Kurenungkan kembali mengapa bisa sampai pada tahap ini. Padahal jika dua bulan lalu kuikuti saran teman-temanku, maka aku tak akan beada di sini saat ini. Apa yang membuatku tetap bertahan saat itu?
Satu hal tentang Yusuf dan Zulaikha. Ketika Zulaikha mengejar cinta Yusuf maka ia tak mendapatkan apa-apa. Tapi ketika Zulaikha mengejar cinta Allah, maka Allah balikkan Yusuf untuk Zulaikha. Aku ingat kisah itu yang pernah kudengar pada salah satu ceramah. Sempat aku berpikir “Ya itu kan Zulaikha. Itu kan Yusuf. Kalau aku? Ahhhh..” Akhirnya hanya gumpalan kata yang tersekat tanpa titik yang jelas.
Hingga Ramadhan itu tiba. Kubaca sebuah tulisan menarik karya Ustadz idolaku.
“..jika memandang ke bumi menyesakkan dada, pandanglah ke langit yang melapangkan dan meneranginya. Bagi jiwa yang gundah, sesak dan mencari jawab. Ramadhan tempatnya. Jika tak cukup satu Ramadhan, mungkin yang ketiga. Jika bumi tak mampu memberi solusi, ada langit yang tak lelah berbagi..”
Demikian ia menulis.
Maka Ramadhan itu kupaksakan diriku meluruskan segala niat. Bahwa aku bergerak di kepanitiaan ini karena Allah. Maka doaku adalah hanya kepada Allah. Terlepas dari apakah akan Dia gerakkan “Yusuf”-ku, aku tak peduli. Bukan tak peduli sama sekali. Jelas aku masih peduli. Tapi kukembalikan semua pada-Nya.
“Ya Rabb, jika dia jodohku maka dekatkan dan segerakan. Namun jika dia bukan jodohku, maka gantilah dengan sosok yang jauh lebih baik dan buatlah aku ikhlas ridho menerima semua ketetapan-Mu.”
Demikian kupanjatkan doa itu di hari-hari penuh berkah bulan Ramadhan.
Kami berada di susunan panitia pelaksana salah satu acara di kantor kami. Saat itu setengah mati aku mempertanyakan motifku sendiri tentang mengapa melibatkannya dalam acara ini. Apa karena memang dia punya kapabilitas? Apa aku memanfaatkannya karena unit kerjanya membawahi sarana prasarana kantor sehingga akan lebih mudah untuk izin menggunakan fasilitas kantor untuk acara ini? Atau lebih bahaya lagi karena aku ingin dekat dengannya? Banyak-banyak aku berlindung dari godaan setan yang entah masih berkeliaran atau tidak di bulan Ramadhan ini. “Ah terserahlah! Yang penting acara ini jalan.” Pikirku.
Kulihat dia cukup semangat dan bisa diandalkan dalam acara ini. Aku tak menyangkal bahwa bunga-bunga bermekaran di hatiku. Tapi aku tak berlama-lama menghirup aromanya yang memabukkan. Aku tetap fokus pada acara ini. Fokus juga pada doa yang istiqomah kupanjatkan itu.
Menjelang lebaran, aku mulai merasakan ada perbedaan dengan sikapnya. Lelaki pendiam yang biasanya hanya membalas pesanku seadanya, sekarang agak lumayan menanggapi dengan baik. Aku bukan tak paham dengan aura-aura merah jambu yang mulai melekat di dirinya, tapi aku hanya ingin memastikan. Aku sama seperti perempuan lainnya yang butuh kepastian. Dan kepastian itu harus dinyatakan melalui verbal tidak hanya dengan sikap. Toh menikah pun dinyatakan sah ketika pernyataan ijab qabul itu dilafadzkan dengan lisan kan?
Aku sangat memahami sifatnya yang penuh pertimbangan dan perhitungan itu. Bagaimana aku tahu? Karena kepanitiaan ini. Aku yang cenderung sigap bergerak, versus dia yang hati-hati dan tertata ketika bergerak. Sigap itu tentu saja cepat meski kadang ceroboh. Sementara dia memang tepat tapi jadi lambat. Ah mengapa kami seolah benar-benar saling melengkapi ya? Ketika sisi positif itu digabung, bukankah hasilnya jadi cepat dan tepat?
Meski sejujurnya aku lupa pastinya kapan. Sehari sebelum lebaran atau malam takbiran. Aku benar-benar lupa. Karena bagiku itu tak penting. Yang jelas saat itu aku yang memang rada kurang sabar, terus saja memancingnya untuk berterus terang tentang posisiku di hatinya. Dan ia yang memang penuh pertimbangan itu pun menjawab akan menyampaikan isi hatinya sepuluh hari ke depan. Ah dunia, coba kau pikir! Bahkan menunggu lima menit saja itu sangat menyiksaku, bagaimana dengan sepuluh hari? Maka tak gentar aku untuk menyusun strategi pembobolan isi hati. Akhirnya meski lewat ketikan henpon, aku berhasil melihat isi hatinya yang tetap dengan malu-malu ia perlihatkan padaku. Aku senang. Senang karena Yusuf telah berbalik menghampiri Zulaikha.
Selanjutnya apa? Terang saja aku ingin segera menikah. Bukan karena nafsu. Tapi kembali kucoba luruskan niat karena-Nya. Bukankah menikah itu bernilai separuh agama? Ya aku mau itu. Aku ingin menggenapkannya bersama “Yusuf”-ku. Sebagaimana Yusuf dan Zulaikha yang semakin baik dan berkah setelah menikah dan mengarungi kehidupan karena Allah saja.
Inilah indah. Ketika kata kehilangan makna. Ketika waktu kehilangan harga. Ketika niat diluruskan. Ketika semua dikembalikan kepada-Nya. Ketika Ramadhan menjadi jawaban. Dan akhirnya aku hanya tinggal menanti lamaran resminya lalu ijab qabulnya dengan ayahku. Rabbi, tolong mudahkan. Dekatkan dan segerakan jodohku, kalau bisa dia. Jagalah cinta kami agar tak melebihi cinta kami pada-Mu. Jauhkan kami tipu daya setan. Dan buatlah kami ridho ikhlas menerima segala ketetapan-Mu.
_atrny_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H