Mohon tunggu...
Naba Rani
Naba Rani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya ini orangnya gak banyak omong, tapi banyak nulis.\r\nnabarani.tumblr.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ikiko : Sejarah Suku bajo

19 September 2013   20:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:40 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari minggu, terdengar suara-suara perintah dari kepala desa melalui pengeras suara masjid. Instruksi yang harus dijalankan warga rutin pada setiap pagi di hari minggu untuk bergotong royong membersihkan lingkungan dan sekitar pantai. Rasa lelah dan sulitnyaberperahu sebab para nelayan sibuk mengikuti kerja bakti mengacaukan suasana hatiku yang saat itu ingin ke kota untuk memenuhi kebutuhan pribadiku sekaligus persediaan makanan di dapur bersama ibu, istri kepala desa. Aku tak tahu sampai berapa lama aku diperbolehkan tinggal di tempat seperti ini, mendengarkan apa yang mereka bicarakan di atas perahu-perahu itu, memaksaku mengingat apa yang terjadi kemaren sore tentang semua ini..

“Setan itu sudah ku kembalikan ke pulau Jawa, kamu tidak akan merasakan sakit apa-apa lagi..”

Kata seorang wanita tua yang selama beberapa menit tadi memintaku meminum ramuan usai muntah-muntah karna mabuk perjalanan begitu sampai dari perjalanan jauh melintasi pulau ini. menuju pulau Nain, sebelah utara Manado (Sulawesi Utara).

Sejak kuliah di fakultas Budaya dan Sejarah di Ibukota aku hanya sedikit mendengar pulau bersejarah dengan mayoritas suku Bajo ini. Pulau Nain menurut buku yang ku baca berarti perahu-perahu kecil yang singgah di pulau ini, dan masih banyak lagi sejarah lainnya yang masih diperdebatkan orang-orang.

Pagi itu fajar muncul bagaikan sebuah konser yang selaras dengan debur ombak di lautan. Tak ada satupun bunyi mesin kendaraan yang setiap hari ku dengar saat masih di kota. Pembicaraanku dengan keluarga kepala desa sini dimulai dalam bahasa indonesia, sesekali dengan isyarat dan gerakan tangan saat menyesuaikan diri dengan lingkungan keluarga luar yang hanya bisa memakai bahasa daerah.

Aku sungguh-sungguh ingin mengenal penduduk desa ini. Sambil membawa buku catatan aku keluar, ku lihat seseorang yang tak pernah ku lihat di desa ini sebelumnya menuju rumah kepala desa.Kami saling bertukar pandang dan senyuman, selanjutnya begitu ia mengeluarkan beberapa kata menyapa, aku mendapatkan sepercik harapan bahwa desa ini akan lebih mudah ku kenal melalui ia yang merupakan salah satu mahasiswa dari Universitas Negeri di Sulawesi Utara.

Perkenalanku dengan pemuda suku Bajo itulah yang memulai hari-hari menyenangkan disini..

Namaku Rachel, aku berangkat menuju pulau ini dalam sebuah tugas akhir penelitian untuk skripsiku mengenai sejarah suku-suku di Indonesia, dan sialnya aku mendapat tempat sejauh ini. Ku harap kala itu aku masih mendapat suku di pulau jawa yang juga beragam, nyatanya mereka yang memberi beasiswa untuk S2 ku itu menempatkanku di pulau ini. menyesuikan diri dalam keadaan hidup yang kemudian mengacaubalaukan seluruh rencanaku mempelajari suku Baduy di Jawa Barat dan memulai dari awal lagi tentang sejarah suku Bajo ini. Kecemasan membayang dalam hari-hari awalku sejak sampai ke Manado.Sampai akhirnya setelah beberapa hari menyesuaikan diri di desa terpencil yang anggun dalam ketertutupannya ini aku bertemu ia, Jo nama pemuda suku Bajo itu. Wajahnya yang tampan mengguratkan keramahan itulah yang meramaikan hari-hariku menyusuri dan mempelajari sejarah dan budaya suku Bajo.

Di pantai pagi-pagi sekali, Jo berjanji untuk mengantarku mendatangi pesta pernikahan di ujung desa. Begitu mengikuti upacara ini, aku mungkin sosok yang paling asing, menarik perhatian karena aku sendiri secara resmi belum pernah bertemu penduduk desa yang berkumpul sebanyak ini. Namun terlihat satu unsur yang lucu menurutku dari pernikahan sesuai hukum islam suku Bajo

“Jo, untuk apa kaca mata hitam itu?”

“Itu tradisi” Jawabnya singkat

“Pakaian?”

“tradisi juga..” Seperti itulah Jo. Singkat tapi jujur.

Dari apa yang nampak olehku, mempelai duduk di atas sebuah bangku berlapis kain merah muda yang diletakkan di atas panggung. Tokoh-tokoh baru dengan pakaian asing yang mencampuri budaya tradisionalnya menciptakan mempelai pria dengan setelan jas dan dasi hitam. Sementara perempuan mengenakkan gaun putih dengan banyak kerudung. Keringat menetes-netes di kening mereka yang berbedak putih mengingatkan ku bahwa saat ini aku masih berada di atas air, di iklim tropis.

Dibalik kaca mata hitamnya, pengantin pria yang masih saudara Jo itu memanggil Jo. Tak lama Jo memanggilku. Aku diminta khusus oleh pengantin menyanyi bersama mereka. Astaga.

“Boleh nyanyi sama kamu?” Tanya Jo.

Aku berterimakasih ia mau menemaniku. Setidaknya bisa mengurangi sedikit rasa maluku. Dengan suara fals seperti hendak mengacaukan upacara pernikahan, Jo dan aku menyanyikan lagu Kopi Dangdut. Sebentar kemudian, warga bertepuk tangan. Mereka mungkin membayangkan seorang artis ibukota baru saja menunjukkan kemampuannya.

Pernikahan termasuk prinsip keberadaan seseorang dan masyarakat. Orang tak dapat berpaling darinya. Hanya ada satu prinsip bagi Suku Bajo.

Hari itu sesudah sebulan setelah kejadian memalukanku diatas panggung, warga mulai mengenalku. Jo pun semakin sering datang ke rumah. Ia katakan masih bulan depan akan kembali dari kota untuk meneruskan kuliah nya. Jadi ia bisa membantuku meneruskan penelitian ini. Sekali-kali kami berkumpul dengan beberapa warga desa.

“Kok bisa sih Jo meneruskan kuliah?”

Begitulah yang ingin ku tanyakan selama ini sebenarnya. Karena Jo adalah yang paling mencolok dibanding pemuda lain di desa ini yang usai SMA lebih memilih mencari ikan di laut atau berkebun.

“Tidak. Aku tidak meneruskan kuliah saja. Aku bekerja pada Prof Katherine dosen kampus di Manado. Sekali waktu aku mencoba mengikuti ujian, sangat mudah masuk jurusan sejarah saat itu. Saat itulah ia memberiku beasiswa dan menjadikan aku mahasiswa nya.

Dalam beberapa jam aku mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku. Di desa ini bukan hanya orang bajo tapi beberapa transmigran jawa ada yang bekerja sebagai pedagang disini.

“Kau dengar nyanyian itu?” Tanya Jo.

Aku mengangguk.

Kami singgah sejenak di depan rumah Jo usai menyusuri tepi pantai di atas jembatan-jembatan kayu. Diantara perahu penduduk yang tengah bersiap berlayar dengan layar putih, ciri khas suku Bajo yang berkibar tertiup angin dan berbentuk trapesium itu.

“Para penduduk pulau ini dulu memohon kepada ombak yang berada di laut agar perahu mereka tidak bocor. Sebuah kekuatan misterius menjamin mereka kembali dengan keadaan sehat dan selamat.”

Hal seperti ini sudah tidak lagi mengundang rasa ingin tahuku setelah sebulan lebih beradaptasi, meski aku butuh alasan agar masuk akal namun inilah rahasia kebudayaan suku Bajo. Hal ini karena keyakinan. Mereka menyesuaikan diri dengan alam semesta melalui dialog dimana laut memegang peranan penting dan oleh karenanya mereka bisa bertahan hidup ratusan tahun hanya diatas kapal sejak dulu.

“Seorang perempuan anak kepala desa sebelah mengajukan lamaran pada orangtuaku. Lamaran itu ditolak karena ada beberapa peraturan adat yang harus dipenuhi..”

Usai mengantarkan minuman padaku ia mulai bercerita.

“Kalau kau menyukainya mengapa tak kau pertahankan?” Selidikku penasaran.

“Aku mencintai perempuan lain..”

Kemudian ia berdiri dan duduk di sampingku,

“Kamu sudah ada yang punya, Rachel?” Tanyanya membuat perasaanku tiba-tiba canggung.

“Sudah” Jawabku spontan.

“Ayah..” Lanjutku pelan.

“Ha ha kamu melucu” Tiba-tiba ia tertawa. Itulah kali pertama ku lihat ia bisa tertawa keras dengan wajahnya yang berseri. Aku bertambah deg-degan saat ia memegang tanganku.

“Aku mencintaimu sepenuh hatiku..” Wajahnya mendekat dan matanya yang tajam seolah membuatku seperti dipaku. Suaranya semakin lembut, wajahnya serius.

“Aku akan membahagiakanmu dan menikahimu sesudah aku menyelesaikan skripsi beberapa bulan lagi..”

Janjinya diucapkan dengan jelas dan tegas. Selama hidupku belum pernah ada seorang pria yang mengutarakan isi hatinya seromantis itu. Memang ada tapi melalui cara biasa bukan sikap ksatria seperti yang Jo lakukan ini.

Tak memerlukan waktu lama sebab aliran darah dan degub jantung ini mengalun syahdu menunjukkan sebuah anggukan spontan yang aku tak tahu mengapa, dan ia tahu bahwa jawabanku adalah “Ya..”

Hari-hari berlalu, hubunganku dengan Jo semakin nampak. Padahal aku ingin kami tidak mengumbar hubungan ini, namun Jo sudah mengatakan pada kedua orangtuanya dan aku pun memahami apa yang ia lakukan demi memperoleh restu itu. Ku tulis di buku catatanku hari-hari bersejarah kami mengelilingi desa ini, pembicaraan dengan penduduk yang membuatku semakin mengenal kehidupan sehari-hari dan kepercayaan suku Bajo. Meski aku juga mendengar selentingan dari penduduk bahwa gadis anak kepala desa tetangga sebelah yang menyukai Jo itu sakit hati Jo lebih memilihku. Aku juga mendengar mereka menyebut-nyebut “Gadis kota kenapa mau dengan Jo ya...”

Setelah aku pulang ke rumah kepala desa, pandanganku tiba-tiba kabur. Mataku sakit sekali, tiba-tiba aku terjatuh dan tak sadarkan diri. Begitu bangun aku sudah terbaring di sebuah tikar di ruang tengah, di depanku banyak tetangga berkumpul dan pikiranku mencoba mengingat-ngingat lagi apa yang terjadi sambil berusaha berdiri, namun tiba-tiba kepalaku pusing.

“Ini perbuatan setan..” kata Ibu, istri kepala desa.

Sekali lagi ia menjelaskan padaku tentang kejadian itu, bahwa menandakan penyakit ini dikirim oleh seseorang yang tak suka padaku melalui bantuan setan. Aku mengiyakannya.“Menurut kami, kita harus bikin selametan juga sesajen. Dan jika tak ada kemajuan baru kita panggil dokter..

Penduduk desa tak henti-hentinya mengunjungiku, mereka duduk di ambang pintu dan mengamatiku. Aku mengerti bahwa mereka ingin tahu, tapi seseorang yang aku inginkan kedatangannya tak ada. Aku jengkel. Kemana Jo, tapi tak mungkin ku tanyakan pada ibu, aku malu.

Sambil duduk bersila di atas tikar sepanjang serambi rumah kepala desa dan memakan kue dan minum teh yang diletakkan di lantai, keluarga Jo memandang ke arahku. Beberapa perempuan membawa talam berisi makanan dan kue-kue yang ditutupi taplak kecil,

“Apakah menurutmu gadis di sini cantik cantik? Kulit kami hitam. Tapi kamu putih, lebih bagus! Pantas Jo menyukaimu” Kata ayah Jo dengan sopan. Mereka bercanda lagi sementara aku hanya bisa tersenyum menyenderkan punggungku ke dinding.

“Ayah, kamana Jo?” Ku beranikan diri menanyakan hal yang sejak kemaren aku sakit mengganggu pikiranku.

“Akhirnya kamu bertanya juga.. “ Kata salah satu dari mereka.

“Jo tak boleh dekat denganmu sementara kamu sakit ini. karena guna-guna itu telah dikirim oleh gadis yang menyukai jo agar kau berpisah dengannya. Maka semakin dekat kau dengannya. Bahaya! Bisa bertambah sakit kau nanti.”

Aku mengangguk mengerti. Ikatan cinta ini sebagai satu-satunya hubungan yang membuatku bertahan di tempat ini. Karena sebentar lagi masa penelitianku habis.

Ibu berkata padaku bahwa ketika besok matahari muncul penyakit ini akan hilang. Pertunjukan penghilangan setan selama satu jam tadi menguras energiku. Rambutku diacak-acak oleh Mbo Me nama dukun andalan desa ini. Dan si dukun sengaja mengirim penyakit itu kembali pada gadis yang mengirim, meski aku sudah memintanya jangan melakukan hal itu tadi. Sesaat keheningan dari serambi rumah kami begitu Jo tiba-tiba datang. Wajahnya yang berseri menatapku penuh kerinduan.

“Selamat malam..” Ia berjongkok mendekat padaku. Semua warga mulai mengabaikan dan kembali mengurus obrolan masing-masing.

“Aku senang kamu disini..” setiap kali berada di dekatnya aku tak bisa menyembunyikan senyumku. Tapi kali ini aku menangis, menangis bahagia, haru juga lelah.

“Hei, berhentilah menangis. Malu.” Ia berseru sambil mengusap kedua airmata di pipiku.

“Nanti aku temani kamu berkeliling desa ini lagi setelah sembuh..” Kebiasaannya mengalihkan pembicaraan yang dirasa menarik seperti ini selalu berhasil mengambil hatiku.

Malam itu kami berbincang tentang kemungkinan setelah aku kembali ke Ibukota.

“Aku harus mengatakan pada kedua orangtuaku dulu sebelum kau melamar..” Dia terdiam. Aku juga.

“Dengar ya. Setelah aku wisuda aku berjanji akan pergi menemui keluargamu..”

Sedih. Ya itulah yang ku rasakan mengingat sebegitu beraninya aku menumbuhkan cinta di pulau ini tanpa mengingat seberapa kuat adat kedua orangtua ku yang asli jawa mempingit anak perempuannya satu ini, sampai-sampai sebesar ini aku tak pernah dibolehkan pacaran semasa kuliah. Tapi aku melanggarnya, ya! Dan aku tahu itu salah, katula kalau kata orang Bajo. Aku melanggar dan aku bersalah pada kedua orangtuaku.

“Ambilah aku, Jo. Aku takut mengatakan pada mereka aku tlah mempunyai kekasih. Ada keadaan khusus dalam aturan keluarga yang mengharukan aku selesai kuliah sebelum berpacaran, namun aku melanggarnya.. Bagamana ini?” Mungkin demikianlah singkatnya yang dapat ku jelaskan pada Jo.

Ia menerima penjelasanku dan meminta aku tetap bersamanya apapun yang terjadi ke depannya nanti. Kami saling memandang dalam diam. Terperangkap dalam de javu dan sibuk dengan alam pikiran masing-masing menghadapi apa yang akan terjadi di kemudian hari, apakah kami dapat bersama atau tidak.

Pada dasarnya orangtua ingin yang terbaik untuk anaknya, demikian pula proses perjodohan yang dibuat oleh orangtuaku di restoran hotel ini bersama keluarga sepupu jauh kami dari yogya. Aku hanya diam mematung tak merespon perjodohan ini. Ah, aku merindukan Jo. Lima bulan berlalu sejak aku kembali ke Ibukota ini. aku tak pernah menerima telponnya lagi, ia katakan sangat sibuk si kampus dan memintaku bersabar menunggunya. Sampai detik ini pun tak pernah ku ceritakan perihal hubunganku kepada kedua orangtua.

Siang itu seorang pria terbang menuju kota manado dengan penuh senyuman dan menggemakan nyanyian kebahagiaan karena akan menemui seorang gadis yang dicintainya di Ibukota. Bersama kedua orangtuanya, Jo menelpon ia hendak datang melamarku!

Sore itu acara pertunangan tengah disiapkan. Aku saling mencurahkan isi hatiku pada mama yang saat itu langsung memelukku dan mengatakan kenapa tak dari dulu ku ceritakan ini semua. Aku hanya terdiam menunjukkan ketakutanku pada aturan keras keluarga ini, aku takut mereka akan menolakku sebagai anggota keluarga karena sudah melanggar perintah.

Seorang pria datang mengetuk pintu dan saat itu rumah sudah mulai dikosongkan karena acara pertunangan dibatalkan. Jo datang memelukku saat aku baru saja membuka pintu. Aku terbebas dari rasa rindu yang sangat sulit ku pendam saat bertemu dengannya.

“Nama saya Jo. Jo Torosijae. Saya datang untuk melamar anak gadis keluarga ini, Rachel Malinda..” Suara itu memecah keheningan pertemuan dua keluarga yang berbeda jauh sejarah budaya nya ini. aku gemetar juga menunggu jawaban ayah.

“Namun ada syaratnya, kalian harus menikah disini secepatnya. Mumpung keluarga besar kita sedang berkumpul..” Demi keselamatan hubungan ini kamu mematuhi. Aku sebenarnya sangat senang, Jo juga.

Besoknya, upacara akad nikah dilakukan dirumahku menurut hukum Islam. Dag dig dug jantung ku berdebar tak menentu sesaat setelah Jo mengucapkan ijab di sampingku. Ah, tentu lucu. Wajah bukan tanah jawanya itu dipakaikan kain batik, sementara aku memakai kebaya pengantin yang sudah dipersiapkan lama oleh mamaku saat anak gadisnya ini menikah.

Dengan serangkaian upacara adat jawa ini membuat kami membutuhkan banyak waktu berkumpul bersama keluarga dari pihakku. Sementara orangtua Jo seminggu setelah kami menikah meminta ku ikut bersama Jo ke pulau Nain dan juga merayakan pernikahan disana. Keluargaku ikut membotoyong aku bersamanya.

Aku selalu ingin menjadi saksi sejarah suku bajo. Dan hari ini aku menjadi bagian dari ceritanya. Kisah inilah yang aku miliki. Alasan ku bertahan dan kemudian tinggal bersama suku Bajo setelah mendapat restu dari keluarga Jo yang datang menjemputku untuk dipinang menjadi istrinya.

Hari itu hari pertama ku kembali ke pulau Nain, tenda dan atap seng telah selesai dibuat untuk melangsungkan pernikahan adatku dengan Jo. Jo datang berjongkok di sampingku yang sedang termanggu menikmati suasana purnama malam ini.

“Aku mencintaimu, gadis jawa.. “ Ia berbicara dan memandang lembut wajahku.

“Aku mencintamu, pemuda suku Bajo.. Ku percayakan hidupku untuk selalu disisimu selamanya..”

Begitulah.

Mengenang kembali sejarah orang bajo yang mendidik keturunannya dengan budaya kuat, dan akan ku turunkan pada generasi dibawahku. Aku ingin menjadi dosen sejarah dan budaya, dan Jo masih bersemangat dengan pekerjaan barunya. Melanjutkan S2 sekaligus kepala cagar budaya di Manado.

Sesekali aku pergi bekerja ke kota, yah seminggu beberapa kali untuk menceritakan legenda suku Bajo bagi generasi mahasiswa pewaris zaman yang memiliki keinginan seperti ku. Mempertahankan keragaman, mempertahankan kebudayaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun