Mohon tunggu...
Naaila Alifatuzzahra
Naaila Alifatuzzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universsitas Pendidikan Indonesia Kampus Cibiru

Saya Naaila, seorang mahasiswa pendidikan guru sekolah dasar pada Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Cibiru yang memiliki ketertarkan dalam bidang Psikologi.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Hapuskan Budaya Patriarki: Perempuan Bukan Objek, Tapi Subjek Perubahan

20 Desember 2024   13:45 Diperbarui: 20 Desember 2024   15:16 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Aktivis perempuan melakukan aksi peringatan Hari Perempuan Sedunia di Monas, Jakarta, Senin, (8/3/2021). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki) 

Penulis :

Alifatuzzahra. N., Dinnie Anggraeni Dewi., Muhammad Irfan Andriansyah

Patriarki berasal dari istilah patriarkat, yang berarti suatu sistem yang menjadikan pria sebagai penguasa utama, pusat, dan segalanya. Sistem Patriarki ini mendominasi budaya dalam masyarakat. Hal ini mengakibatkan munculnya kesenjangan serta ketidakadilan gender yang memengaruhi beragam aspek kehidupan manusia. Pria biasanya berfungsi sebagai pengendali utama di dalam masyarakat, sementara wanita hanya memiliki sedikit kekuatan atau bahkan bisa dikatakan tidak memiliki hak di area publik dalam masyarakat, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, maupun psikologi, termasuk dalam konteks institusi pernikahan. Ketidakadilan yang terjadi antara peran pria dan wanita ini menjadi salah satu penghalang struktural yang membuat individu dalam masyarakat tidak mendapatkan akses yang setara.

Budaya Patriarki masih dominan di Indonesia hingga saat ini. Permasalahan tersebut dapat dijumpai dalam berbagai elemen kehidupan masyarakat, mulai dari pendidikan, ekonomi, sosial, hingga politik. Sehingga mengakibatkan peran perempuan di ruang terbuka menjadi terbatasi. Adapun, perempuan hanya diarahkan pada pekerjaan yang berhubungan dengan rumah tangga, seperti mencuci, menyiapkan makanan, merawat anak, melayani suami, atau menangani masalah lain yang ada di rumah, sehingga mereka tidak memiliki peluang untuk mewujudkan potensi diri mereka.

Pemahaman yang rendah mengenai kesetaraan menyebabkan perempuan yang sudah menikah kesulitan dalam mengeksplorasi diri mereka. Akibatnya, kelangsungan budaya Patriarki semakin membuat kesetaraan gender di Indonesia tampak seperti sebuah cita-cita yang sulit diraih. Selain itu, patriarki di Indonesia sudah menjadi bagian dari budaya sejak lama. Hal ini menjadi rintangan dalam upaya memperjuangkan kesetaraan gender.

Saat ini, banyak perempuan yang berusaha untuk meraih kesetaraan gender melalui berbagai kegiatan sosial, seperti berkarir dan lainnya. Budaya Patriarki yang ada juga membuat wanita merasa takut tentang pernikahan, Sehingga para perempuan lebih mengedepankan konsep "Independent Woman" yang lebih memilih fokus terhadap karir nya dibanding menikah, serta mempunyai kontrol penuh atas keputusan hidupnya.

Adanya budaya Patriarki mengakibatkan perempuan yang ada di negara ini menghadapi tantangan nya sendiri. Masalahnya, perempuan di Indonesia masih sering mengalami perlakuan yang tidak setara dari masyarakat, terutama dari laki-laki. Hal ini disebabkan oleh adanya pandangan mengenai kekuasaan, yang dimana persepsi ini telah terintegrasi menjadi bagian dari budaya, di mana masyarakat masih meyakini adanya dominasi yang dipegang oleh laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, yang pada gilirannya menyebabkan ketidakadilan dalam akses dan kesempatan bagi perempuan untuk berkembang di bidang-bidang tersebut. Budaya ini tersebut dikenal sebagai budaya Patriarki.

Sebagai bagian dari sumber daya manusia di masyarakat, laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kedudukan sebagai subyek dan objek dalam perkembangan. Mereka memiliki peran yang setara dalam merancang, melaksanakan, memantau, dan menikmati hasil pembangunan. Perbedaan antara keduanya terletak pada kondisi fisik mereka, yaitu alat reproduksi. Pada kenyataannya, perbedaan ini seringkali dipertegas sehingga perempuan dianggap memiliki status yang lebih rendah dibanding pria. Sehingga banyak yang beranggapan bahwa perempuan tetap berada di bawah pria dalam berbagai segi kehidupan.

Foto: Aktivis perempuan melakukan aksi peringatan Hari Perempuan Sedunia di Monas, Jakarta, Senin, (8/3/2021). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki) 
Foto: Aktivis perempuan melakukan aksi peringatan Hari Perempuan Sedunia di Monas, Jakarta, Senin, (8/3/2021). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki) 

Dominasi patriarki yang tidak seimbang dan melenceng dari fungsi inti struktur sosial sering kali menyebabkan ketidakadilan terhadap gender, yang mengarah pada tindakan kekerasan berbasis gender. Kekerasan berbasis gender merupakan cerminan dari maskulinitas yang dominan dan lebih sering terjadi dalam masyarakat tradisional yang enggan berubah, di mana laki-laki dipicu oleh perasaan seperti kemarahan dan kecemburuan yang ekstrim. Dalam masyarakat patriarkal, suami cenderung melakukan kekerasan terhadap istri yang menolak penguasaannya hingga istri tersebut patuh. Tindakan suami memukul istri adalah cara untuk menunjukkan dominasi, dan istri tidak memiliki kemampuan untuk mengancam posisi suaminya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun