penulis dalam mengetahui dan ikut serta dalam gerakan Maiyah Gambang Syafaat memberikan cakrawala baru dalam melihat entitas kehidupan ini. Maiyah Gambang Syafaat menjadi suatu gerakan yang hadir membersamai masyarakat Semarang dan sekitarnya yang beragam latar belakang, di tengah forum-forum keagamaan yang eksklusif, kaku, dan penuh keformalitasan. Forum kebersamaan yang dibingkai dengan cinta kepada Tuhan dan Nabi Muhammad SAW serta pembawaan yang santai dalam proses sinau bareng dan terkadang diiringi oleh lantunan musik dari Wakijo lan sedulur menambah kemesraan dan kebersamaan di forum ini. Maiyah Gambang Syafaat memberikan cahaya bahwa kehidupan beragama bukan hanya perbedaan tentang sudut pandang hukm Syiah, NU, Muhammadiyah, Salafi, Al-Irsyad, berbagai madzhab, dan sekte saja, tetapi yang menjadi inti dari beragama adalah kesucian hati dalam menuju ridho Allah. Ditambah lagi prinsip dasar dalam Maiyah yakni spiritualitas, keilmuan, dan kegembiraan menjadi bumbu yang meracik masakan agar tidak hanya nampak lezat tetapi benar-benar lezat.Â
Berdasarkan berbagai pengalaman empiris yang dialami penulis dalam beragama dan menghadapi berbagai perbedaan sudut pandang beragama yang terkadang saling menyalahkan satu sama lain, Maiyah Gambang Syafaat menyadarkan penulis bahwa perbedaan pemikiran atau sudut pandang beragama merupakan suatu yang tidak perlu dibesar-besarkan. Sebab melalui kebersamaan dan cinta yang terjalin semua dapat merasakan kenikmatan. Tuhan berfirman dalam Ali Imran ayat 39, Fa bima rahmatallahu linta lahum, maka dengan cinta Tuhanlah manusia dapat berlaku lemah lembut. Manifestasi cinta Allah yang seharusnya diinternalisasi ke dalam diri manusia yang kemudian menghasilkan perilaku lemah lembut dalam menyikapi suatu perbedaan, sehingga bisa terjalin kebersamaan dan kegembiraan yang didasari keridhoan kepada Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H