Mohon tunggu...
Naba Rani
Naba Rani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya ini orangnya gak banyak omong, tapi banyak nulis.\r\nnabarani.tumblr.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Membahagiakan Engkau di Surga

19 Desember 2012   13:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:22 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Assalamu’alaikum nda. Apa kabar mu nak? Maafkan mama mu ya, mungkin beberapa minggu terakhir mama terlalu sibuk bekerja. Jangan ngambek lagi ya. Mama janji bakal pulang minggu depan.”

Sms sama seperti yang kuterima dari pagi tadi. Ini sudah kelima kali nya. Aku sampai bosan membacanya. Aku kesal, pasti itu hanya untuk menyenangkan hatiku karena ia tak jadi pulang sore nanti. Padahal aku rindu, bukannya aku ingin marah padanya. Huuff aku menghela nafas, aku berfikir harus membalas sms nya dengan mengiyakan saja.

Aku melangkah keluar rumah. Aku duduk di bangku taman di teras rumah nenek yang ku tinggali saat ini. Disini awal saat aku mengenal kematian, saat ayah di makamkan dan aku baru berumur 10 tahun.

Kemudian aku mulai bersahabat dengan kesendirian, sekian tahun aku menjadi gadis kecil yang penakut. Aku susah bersosialisasi dengan teman-teman sejak pindah SD, sehingga mereka pun suka iseng dan berbuat nakal padaku. Untung ada embah yang selalu menunggui ku di depan kelas kala itu. Menginjak SMP sampai SMA aku mulai mengerti bahwa aku tak boleh jadi gadis cengeng yang selalu merepotkan orang lain. Aku mulai menghabiskan kesendirianku dengan banyak belajar dan menjadi gadis rumahan yang jarang bergaul main-main keluar. Teman-teman suka mengejek ku sebagai gadis kutu buku. Tapi guru-guru begitu menyukaiku karena aku merupakan anak berprestasi yang sering menjadi perwakilan SMA ke ajang-ajang olimpiade sains tingkat regional dan nasional. Aku sangat bangga akan hal itu, terutama kala mama pulang dari bekerja setiap libur semester ku. Aku pasti bercerita panjang lebar mengenai keseharianku dengan penuh kegembiraan.

Sebenarnya aku selalu menangis kala merindukan mama. Tapi aku menyembunyikannya karena aku liat dia terlalu lelah sambil mengerjakan taman sayur-sayuran di belakang rumah embah sambil mendengar aku bercerita mengenai prestasi-prestasiku. Aku hanya dapat mendengar nasihatnya kala ia akan pergi kembali bekerja, maka aku akan mencium tangannya dan setelah ia berangkat aku akan lari ke dalam kamar sambil menyembunyikan air mataku, padahal aku hanya ingin mengatakan, "Ma, aku menyayangimu.."

Dan hari ini disaat aku baru saja lulus SMA, kulangkahkan menjinjit di antara nisan yang bertuliskan nama-nama.

"Mama. adek kangen. Adek sendirian. Adek pengen sama mama aja"

Aku baru sadar betapa ia sangat menyayangiku selama ini. Aku marah, aku ingin teriak, dan mengatakan betapa aku menyayanginya selama ini.

Air mata ku tak terkendali.

“Temani rianda, ma..”

Aku selalu belajar berdamai dengan kematian. Saat kematian papa dulu, saat kematian embah. Tapi tidak untuk hari ini. Dan aku tak tahu bagaimana aku akan menjalani hari-hari setelah hari ini.

Kematian ini ku anggap sebagai awal dari masa depanku yang akan dipenuhi dengan rasa kesepian. Ujung mata ku mulai membasah..

Teringat pesan mama di rumah sakit sebelum kepergiannya, katanya aku harus melanjutkan sekolah dan ia menyuruhku untuk tinggal dengan bibi sepupu dari bapakku. Maka akhirnya disitulah kisah indahku dimulai, ternyata aku telah lama dijodohkan. Maka menikahlah aku dengan seorang pemuda tetangga desa yang lama merantau ke luar daerah, yaitu mas Agung. Masih kerabat bapak yang dikenal taat beragama. Aku tak mengerti cara keluarga bapak yang kental dengan nuansa islami ini, katanya ini disebut taaruf. Aku mengiyakan saja, toh aku sudah tak punya siapa-siapa lagi dan ini adalah wasiat terakhir dari mama ku.

Teringat dahulu, sewaktu papa dan mama masih ada, katanya mereka berdua juga dijodohkan melalui cara ini, maka aku mengikuti saja. Bersama mas Agung pagi-pagi aku sudah sibuk. Setelah sholat subuh dan membaca Al-Qur’an, ia tenggelam dalam kenikmatan pekerjaanya. Dan aku pergi kuliah. Aku mulai mengenal jilbab dan islam lebih kaffah.

Setiap kali merasa jalan hidup yang ku pilih dengan menikah saat ini kurang tepat, aku teringat mama yang berpuluh-puluh tahun bekerja di luar rumah demi melihat foto wisuda ku terpampang di ruang keluarga. Demi mengais nafkah, ia rela bekerja keras menjadi pembantu di ibukota.

Tidak,aku harus memilih untuk melanjutkan pendidikan ini. Sekaligus menyempurnakan setengah dien. Demi kehormatanku juga.

Dan hari ini aku telah berdiri sebagai seorang PNS di sebuah SD di desa ku. Pesan mama ku dulu, tidak semua wanita desa hanya dapat mengenyam sebatas pendidikan rendah. aku harus sekolah setinggi-tingginya. Hati mama penuh dengankesabaran, perhatian, kasih sayang. Meski dulu tak ku sadari itu.

Dan aku merasakan itu semua hari ini, setelah aku dewasa, berumah tangga, betapa besar kasih sayang seorang Ibu kepada anak-anaknya. Dan semakin yakin setelah melihat beratnya tugasku harus bekerja sekalgus mengurus anakku. Memang benar kata ustadz di pengajian yang ku ikuti, adalah fitrah seorang ibu akan sayang kepada anak-anaknya. Seorang Ibu selalu sabar. Dan aku baru menyadari itu.

Maafkan aku mama, Maafkan aku belum sempat membahagianmu. Ya Allah, maafkan hambamu yang lalai ini, seringkali kali aku terlupa untuk memanjatkan doa-doa untuk mama. Aku akan membahagiakannya di syurga nanti. Karena doa anak shalihah akan diijabah oleh-Nya. Aamiin.

Bersama mas Agung aku menjalani hidupku hari ini dengan penuh kebahagiaan sebagai keluarga muslim secara kaffah. Aku berharap aku bisa membahagiakan mama ku di syurga nanti. Beserta papa dan embah juga. Dan kami sekeluarga dapat hidup bahagia disana, selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun