“Kenapa harus meloncat, bung? Apa maumu? Tak bisakah kau membaca papan di dekatmu itu, Dilarang Meloncat.” Seorang pemuda bertopi pet merayu.
“Persetan! Jangan paksa saya. Kalau memaksa, berarti kalian telah melanggar HAM. Melanggar kebebesan berekspresi. Ini kebebasan saya berekspresi, jadi terserah saya.”
“Kebebasan macam apa, abang? Mari kita bicara baik-baik. Ini kapal milik Negara, tahulah kau bahwa Negara melindungi keselamatanmu. Kemarilah…” Demikianlah suara lembut nan manja gadis itu, sambil mengulurkan tangannya. Kemudian mata pemuda yang akan melonjak seperti berbinar. Semisal jantan menemukan betinanya.
Pemuda itu mulai turun dari pagar besi. Dan tangannya perlahan melepas pegangan. Para penumpang kapal mulai mengucap syukur dan mengusap-usap dada. Urunglah ide gila pemuda itu. Lalu pemuda itu hanya berdiri mematung di dekat pagar.
“Ehhmmm… tapi begini. Sejujurnya saya akan menuju pulau kecil itu,” kata pemuda itu sambil menunjuk pulau kecil yang telah dilalui dan kini mulai menjauh. Orang-orang melongok ke pulau kecil yang ditunjuk.
“Kapal ini tak menuju ke sana!” Bantah seorang penumpang.
“Ya. Kau betul. Kapal ini tak menuju ke sana. Ini perjalanan ke pulau yang paling besar.” Timpal yang lain.
“Berarti kau telah salah kapal, pemuda.” Yang lainnya lagi menimpali dengan nada lemah. Semua orang seperti menggerutu.
“Oh, saya mulai tahu penyebabnya. Berarti kau punya hajat di pulau itu, berhubung kapal yang kau tumpangi salah, maka kau ingin meloncat untuk kemudian berenang ke sana. Begitu, bukan?” Kata perempuan yang berhasil merayu pemuda itu untuk menjauh dari pagar. Cemerlang sekali teorinya. Kata-katanya fasih dan lancar.
“Tidak. Sungguh tidak. Saya tak punya hajat. Tapi saya memang ingin meloncat dan menuju ke sana. Ini keinginan saya!”
“Kalau begitu kau harus sampai di dermaga yang dituju kapal ini terlebih dahulu. Setelah itu kau boleh mencari kapal lain, memesan tiket ke pulau tujuanmu. Baru kau akan sampai di sana. Bagaimana? Bersabarlah.”