Mohon tunggu...
N Shalihin Damiri (Bin)
N Shalihin Damiri (Bin) Mohon Tunggu... Penulis - Asal Madura

Bernama lengkap N Shalihin Damiri. Kelahiran Madura. Menulis hal-hal usil. Juga cerpen, puisi dan esai. Cerpen yang sudah dibukukan termaktub dalam Antologi Cerpen Majalah Ijtihad Nama Saya Santri (2014). Santri tulen. Sedang nyantri di PP. Sidogiri Pasuruan. Aktif di Majelis Sastra Kun!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Semangat Berbagi

2 Maret 2017   20:24 Diperbarui: 3 Maret 2017   06:00 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai santri yang menggeluti dunia jurnalistik, saya selalu menggebu-gebu jika ada teman kamar yang bertanya perihal duniaku itu. Senang sekali bisa melihat teman-teman seperti menemukan pengalaman baru melalui cerita serunya bergiat di dunia jurnalistik. Tentu saja saya terus menekan dan mengajak mereka menulis dengan baik, sebab saya sadar, ranah dakwah santri masih banyak yang kosong, termasuk di dunia literasi yang sebenarnya dunia santri sendiri.

Saya aktif di majalah IJTIHAD milik Organisasi Murid Intra Madrasah (OMIM) Aliyah Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan Jawa Timur. Tentu ada kebanggaan tersendiri bisa berkhidmah ke salah satu pesantren tua ini. Selain sibuk ngaji, sekolah dan menunggu kiriman, tentu saya punya kegiatan yang luar biasa menantang; menerbitkan majalah!

Kegiatan padat tidak membuat saya lelah, karena saya sadar-menyadari apa yang saya tekuni. Teman-teman sering menyindir, atau juga mungkin sebagai ungkapan kasihan karena saya memiliki jadwal kegiatan super padat. Ada yang bilang, “Wah, mulai punya titel S tiga, nih.” alias Santri Super Sibuk.

Dari aktifitas ini, pengalaman menarik saya dapatkan. Ketika itu saya dan Sekretaris Redaksi majalah IJTIHAD, Muhammad, mendapat tugas menggali informasi ke Pondok Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo. Pesantren tua yang melahirkan banyak ulama ini berdekatan dengan Pesantren Al-Khoziny. Kebetulan, saya punya teman yang nyantri di Al-Khoziny, Tajul Lail namanya. Ia menyambut dengan hangat ketika saya tiba di pesantren yang dulu saya kenal melalui nasyidnya. Ini merupakan pertemuan dua insan yang sempat merasakan suka-duka, kekonyolan dan perjuangan bersama saat nyantri di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Arrahmaniyah (RUA), Pramian Sreseh Sampang Jawa Timur.
Kisah berlanjut, pengalaman-pengalaman baru kian terangkai. Dari Al-Khoziny, saya dibawa menuju Pesantren Siwalan Panji untuk melakukan olah informasi kepada sang Pengasuh dengan satu tujuan, menggali informasi sebanyak mungkin tentang almarhum Kiai Abdul Haq yang konon pernah nyantri di sana.

Dari keterangan dan penjelasan panjang lebar, akhirnya kami harus agak kecewa karena beliau tidak banyak memberikan informasi seperti yang kami harap. Meski demikian, beliau memberi solusi agar besok pagi saya melakukan wawancara dengan salah satu Gus di Al-Khoziny yang ahli sejarah Siwalan Panji dan Al-Khoziny sendiri. Tentu ini menjadi angin segar, meski esok harinya—ketika saya dan Tajul mendatangi dalem beliau—tak ada informasi berarti yang kami dapat.
Saya lelah sekaligus sedih. Kami diutus pesantren dan ternyata mendapatkan hasil yang kurang memuaskan. Sebagai jurnalis pesantren, saya mencoba membesarkan diri. Mungkin ada hikmah dan cerita lain setelah ini yang akan bermanfaat. Malam itu, Tajul menghibur saya dengan cara mentraktir makan di warung Purnama. Kami banyak bercerita masa lalu selama di RUA.

Sebelum meninggalkan warung, Tajul memberikan sedikit kebahagiaan di hati. “Sebenarnya teman-teman di majalah Mustarsyidin sangat mengharap kau datang, cah. Memberi sedikit masukan atau apalah untuk majalah kami. Saya banyak menceritakan sepak terjangmu di dunia jurnalistik, jadi mereka tertarik untuk menimba pengalaman. Bagaimana?”

Tentu saja saya tidak menolak. Ini cerita menarik dan merupakan pengalaman pertama yang saya anggap akan sangat berharga. Beruntungnya, saya membawa satu eks majalah IJTIHAD. Siapa tahu nanti bisa dijadikan bahan pembahasan dan perbandingan.

“Ayo!” Kata saya bersemangat, padahal belum tahu apa yang akan disampaikan. Santri biasanya juga begitu. Yang penting berangkat dulu dengan niat ikhlas, baru kemudian mengatasi masalahnya. Saya terbiasa lapar berhari-hari di pesantren, menghadapi masa-masa menunggu kiriman yang menjenuhkan, tetapi ya tetap hidup dan bisa belajar dengan baik.

Kami menuju ke ruang perpustakaan pesantren yang sekaligus jadi ruang redaksi. Ada sekitar sepuluh orang redaksi sudah menunggu. Wah, ini akan sangat menarik, kata saya dalam hati.

Setelah saling mengenalkan diri, salah seorang peserta menyodorkan satu eks majalah agar dinilai dan dikomentari. Tanpa banyak basa-basi saya langsung menikmati suguhan majalah tersebut. Menarik bukan main, sebab saat ini posisi saya bukan sebagai penulis, tetapi penilai dan komentator. Meski demikian, dalam hati saya berbisik ragu, apa yang harus saya sampaikan?

“Sudah oke, kok!”

Cuma itu yang tiba-tiba keluar dari mulut saya. Entah bagaimana perasaan ini berkecamuk. Saya seperti memikirkan berbagai hal; bagaimana jika para redaksi ini adalah mahasiswa semua dan ternyata apa yang akan saya paparkan tidak sesuai dengan diktat mereka; bagaimana jika saya tidak menyampaikan dengan baik mengenai kekurangan dan kelebihan majalah ini, sehingga jiwa jurnalistik saya ternodai karena tidak mau berbagi.

Sambil terus membolak-balik lembar majalah, ide pun muncul. Aha, saya tahu harus bicara apa malam ini. Satu pokok pembahasan sudah dikantongi dan selanjutnya akan menyusul sendiri. Pokok pembahasan itu adalah tata letak dan desain.

Saya ambil majalah IJTIHAD di ransel. Membeberkannya bersanding dengan majalah Mustarsyidin sambil kedua tangan saya membuka halaman-halamannya secara bersamaan.

“Lihat,” kata saya memulai. “Apa yang kalian rasakan ketika melihat dua majalah ini?”

Mereka diam dan seperti berusaha keras mencari titik perbedaannya. Sebelum mereka sempat menjawan, saya buka sedikit bocoran agar mereka terpancing. Saya katakan, “Mustarsyidin hanya kurang dalam hal desain.”
Saya melihat mereka mengangguk-angguk seolah paham apa yang akan saya sampaikan selanjutnya. Saya mulai membandingkan tata letak dan desainnya. Bagi saya, desain yang terlalu banyak bubuhan pernak-pernik ilustrasi justru kurang menarik. Bukan apa-apa, majalah Mustarsyidin adalah majalah pesantren yang orientasinya adalah refleksi pemikiran dengan pembahasan lumayan berat. Meskipun ada sebagian rubrik yang berisa informasi ringan, namun titik tekan majalah ini tentu saja dalam rubrik topik utamanya.

“Iya. Mustarsyidin terlihat sesak oleh ilustrasi tidak penting.” Kata salah seorang peserta. Saya mengamini pengamatannya.

Hal lain yang saya sampaikan adalah mengenai rubrikasi dan jumlah karakter yang disepakati. Sebab saya melihat majalah itu tak beraturan dalam hal karakter tulisan, sehingga menurut saya layouternya kewalahan ketika akan menata dan menyeimbangkan tulisan dengan ilustrasi. Jadilah majalah Mustarsyidin amburadul dan kurang dinikmati. Pembahasan terus melebar ke arah pemasaran, pembatasan karakter tulisan, perwajahan, hingga masalah font dan judul. Semua saya paparkan sesuai pengalaman saya di dunia jurnalistik selama ini.

Alhamdulillah, masukan dan komentar saya banyak diamini dan ternyata bagi mereka sangat berharga. Akhirnya dari satu titik pembahasan berupa masalah tata letak dan desain saja, ngobrol ringan yang dimulai sekitar pukul 22:15 tersebut berakhir hingga pukul 00:05. Saya membatin, santri memang pandai cari solusi dan celah.

Saya bersyukur, sebab rasa kecewa saya karena tidak mendapatkan informasi banyak tentang Kiai Abdul Haq, dibalas oleh pengalaman berharga dengan berbagi ilmu jurnalistik. Malam itu, saya tidur dengan perasaan lega dan syukur tiada henti; menyiarkan ilmu, berbagi pengalaman dan menebar harum nama pesantren almamater saya sendiri. Alhamdulillah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun