Mohon tunggu...
nasri kurnialoh
nasri kurnialoh Mohon Tunggu... Dosen - STAI Haji Agus Salim Cikarang

Nasri Kurnialoh lulusan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogakarta. Alumni Pondok Pesantren Di Tasikamalaya dan Yogakarta. Saat ini saya sangat bersemangat untuk mengabdi kepada agama, nusa dan bangsa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Teologi Pembebasan Islam

15 Agustus 2024   20:00 Diperbarui: 15 Agustus 2024   20:06 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Diminta bicara di pendidikan pergerakan mahasiswa. Judul yang diberikan adalah Islam dan Pembebasan. Mungkin judul ini terinspirasi oleh Ashgar Ali Engineer yang menggagas Teologi Pembebasan Islam. Ini pun bisa jadi merefleksikasi teologi pembebasannya Max Webber dengan Protestant Ethic-nya yang jadi tesis Kapitalisme Barat. Judulnya sangat relevan bagi pergerakan mahasiswa, dengan cara pikir ini mereka harus jadi kader penggerak sekaligus pembebas masyarakat dari ketertindasan, pesimisme dan prustasi. Mereka mesti paham, juga melakukan sebagai agent of change.

Ada tiga term yang harus dipahami. (1) Teologi terhubung dengan konsep faith to understand, iman yang harus dipahami secara rasional empiris bukan hanya dalam dimensi metafisik. (2) Pembebasan harus dimaknai lewat tiga istilah: liberty, freedom dan independence. Liberty adalah pola kebebasan yang batasannya sulit dibatasi, independence lebih bermakna lepas dari ketergantungan terhadap pihak lain, freedom adalah kebebasan yang tentu dalam konteks ini mengacu pada free-act dan free-will (kehendak bebas). Ini terhubung dengan qada dan qadar, baik mubram maupun mu'allaq. Terakhir, term Islam adalah satu diantara tiga agama langit yang mesti disimpan di posisi yang tepat dan juga jangan salah tempat.

Teologi pembebasan agama berangkat dari tradisi Islam yang "keliru". Tiga cara memaknai Islam yang bikin muslim jadi jumud adalah (1) tradisi teks dan hafalan, (2) status qou yang otoritatif dan (3) tradisi metafisik yang dominan. Kita mesti akui bahwa cara pandang tekstualis dan hafalan adalah instrumen yang sering "mematikan" akal dan cara berpikir kritis. Cara ini pula sering membawa nostalgia muslim pada salafisme bahkan ultra konservatisme. Status Quo agamawan pun sering membatasi gerak pembebasan Islam ke arah progresif karena otoritas mereka tak ingin diganggu. Mekanisme teologis digunakan guna membangun rezim yang sulit diruntuhkan dan cenderung feodal. Pun dominasi metafisik yang jadi core Islam sering melupakan pijakan bumi dan bercumbu dengan alam spiritualistik dan abai pada dunia empirik hingga aufklarung diambil Barat dan jadi starting point Islam di era dark age.

Tiga pola itu menghasilkan dunia Islam yang marjinal dan menjadi kelas kedua saat ini. Muslim sering jadi klien ketimbang patron yang mesti ngekor pada aturan yang sedang berkuasa. Untuk itu, Teologi pembebasan mestinya membebaskan posisi itu baik dari sisi bathin, individual maupun komunal. Tiga dasar pijakan mesti segera dilakukan yaitu: menerapkan berpikir kritis atas teks dan konteks dalam kitab suci maupun prilaku muslim, membuka universal brotherhood di mana egaliter dan equality adalah cara pandang Tuhan pada mahluk-Nya, dan terakhir mesti berdasar pada social justice di mana dunia social harus benar-benar adil dan setara.

Untuk itu, Islam semestinya diletakan pada definisi yang tepat. Agama ini bukan diposisikan sebagai pelarian dari ketidak berdayaan hingga dituduh Karl Mark sebagai candu (religious is opium). Islam tak boleh jadi alasan untuk mematikan kreativitas dan larut dalam diam pesimisme akut. Dzikir dan tasawuf jangan jadi alasan untuk pasrah atas tenggelamnya abad emas masa lalu. Islam mesti dihidupkan menjadi senjata untuk jihad, ijtihad dan jadi mujtahid kemajuan umat. Semua sudah dipatenkan oleh Rasulullah saat beliau hidup: Darussalam bukan Darul Islam dalam tata negara, Piagam Madinah dalam institusi hukum dan pola egaliter dalam bermasyarakat.

Maka, teologi pembebasan ini butuh: (1) reinterpretasi Quran sebagai simbol, konteks dan norma. Kita mesti menafsir ulang Quran yang lebih progresif dan meletakan asbabunuzul sebagai konteks yang mesti dicari hikmahnya, bukan doktrin mati. (2) menerima realitas bahwa perbedaan adalah fakta yang sulit dihindari. Yang beda tak bisa dipaksa sama, yang sama tak boleh dicari perbedaannya. Dewasa dalam hidup berarti menerima setiap keputusan manusia, karena mereka mahluk sama seperti kita dan kita tak boleh merasa jadi kholiq. (3) setuju bahwa kedhaliman, kesenjangan dan diskriminasi adalah musuh agama. Definisi kafir adalah mereka yang setuju atas itu, definisi murtad adalah mereka yang menggunakan agama untuk melanggengkan itu. Jika sudah begitu, teologi pembebasan Islam itu bukan hanya sekedar lipstik tapi kekuatan untuk membumikan Rahmatan lil Alamin meniru Rasulullah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun