Berdasarkan pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum (pemilu), partai politik atau gabungan partai politik harus mempunyai minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu sebelumnya untuk bisa mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Angka 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional ini secara kasat mata memang tak mengindikasikan masalah apa-apa. Karena dengan hitungan kasar, dengan angka tersebut, setidaknya bisa muncul 4-5 pasangan calon presiden maupun wakil presiden yang bisa diajukan. Namun pertanyaannya perlukah pemilu Indonesia menerapkan presidential threshold sebesar 20 persen?
Dalam diskusi publik dengan mengusung tema " Membangun Tertib Politik di Indonesia dan Pentingnya Presidential Treshold " yang digelar di Diskusi Kopi, Jakarta Selatan, Kamis (21/06/2018), terdapat benang merah yang menyatakan bahwa presidential treshold itu baik untuk membangun tertib politik di Tanah Air. Hal itu disebabkan dengan adanya presidential treshold tata kelola politik yang baik dan kokoh mampu diwujudkan khususnya untuk pemilu presiden.
Sebelumnya, banyak yang beranggapan pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur syarat presidential threshold bertentangan dengan pasal 6 UUD 1945 yang mengatur syarat menjadi calon presiden dan pasal 6A ayat 5 yang mengatur tata cara pemilihan presiden.
Anggota DPR RI dari Partai Golkar, Bobby A. Rizaldi menjelaskan, tidak ada hak-hak yang terbungkam lantaran masyarakat yang sesuai dengan peraturan berhak untuk mencalonkan diri.
"Dari perspektif kami, setiap orang berhak mencalonkan diri. Parpol pun berhak mencalonkan diri, tetapi mencalonkan diri dalam pemilu harus ada syarat administrasi. Jadi di sini negara berhak untuk menentukan," terang Bobby.
Bobby melanjutkan, pihaknya tetap menyambut baik usulan judicial review presidential threshold. Apapun hasil keputusannya tersebut, Partai Golkar telah menyiapkan beberapa strategi menghadapi pemilu 2019 mendatang.
"Kita kan ada formasi caleg itu DCT itu kan mulai bulan September, komposisi ini akan memastikan kita mempunyai kekuatan elektoral siapapun capres dan cawapresnya. Kalau untuk penetapan capres cawapresnya ditetapkan secara formal yang akan kita lakukan lagi di Rapimnas," tuturnya.
Sementara itu, pengamat politik Digipol Nurfahmi Budi Prasetyo menerangkan presidential threshold memiliki itikad yang sangat baik. Yakni, untuk memastikan presiden mendapatkan dukungan dari suara mayoritas di parlemen ketika dia menjalankan roda pemerintahan. Selain itu dengan adanya peraturan ini bisa menguntungkan bagi pemerintah yang akan terbentuk.
"Bagi parpol akan menjadikan koalisi sebagai penyatuan kekuatan atau dengan kata lain memperkuat parpol dan parlemen, ibarat sapu lidi yang satu demi satu setelah digabung menjadi satu akan kuat dan kokoh," paparnya menambahkan.
Masih dari penuturan pria yang akrab disapa Fahmi ini, dengan adanya koalisi tersebut akan mendukung jalanya pemerintahan. Seperti, kebijakan-kebijakan pemerintah akan mudah untuk direalisasikan sehingga tercipta kerja sama yang baik untuk kemajuan bangsa serta negara.