Dua kata ini seolah melekat satu sama lain. Guru sering mendapat musibah, begitu pun musibah sering menimpa guru. Mulai dari jenjang karir yang kalah telak dari profesi lain sampai musibah yang ada di sekolah selalu dituduhkan pada guru. Peristiwa study tour yang buat gubernur dan pihak kementerian reaktif melarang dilakukan kembali, padahal jika musibah datang, ia tak punya KTP apalagi KK untuk memilih dan memilah. Musibah, ya musibah. Guru tak selalu mesti disalahkan.
Namun ada benarnya, guru memang selalu jadi korban. Musibah seolah dinikahinya sejak gong keguruan didegungkan. Pertama, guru terikat dengan hukum ekonomi "supply and demand". Semakin ketersediaan guru berlebih maka harga guru pun menurun. Banyak guru mengurangi harganya karena berjibaku dengan derasnya supply. Rekruitmen calon guru di universitas begitu mudah sehingga lulusannya pun begitu melimpah yang pada ujungnya, harga guru diminimaliskan: "jika mau dibayar rendah silahkan ngajar, jika tak mau mohon maaf guru lain sudah ngantri melamar". Ini musibah karir. Mereka tak berkutik.
Kedua, penghormatan pada guru berubah sejak jadi profesi. Hormatnya disesuaikan dengan jumlah digit di kuitansi yang dibayarkan orang tua. Semakin nolnya banyak semakin guru adalah budak untuk menerima titah orang tua. Senada dengan itu pun, guru kini ruhul jihad tarbiyahnya menurun karena terdampak materialisme akut. Hingga kedua pihak klop: orang tua bayar, guru butuh pulus, maka pendidikan transaksional jadi pola hubungan tak terhindarkan. Beda dengan dulu, guru adalah pengabdian, posisinya seperti Brahmana, sangat disegani dan dihormati. Dari sudut ini, guru adalah korban sistemik dari musibah arus modernitas yang bias.
Ketiga, guru tertindas musibah administrasi. Tugas guru adalah mengasuh anak agar siap saat dewasa. Sejak ilmu administrasi "menjajah" guru, tibalah guru diseret pada sejumlah pemenuhan dokumen-dokumen yang sejatinya tidak begitu membantu dalam pembelajaran. Mereka hadir berakibat abai pada inovasi di kelas, guru disibukan pada isian-isian rezim pengawas yang kejam dan dihantui akreditasi yang menebar hantu kiamat. Siswa dibiarkan belajar mandiri karena standar-standar dokumen mesti dilengkapi walau mereka tak tahu gunanya untuk apa. Ini pun musibah dalam manajemen sekolah yang anomali.
Terakhir, guru tak boleh sejahtera. Guru ingin healing, nebenglah dengan siswa di study tour. Lantas mereka dicaci: tak ada modal. Saat bayar mahal dan terjadi kecelakaan, siapa lagi tertuduh utama jika bukan guru. Guru pun profesi paling besar yang terjerat pinjol. Mereka pewaris ilmu, tapi mereka tak cukup uang untuk survive. Mereka literate tentang bahaya pinjol, tapi perut mereka tak bisa ditolong. Pengangkatan guru sering jadi candu, tapi itu tak cukup. Guru sering jadi korban gaya hidup yang hedon, mungkin tak belajar zuhud, sederhana dan qanaah. Banyak lulusan guru menilai, jadi guru itu enak. Padahal, enak saja tak cukup, butuh ilmu spitual tarbiyah yang tak gampang mendapatkannya. Jika sudah dapat, insya Allah musibah dan guru akan segera cerai talak tiga saat itu juga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H