Mohon tunggu...
N Shalihin Damiri (Bin)
N Shalihin Damiri (Bin) Mohon Tunggu... Penulis - Asal Madura

Bernama lengkap N Shalihin Damiri. Kelahiran Madura. Menulis hal-hal usil. Juga cerpen, puisi dan esai. Cerpen yang sudah dibukukan termaktub dalam Antologi Cerpen Majalah Ijtihad Nama Saya Santri (2014). Santri tulen. Sedang nyantri di PP. Sidogiri Pasuruan. Aktif di Majelis Sastra Kun!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dunia Lain

16 Juni 2016   01:47 Diperbarui: 16 Juni 2016   16:22 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Alkisah, seorang santri, dengan penuh tatakrama, datang menghadap kiainya membawa sebuah permohonan. “Bolehkah saya memohon satu permintaan, kiai?” Sang kiai tetap dalam khusyuknya. Matanya terpejam.

“Katakanlah, anakku!” kata sang kiai sambil tetap memejamkan mata.

Santri itu menghela nafas dalam-dalam. Seperti mengumpulkan tenaga untuk melontarkan pertanyaannya. “Berilah aku satu wiridan dan amalan, kiai!”

Sang kiai tercengang. Kerutan di dahinya semakin kentara. Lamat-lamat ia buka kedua matanya, lantas melihat wajah santrinya dengan seksama. “Sudah berapa tahun kau mondok?” Tanyanya penasaran.

“Empat tahun, kiai.” Jawab santri itu mantap. Sang kiai ternganga, tapi buru-buru ia tutupi dengan sungging senyum.

“Hmmm...” Kiai itu memegangi jenggotnya sambil mengangguk-anggukkan kepala.  “Anakku,” katanya bijak, “bukankah semua wiridan dan amalan yang paling agung di dunia ini sudah ada di sampingmu, mengapa kau masih mencari di sini?” Santri itu bingung sekaligus penasaran. Hatinya bertanya-tanya, wiridan dan amalan yang mana?

**

Dalam berbagai kesempatan, tingkah kita memang banyak miripnya dengan kisah tadi. Anak muda jaman sekarang –mungkin juga santri di dalamnya– lebih akrab dengan dunia maya dari pada dunia nyata. Ketika sedang berkumpul dengan teman, misalnya, kita malah memilih mengotak-atik internet: Googling, Facebook-an, dan Twitter-an, ketimbang ngobrol akrab dengan teman di samping kita.

Maka yang disebut sebagai ‘teman’, menurut pengertian orang-orang sekarang ialah mereka yang nongkrong di Beranda Facebook, Twitland dan Wall website, bukan lagi mereka yang duduk-duduk bersama dalam suatu forum atau suasana santai. Orang-orang kita akan tersenyum-senyum sendiri, bahkan terpingkal-pingkal di depan layar kaca HP dan laptop. Lantas, apa bedanya sikap semacam ini dengan live style orang gila? Saya kira hanya beda kemasan saja.

Anda tahu, di kota-kota besar, penduduknya tak mengenal siapa itu tetangga. Jangankan tetangga sepanjang 40 rumah seperti yang disabdakan oleh Nabi, tetangga di samping rumah saja mereka tak kenal. Dan kita mendapat suguhan menarik dari orang-orang yang lebih suka berinteraksi dengan orang seberang daripada orang sekitar. Maka betapa kita banyak menyaksikan perempuan yang hilang jejak gara-gara akrab dengan seseorang yang entah dari mana asalnya.

Seorang teman memiliki komentar menarik tentang cerita di atas. Katanya, batu cadas yang ada di genggaman kita lebih mulia dari pada bintang yang bersinar di kejauhan. Saya taslim pada pendapat ini. Kenapa? Sebab, apa yang sudah ada di genggaman, itulah yang lebih berguna, lebih mulia, lebih hebat dan lebih-lebih lainnya. Justru akan sangat lucu, jika misalkan, untuk melempari seekor kucing saja kita harus repot-repot mengambil bintang. Karena fokus kita, kata sebuah kalam bijak, ialah melihat apa yang nampak jelas di pandangan, bukan memperhatikan apa yang samar-samar di kejauhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun