Yang paling tidak saya mengerti jelang dan/atau selama bulan Ramadan itu soal aksi sweeping yang dilakukan ormas tertentu. Mulai dari tempat hiburan malam, sarang judi dan prostitusi, razia minuman keras, hingga penutupan paksa rumah makan.
Soal yang terakhir paling banyak mengganggu saya secara pribadi. Kenapa pula selama Ramadan warung-warung penyedia makanan harus tutup? Anehnya, yang terkena penutupan paksa itu warung makan pinggir jalan, yang notabene milik rakyat kecil. Sampai sekarang saya belum pernah melihat aksi sweeping terhadap waralaba-waralaba besar yang juga punya usaha serupa. Apa mereka tidak berani atau memang ada ehem..ehem..?
Kembali ke persoalan, mari kita lihat kejanggalan cara berpikir ormas-ormas dalam menutup warung makan selama bulan Ramadan.
Pertama ialah adanya pendapat bahwa warung makan ditutup agar tidak mengganggu orang yang berpuasa. Ini jelas pemikiran yang aneh. Menggangu dalam hal apa? Apa pemilik warung sengaja menawar-nawarkan kepada orang yang berpuasa di jalan agar mereka mampir? Apa ada warung yang sengaja memberikan diskon bagi siapa saja yang mau membatalkan puasanya?
Lagipula, sepengalaman saya tinggal di Jakarta, meskipun warung-warung buka, pemilik warung biasanya menyamarkan keadaan warungnya; tidak ngablak terlihat orang luar. Yang bisa dilihat paling cuma kaki-kaki bergentayangan tanpa kepala. Lalu, apa karena melihat itu puasa seseorang jadi terganggu?
Kejanggalan kedua ialah apakah ormas-ormas itu tidak pernah berpikir bahwa selain mereka, ada kelompok orang yang memang tidak diwajibkan puasa: non-muslim, anak-anak, wanita yang sedang haid, orang yang sedang sakit dan bepergian, serta orang tua renta yang sudah tidak kuat puasa.
Apalagi perlu diingat bahwa kebanyakan tipe-tipe keluarga di kota besar, jarang memasak di rumah. Belum lagi bagi mereka yang tinggal di kos-kosan atau kontrakan. Jadi, mereka tinggal membeli makanan di warung-warung. Lha, kalau warung-warung ditutup, ada berapa banyak orang yang kelaparan? Puasa enggak, makan juga enggak.
Selanjutnya yang terakhir, ormas-ormas itu mungkin lupa bahwa kebanyakan warung-warung yang mereka sweeping itu milik rakyat kecil. Dan sebagian besarnya hidup bergantung dari penghasilan warung tersebut. Kalau selama sebulan penuh mereka dilarang berjualan, lalu kehidupan keluarganya siapa yang tanggung? Negara? Urunan warga? Atau ormas-ormas itu mau menanggung mereka?
Terlebih lagi jika pemilik warung tersebut adalah orang pendatang. Bagaimana nanti mereka mengongkosi perjalanan mudiknya saat Lebaran nanti? Ditambah lagi jika harus menyiapkan oleh-oleh buat keluarga di kampung. Itu semua perlu biaya besar dan bagaimana bisa terpenuhi jika mereka harus nganggur di bulan Ramadan?
Marilah kita menjadi lebih bijak dalam beragama. Sebab orang yang beragama pasti tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Akan tetapi, juga memikirkan kepentingan orang-orang di sekitarnya. Janganlah karena keberadaan kita justru menjadi beban bagi yang lainnya. Bahasa agamanya: menjadi rahmat bagi semesta alam.  Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H