Dilaporkan bahwa ada 7 ribu transaksi judi online dari total 63 ribu transaksi yang ditemukan PPATK. Pelakunya adalah seribu lebih dari anggota DPR, baik pusat maupun daerah. Bahkan Satgas Judi Online telah menemukan hampir sejuta transaksi judi dengan nilai triliyunan rupiah yang wilayah terbesarnya adalah Jawa Barat dan Jakarta. Mirisnya, di antara pelaku adalah anggota wakil rakyat yang mana mereka digaji dari hasil pengumpulan negara melalui pajak untuk menegakan trias politika, hingga mereka ada, digaji negara, dijaga Undang-undang tapi prilakunya menghianati bangsa. Kenapa bisa begitu?
Disclaimer: tidak semua wakil rakyat, walau Seribu anggota DPR itu tidaklah sedikit. Ada banyak alasan kenapa mereka begitu: (1) Mental korupsi. Jadi anggota DPR walau mereka orang kaya, adalah cari pekerjaan. Yang miskin cari gaji dari negara, yang sudah kaya berusaha mencari projek negara, yang kaya nanggung mencoba jadi makelar agar jadi penyambung projek. Yang dikejar adalah prosentase karena mereka punya akses ke banggar dan mereka termasuk anggota LBH (Lembaga Bagi-bagi Hasil). Intinya, ya mereka cari kerja, nyari proyek, nyari akses, dapat kuasa untuk usaha. Di sinilah peluang korupsi muncul, mental takut korupsi hilang karena ada peluang berganti berani korupsi karena sifatnya berjamaah. Kentut sendiri malu, kentut berjamaah?
(2) Definisi pendidikan. Terjadi dekonstruksi definisi pendidikan bagi anggota DPR. Nyari gelar DR, Magister, bahkan gelar spitual Haji, Gus, KH digunakan untuk menaikan pamor. Branding terdidik dan agamawan bisa dijual untuk elektabilitas. Tak jarang, Honoris Causa (HC) diminta ke perguruan tinggi bahkan dibeli demi mendapatkan legitimasi pendidikan. Padahal isi kepalanya bukan akademik sebagai instrumen pengabdian tapi politik untuk membegal banyak kekuasaan terutama uang dan anggaran.Â
Harusnya DPR itu terdidik dan memiliki "hikmah kebijaksanaan", jika mereka terlibat judi online, lantas apa dampak pendidikan bagi dirinya? Kalau tidak terdidik? Di sinilah perlu syarat, minimal DPR itu sarjana dan ikut fit and propertest dulu. Jangan gegara modal, mereka melenggang ke senayan. Aneh, mereka suka ngetest fit and proper, mereka sendiri tidak.
(3) Mental instan. Kekayaan harusnya diraih dengan kerja keras, tekun, rajin, tirakat dan tak kenal menyerah. Jika mentalnya belum begitu tapi ingin kaya, fix mentalnya instan. Dulu mental ini diakomodir melalui cara ngepet, pelet dan santet dalam ajaran Birawatantra.Â
Kini jika urusan ekonomi ya dengan judi online, walau mereka Islam dan begelar haji. Antara judi dan ngepet adalah dua hal yang sama yang keduanya meruntuhkan akidah karena bermental instan. Ingin cepat kaya dengan cara mudah dan cepat. Parahnya, memasang judi dengan fasilitas negara seperti uang reses dan uang sidang yang dibayar anggota DPR bermakna melukai rakyat.Â
Jika Zakat sering diambil dari sang Kaya untuk membantu yang miskin, jika begini Pajak berarti diambil dari rakyat jelata untuk membiayai orang kaya. Sudah memaksa pada rakyat, uangnya buat pasang judi yang mencelakakan negara dan menyengsarakan bangsa. Dosanya double, brow!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H