Penulis :
Alifatuzzahra. N., Dinnie Anggraeni Dewi., Muhammad Irfan Andriansyah
Patriarki berasal dari istilah patriarkat, yang berarti suatu sistem yang menjadikan pria sebagai penguasa utama, pusat, dan segalanya. Sistem Patriarki ini mendominasi budaya dalam masyarakat. Hal ini mengakibatkan munculnya kesenjangan serta ketidakadilan gender yang memengaruhi beragam aspek kehidupan manusia. Pria biasanya berfungsi sebagai pengendali utama di dalam masyarakat, sementara wanita hanya memiliki sedikit kekuatan atau bahkan bisa dikatakan tidak memiliki hak di area publik dalam masyarakat, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, maupun psikologi, termasuk dalam konteks institusi pernikahan. Ketidakadilan yang terjadi antara peran pria dan wanita ini menjadi salah satu penghalang struktural yang membuat individu dalam masyarakat tidak mendapatkan akses yang setara.
Budaya Patriarki masih dominan di Indonesia hingga saat ini. Permasalahan tersebut dapat dijumpai dalam berbagai elemen kehidupan masyarakat, mulai dari pendidikan, ekonomi, sosial, hingga politik. Sehingga mengakibatkan peran perempuan di ruang terbuka menjadi terbatasi. Adapun, perempuan hanya diarahkan pada pekerjaan yang berhubungan dengan rumah tangga, seperti mencuci, menyiapkan makanan, merawat anak, melayani suami, atau menangani masalah lain yang ada di rumah, sehingga mereka tidak memiliki peluang untuk mewujudkan potensi diri mereka.
Pemahaman yang rendah mengenai kesetaraan menyebabkan perempuan yang sudah menikah kesulitan dalam mengeksplorasi diri mereka. Akibatnya, kelangsungan budaya Patriarki semakin membuat kesetaraan gender di Indonesia tampak seperti sebuah cita-cita yang sulit diraih. Selain itu, patriarki di Indonesia sudah menjadi bagian dari budaya sejak lama. Hal ini menjadi rintangan dalam upaya memperjuangkan kesetaraan gender.
Saat ini, banyak perempuan yang berusaha untuk meraih kesetaraan gender melalui berbagai kegiatan sosial, seperti berkarir dan lainnya. Budaya Patriarki yang ada juga membuat wanita merasa takut tentang pernikahan, Sehingga para perempuan lebih mengedepankan konsep "Independent Woman" yang lebih memilih fokus terhadap karir nya dibanding menikah, serta mempunyai kontrol penuh atas keputusan hidupnya.
Adanya budaya Patriarki mengakibatkan perempuan yang ada di negara ini menghadapi tantangan nya sendiri. Masalahnya, perempuan di Indonesia masih sering mengalami perlakuan yang tidak setara dari masyarakat, terutama dari laki-laki. Hal ini disebabkan oleh adanya pandangan mengenai kekuasaan, yang dimana persepsi ini telah terintegrasi menjadi bagian dari budaya, di mana masyarakat masih meyakini adanya dominasi yang dipegang oleh laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, yang pada gilirannya menyebabkan ketidakadilan dalam akses dan kesempatan bagi perempuan untuk berkembang di bidang-bidang tersebut. Budaya ini tersebut dikenal sebagai budaya Patriarki.
Sebagai bagian dari sumber daya manusia di masyarakat, laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kedudukan sebagai subyek dan objek dalam perkembangan. Mereka memiliki peran yang setara dalam merancang, melaksanakan, memantau, dan menikmati hasil pembangunan. Perbedaan antara keduanya terletak pada kondisi fisik mereka, yaitu alat reproduksi. Pada kenyataannya, perbedaan ini seringkali dipertegas sehingga perempuan dianggap memiliki status yang lebih rendah dibanding pria. Sehingga banyak yang beranggapan bahwa perempuan tetap berada di bawah pria dalam berbagai segi kehidupan.
Dominasi patriarki yang tidak seimbang dan melenceng dari fungsi inti struktur sosial sering kali menyebabkan ketidakadilan terhadap gender, yang mengarah pada tindakan kekerasan berbasis gender. Kekerasan berbasis gender merupakan cerminan dari maskulinitas yang dominan dan lebih sering terjadi dalam masyarakat tradisional yang enggan berubah, di mana laki-laki dipicu oleh perasaan seperti kemarahan dan kecemburuan yang ekstrim. Dalam masyarakat patriarkal, suami cenderung melakukan kekerasan terhadap istri yang menolak penguasaannya hingga istri tersebut patuh. Tindakan suami memukul istri adalah cara untuk menunjukkan dominasi, dan istri tidak memiliki kemampuan untuk mengancam posisi suaminya.
Adapun, Komnas Perempuan taun 2022 mencatat adanya 339.782 kasus kekerasan terhadap perempuan, dan pada tahun 2023 tercatat ada 401.975 kasus terhadap perempuan. Pada tahun 2023, kekerasan paling banyak dialami perempuan adalah kekerasn seksual dengan 15.621 kasus, diikuti oleh kekeraan psiis sebanyak 12.878 kasus, dan kekerasan fisik sebanyak 11.099 kasus. Dengan demikian, dala 10 tahun terakhir terdapat lebih dari 2,5 juta kasus kekerasan berbasis gender yang telah dilaporkan kepda lembanga. Selain itu, kekerasan berbasis gender onlne (KBGO) juga menjadi perhatian khusus karena jumlah kasus meningkat setiap tahunnya.
Ketidaksetaraan gender yang mengakibatkan kekerasan terhadap perempuan merupakan sebuah ksus yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Hak asasi manusia (HAM) merupakan prinsip dasar yang didalamnya menegskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk dihormati dan dilindungi tanpa adanya diskriminasi. Pancasila di Negara Republik Indonesia merupakan dasar Negara yang memberikan landasan dalam perlindungan HAM. Dalam sila kedua pancasila, berisi "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Sila tersebut menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang adil, terlepas dari jenis kelamin. Serta tercantum pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu adanya solusi yang mengintegrasikan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Serta perlu ditingkatkannya edukasi tentang kesetaraan gender dan hak asasi perempuan, mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga masyarakat luas, dengan tujuan membangun kesadaran akan pentingnya perlindungan hak perempuan. Serta perlu adanya akses terhadap layanan hukum dan psikologis kepada korban kekerasan. Peran negara sangatlah penting dalam mewujudkan perlindungan hak perempuan. Oleh karena itu, dengan dijadikannya pancasila sebagai landasan hukum, pemeritah perlu memastikan bahwa semua kebijakan dan program mencerminkan komitmen terhadap kesetaraan gender dan perlindungan hak asasi manusia. Melalui hal tersebut diharapkan dapat terbangun masyarakat yang adil dan beradab, sehingga perempuan dapat merasa aman dan terlindungi dalam menuntut hak-haknya.
Berdasarkan Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women (CEDAW) mengartikan bahwa,"Setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau apaun launnya oleh wanita  terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara Pria dan Wanita". Adapun jenis-jenis kekerasan terhadap perempuan yakni :
- Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan dalam rumah tangga, perkosaan dan lainnya.
- Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga pendidikan dan lainnya.
- Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh Negara
Oleh karena itu, pancasila sebagai landasan dapat memberikan solusi dari permasalahan diatas dengan menerapkan nilai pancasila kelima, yakni "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" yang dimana salaing menghormati hak asasi setiap individu dan menghindari perlakuan diskriminatif berdasarkan gender. Serta menerapkan pula nilai pancasila kedua, yakni "kemanusiaan yang adil dan beradab" pada nilai tersebut ditegaskan bahwa setiap manusia memiliki kedudukan yang sama, tanpa memandang jenis kelamin atau gender.
Salah satu cara implementasi Pancasila dalam menguarngi kekerasan terhadap perempuan yaitu dengan mengenalkan nilai-nilai yang relevan seperti keadilan, persatuan, kesetaraan, dan kemanusiaan kepada seluruh anggota masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan di sekolah dan universitas serta melalui kampanye kesadaran di media sosial. Selain itu, membuat sebuah komunitas yang peduli dan responsif terhadap kekerasan pada perempuan juga merupakan langkah implementasi Pancasila yang efektif. Komunitas tersebut harus melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pihak seperti pemerintah, lembaga pendidikan, keluarga, dan organisasi masyarakat. Maka, implementasi pancasila dalam mengatasi permasalahan kekerasan terhadap perempuan berarti mendorong kesetaraan gender dan menghentikan segala bentuk diskriminasi yang dapat menyebabkan kekerasan pada perempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H