Mohon tunggu...
Arun Dina
Arun Dina Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Presidential Treshold Wujudkan Tata Kelola Politik yang Baik

21 Juni 2018   22:26 Diperbarui: 21 Juni 2018   22:41 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Acara diskusi Komunitas @TentangGolkar di Diskusi Kopi dan Ruang Berbagi, Jakarta Selatan, Kamis (21/06/2018).

Berdasarkan pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum (pemilu), partai politik atau gabungan partai politik harus mempunyai minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu sebelumnya untuk bisa mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Angka 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional ini secara kasat mata memang tak mengindikasikan masalah apa-apa. Karena dengan hitungan kasar, dengan angka tersebut, setidaknya bisa muncul 4-5 pasangan calon presiden maupun wakil presiden yang bisa diajukan. Namun pertanyaannya perlukah pemilu Indonesia menerapkan presidential threshold sebesar 20 persen?

Dalam diskusi publik dengan mengusung tema " Membangun Tertib Politik di Indonesia dan Pentingnya Presidential Treshold " yang digelar di Diskusi Kopi, Jakarta Selatan, Kamis (21/06/2018), terdapat benang merah yang menyatakan bahwa presidential treshold itu baik untuk membangun tertib politik di Tanah Air. Hal itu disebabkan dengan adanya presidential treshold tata kelola politik yang baik dan kokoh mampu diwujudkan khususnya untuk pemilu presiden.

Sebelumnya, banyak yang beranggapan pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur syarat presidential threshold bertentangan dengan pasal 6 UUD 1945 yang mengatur syarat menjadi calon presiden dan pasal 6A ayat 5 yang mengatur tata cara pemilihan presiden.

Anggota DPR RI dari Partai Golkar, Bobby A. Rizaldi menjelaskan, tidak ada hak-hak yang terbungkam lantaran masyarakat yang sesuai dengan peraturan berhak untuk mencalonkan diri.

"Dari perspektif kami, setiap orang berhak mencalonkan diri. Parpol pun berhak mencalonkan diri, tetapi mencalonkan diri dalam pemilu harus ada syarat administrasi. Jadi di sini negara berhak untuk menentukan," terang Bobby.

Bobby melanjutkan, pihaknya tetap menyambut baik usulan judicial review presidential threshold. Apapun hasil keputusannya tersebut, Partai Golkar telah menyiapkan beberapa strategi menghadapi pemilu 2019 mendatang.

"Kita kan ada formasi caleg itu DCT itu kan mulai bulan September, komposisi ini akan memastikan kita mempunyai kekuatan elektoral siapapun capres dan cawapresnya. Kalau untuk penetapan capres cawapresnya ditetapkan secara formal yang akan kita lakukan lagi di Rapimnas," tuturnya.

Sementara itu, pengamat politik Digipol Nurfahmi Budi Prasetyo menerangkan presidential threshold memiliki itikad yang sangat baik. Yakni, untuk memastikan presiden mendapatkan dukungan dari suara mayoritas di parlemen ketika dia menjalankan roda pemerintahan. Selain itu dengan adanya peraturan ini bisa menguntungkan bagi pemerintah yang akan terbentuk.

"Bagi parpol akan menjadikan koalisi sebagai penyatuan kekuatan atau dengan kata lain memperkuat parpol dan parlemen, ibarat sapu lidi yang satu demi satu setelah digabung menjadi satu akan kuat dan kokoh," paparnya menambahkan.

Masih dari penuturan pria yang akrab disapa Fahmi ini, dengan adanya koalisi tersebut akan mendukung jalanya pemerintahan. Seperti, kebijakan-kebijakan pemerintah akan mudah untuk direalisasikan sehingga tercipta kerja sama yang baik untuk kemajuan bangsa serta negara.

Pemilu Efektif

Di tempat dan kesempatan yang sama, aktivis demokrasi Faizal Assegaf menimpali presidential threshold menciptakan pemilu yang efektif dimana jumlah peserta dapat diselesaikan dengan baik. Lanjutnya, pengusungan presiden secara tunggal oleh partai tertentu tidak akan membawa pemerintahan yang solid.

"Kita melihat 0 persen itu tidak rasional, karena presiden butuh dukungan yang konkret dan solid yang bisa membawa seseorang dalam kursi presiden tidak individual. Karena ini merupakan representasi kekuatan politik dalam presidential," ujarnya menutup pembicaraan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun