Cuma itu yang tiba-tiba keluar dari mulut saya. Entah bagaimana perasaan ini berkecamuk. Saya seperti memikirkan berbagai hal; bagaimana jika para redaksi ini adalah mahasiswa semua dan ternyata apa yang akan saya paparkan tidak sesuai dengan diktat mereka; bagaimana jika saya tidak menyampaikan dengan baik mengenai kekurangan dan kelebihan majalah ini, sehingga jiwa jurnalistik saya ternodai karena tidak mau berbagi.
Sambil terus membolak-balik lembar majalah, ide pun muncul. Aha, saya tahu harus bicara apa malam ini. Satu pokok pembahasan sudah dikantongi dan selanjutnya akan menyusul sendiri. Pokok pembahasan itu adalah tata letak dan desain.
Saya ambil majalah IJTIHAD di ransel. Membeberkannya bersanding dengan majalah Mustarsyidin sambil kedua tangan saya membuka halaman-halamannya secara bersamaan.
“Lihat,” kata saya memulai. “Apa yang kalian rasakan ketika melihat dua majalah ini?”
Mereka diam dan seperti berusaha keras mencari titik perbedaannya. Sebelum mereka sempat menjawan, saya buka sedikit bocoran agar mereka terpancing. Saya katakan, “Mustarsyidin hanya kurang dalam hal desain.”
Saya melihat mereka mengangguk-angguk seolah paham apa yang akan saya sampaikan selanjutnya. Saya mulai membandingkan tata letak dan desainnya. Bagi saya, desain yang terlalu banyak bubuhan pernak-pernik ilustrasi justru kurang menarik. Bukan apa-apa, majalah Mustarsyidin adalah majalah pesantren yang orientasinya adalah refleksi pemikiran dengan pembahasan lumayan berat. Meskipun ada sebagian rubrik yang berisa informasi ringan, namun titik tekan majalah ini tentu saja dalam rubrik topik utamanya.
“Iya. Mustarsyidin terlihat sesak oleh ilustrasi tidak penting.” Kata salah seorang peserta. Saya mengamini pengamatannya.
Hal lain yang saya sampaikan adalah mengenai rubrikasi dan jumlah karakter yang disepakati. Sebab saya melihat majalah itu tak beraturan dalam hal karakter tulisan, sehingga menurut saya layouternya kewalahan ketika akan menata dan menyeimbangkan tulisan dengan ilustrasi. Jadilah majalah Mustarsyidin amburadul dan kurang dinikmati. Pembahasan terus melebar ke arah pemasaran, pembatasan karakter tulisan, perwajahan, hingga masalah font dan judul. Semua saya paparkan sesuai pengalaman saya di dunia jurnalistik selama ini.
Alhamdulillah, masukan dan komentar saya banyak diamini dan ternyata bagi mereka sangat berharga. Akhirnya dari satu titik pembahasan berupa masalah tata letak dan desain saja, ngobrol ringan yang dimulai sekitar pukul 22:15 tersebut berakhir hingga pukul 00:05. Saya membatin, santri memang pandai cari solusi dan celah.
Saya bersyukur, sebab rasa kecewa saya karena tidak mendapatkan informasi banyak tentang Kiai Abdul Haq, dibalas oleh pengalaman berharga dengan berbagi ilmu jurnalistik. Malam itu, saya tidur dengan perasaan lega dan syukur tiada henti; menyiarkan ilmu, berbagi pengalaman dan menebar harum nama pesantren almamater saya sendiri. Alhamdulillah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H