Â
***
"Mia,jadi gimana nih?"
"Gimana apanya?"
"Humh Mas Hanif."
"Oh dia cuma becanda,Al. Mungkin karena patah hati sama Rein terus lo gangguin, jadi dia asal sebut aja kalo target barunya elo. Yang gue nggak ngerti, kenapa jadi nama gue ikut-ikut kebawa sih?"
"Hahahaa gara-gara pempek!"
"Hah?"
"Ya elo janjiin dia bawa pempek. Ya jadi deh, dikira temen-temen lo ada apa dengan dia."
"Iew.."
"Hahahaa tapi lo beneran suka ya?" Setengah hatiku berharap dia tidak mengiyakan pertanyaanku.
"Gue lebih setuju kalo Mas Hanif sama lo,Al."
Okay, itu bukan jawaban. Meski aku bukan ahli kode, tapi aku memahami jawaban jenis itu. Mia ngeles!
"Jujur woy!"
"Haha lo kali yang suka sama dia,Al."
"Nah ditanya malah nanya balik. Jawab dulu,baru nanya."
"Okay. Yah diantara temen-temen diklat yah yang paling mendingan ya emang Mas Hanif. Baik kan orangnya,Al?"
"Humh.."
"Lo ngaku juga Al. Lo suka juga kan sama Mas Hanif?"
Wait! Suka juga? Juga? Means Mia mengiyakan kan?"
"Eh nggak gitu,Mia."
Ah jangan payah gitu dong,Al! Mia aja berani ngaku.
"Andai bener gue suka sama Mas Hanif juga, gimana Mia?"
"Ya bagus dong. Gue seneng kalo lo sama dia."
"Elo?"
"Santailah."
Apa-apaan! Dia berani mengalah gitu dan gue?
"Okay kita terbuka aja deh,Mia. Gue dukung lo, lo dukung gue. Gue juga seneng kalo Mas Hanif sama lo."
"Jadi?"
"Ya udah kita terusin aja."
Â
***
Belum pernah aku setenang ini. Sesiap ini untuk kalah. Lalu terbayang jika aku harus hadiri pernikahan Mas Hanif dan Mia. Apakah aku tegar? Tapi bukankah lebih baik melihat orang yang kita sayangin itu sama-sama saling menyayangi? Daripada harus melihat salah satu menikah dengan yang lain dan yang lainnya terluka parah.
Â
***
Jika merah dan hijau tak pernah bersatu, bagaimana warna kuning akan tercipta? Meski mungkin setelah susah payah kuning tercipta lantas langit tak memilih warnanya untuk siangnya. Ya, langit memilih biru.
Â
Â