Minggu ketiga (terinspirasi lagu)
Â
Siang terik dalam bus Surabaya-Pasuruan. Bocah kurus menggendong manja gitar kemplungnya. Nyanyikan duka menyayat sukma. Di telinga tuan-tuan mulutnya menghamba, o, menghamba!
"Bocah itu bukan budi, bang," kataku berbisik, "anak kecil yang pernah kausaksikan menggigil. Menahan dingin tanpa jas hujan. Di simpang jalan Tugu Pancoran. Bocah yang suaranya cempreng-melengking itu tak tahu apa Tugu Pancoran. Tapi dia hapal perihnya hidup di pinggiran. Dia dan Budi sama berkelahi dengan waktu. Lemah jari mereka terkepal sama dipaksa pecahkan karang."
"Lantas?" Kau membalas juga bisik.
"Ia semacam rupa bayang. Budi lain dari Budi yang pernah kau saksikan. Lahir dari pinggir jalan dan terminal dan perempatan. Merangkai mimpi sehabis memecah karang juga di bangku sekolahan. Tapi mereka tak serakah. tapi mereka tak setamak tikus yang kaukisahkan."
"Tikus kantor?"
Aku mengangguk, "Maaf aku menyebut Budi, bang. Sebab getir hidup di tanah ini telah melampaui. Duka dan suka sepertinya satu warna. Maaf aku mengingat Budi, bang. sebab orang-orang kita seperti telah lupa kalau mereka masa depan kita. Maaf aku menanyai Budi, bang. Apa kabar ia?"
Kau menerawang. Sekilas kutatap lekat pelupukmu yang mulai berair. Bus melaju kencang dalam diam kita...
Sidogiri, 2016
Terinspirasi oleh lagu Iwan Fals, Sore Tugu Pancoran.