[caption caption="sumber: harianandalan.com"][/caption]
Masih segar dalam ingatan, Rabu 9 Juli 2014 saya bergegas kembali menuju kamar setelah menyelesaikan makan sahur demi satu alasan. Alasan yang juga membuat semua mata para pecinta sepakbola terpusat pada televisi mereka, menantikan siaran langsung Semifinal pertama Piala Dunia 2014 antara Jerman vs Brasil. Yup, duel dua tim dengan tradisi juara yang sangat dinantikan bahkan disebut sebagai Semifinal ideal.
Jerman kala itu memang sedikit diunggulkan karena ketidakhadiran Neymar, bintang permainan Brasil yang terpaksa harus mengucapkan “selamat tinggal” lebih dulu karena sebuah benturan dengan bek Kolombia, Juan Zuniga berakibat fatal dan menyebabkan retaknya tulang vertebra Neymar, hingga membuatnya harus absen disisa laga Piala Dunia 2014. Insiden yang jelas melambungkan nama Juan Zuniga sebagai satu-satunya orang yang patut dipersalahkan atas cederanya sang megabintang, tapi toh pada akhirnya FIFA tidak memberikan sanksi apapun pada Zuniga dan menganggap protes yang dilancarkan CBF (Konfederasi Sepakbola Brasil) tidak memiliki basis hukum.
Paska absennya Neymar, Brasil bak tubuh yang kehilangan rohnya. Permainan Selecao perlahan mengalami penurunan yang begitu ketara dan membuat banyak pihak mulai meragukan penampilan Brasil, sampai akhirnya mimpi buruk yang dikhawatirkan para supporter Brasil pun menjadi nyata saat mereka harus dipaksa melihat Brasil luluh lantah dilibas Jerman dengan skor 1-7.
Pesta gol Jerman dibuka oleh si calon kuat peraih sepatu emas, Thomas Muller di menit ke 11, selang 12 menit kemudian giliran striker gaek Miroslav Klose yang menggandakan keunggulan dengan memanfaatkan lengahnya lini belakang Brasil. Dua gol berikutnya lahir dari kaki Toni Kroos dan satu gol sumbangan Sami Khedira. Sungguh diluar dugaan hanya dalam waktu 29 menit Jerman mampu melesakkan 5 gol ke gawang Julio Cesar dan membuat ribuan supporter Brasil yang memenuhi Stasion Mineirao terdiam dan menangis. Namun, pesta gol Jerman tidak selesai dibabak pertama saja, karena pada babak kedua Jerman kembali memperbesar jarak, lewat sepasang gol dari Andre Schurlle dan parade gol pagi itu ditutup oleh gol tunggal sekaligus gol hiburan yang lahir dari aksi individu Oscar.
Tentu tidak ada yang pernah menduga tim besar dengan tradisi juara Brasil mampu kebobolan tujuh gol. Bahkan saya yakin Joachim Loew, arsitek Jerman waktu itu pun juga tidak menyangka jika anak asuhnya mampu tampil luar biasa dikandang lawan. Dalam sebuah konferensi pers usai pertandingan yang pernah saya baca di sebuah laman media online, Loew mengaku jika dia menginstruksikan pada anak asuhnya untuk tidak lagi menambah gol dibabak kedua, agar Brasil tidak semakin malu dihadapan publiknya sendiri. Loew dan para pemain timnas Jerman jelas tahu betul bagaimana sakitnya ketika kalah telak di hadapan publik sendiri, sama seperti yang mereka alami di Piala Dunia 2006 lalu, saat Jerman gagal melaju ke Final usai dikalahkan Italia dengan skor 0-2 saat berstatus sebagai tuan rumah waktu itu. Tapi sekali lagi, bukan sepakbola namanya jika selama 45 menit kita dipaksa menonton sebuah pertandingan yang hanya fokus pada pertahanan tanpa memanfaatkan peluang untuk menciptakan gol. Hmm bukankah sepakbola adalah berpaduan antara aksi, gol dan drama yang layak untuk dilihat.
Pagi itu jutaan supporter Jerman di seluruh dunia berpesta, termasuk saya yang jatuh cinta pada Klose dkk sejak Euro 2004. ‘’Jerman berpesta diatas kepedihan supporter Brasil’’. Mungkin itu yang ada dibenak beberapa orang terutama mereka para supporter setia tim Samba ataupun mereka yang hanya ikut-ikutan menjagokan Brasil lolos ke Final PD 2014. Tapi sebuah pertandingan tentu hanya memiliki satu pemenang dan merayakan kemenangan bukanlah sebuah dosa.
Kini kenangan manis Jerman itu sudah lewat setahun. Jerman berhasil mengukuhkan diri sebagai Juara Dunia setelah mengalahkan Argentina di partai Final dalam drama yang berlangsung selama 120 menit. Gelar yang sangat pantas didapatkan pasukan Joachim Loew setelah penantian begitu lama.
Lalu bagaimana dengan nasib Brasil usai Piala Dunia 2014? Jujur saja, meski menjadi salah satu supporter Jerman yang ikut berpesta saat Jerman sukses melibas Brasil, disaat yang sama saya juga menyimpan sebuah pertanyaan besar, apa bisa Brasil bangkit dari trauma kekalahan menyesakkan seperti ini? Kalaupun bisa butuh waktu berapa lama?. Satu tahun berselang, akhirnya satu per satu pertanyaan itu terjawab seiring dengan kiprah Brasil di ajang Copa America 2015 yang baru saja usai.
Ya, Brasil yang masih menyimpan luka dan trauma dari pembantaian 1-7 yang terkenal dengan sebutan Tragedi Mineirao berusaha bangkit, mengurai asa tinggi sekaligus berharap bisa menebus kegagalan di PD 2014 dengan tampil baik di Copa America 2015. Namun sayang, luka yang belum kering itu kini bertambah besar dengan kegagalan Brasil di Copa America. Brasil hanya mampu menyentuh babak perempatfinal sebelum akhirnya kandas di tangan Paraguay. Bahkan –lagi-lagi- kiprah Brasil di Copa America harus kembali diwarnai insiden yang melibatkan si anak emas, Neymar Junior.
Entah sebuah kebetulan atau tidak, insiden Neymar kali ini juga terjadi saat Brasil berhadapan dengan Kolombia di pertandingan kedua fase grup. Jika Neymar mengakhiri perjalanannya di Piala Dunia 2014 sebagai korban dan tokoh protagonis, lain hal nya dengan insiden di Copa America 2015 ini, Neymar seolah menunjukan sisi antagonis dan emosionalnya usai Brasil kalah tipis 0-1 dari Kolombia. Neymar yang sepertinya tidak terima dengan kekalahan yang diderita Brasil terlibat adu mulut dengan Jeison Murillo dan Carlos Bacca yang berujung pada kontak fisik dan berbuah kartu merah. Perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan oleh atlit sekelas Neymar.
Sangat manusiawi memang muncul kekecewaan ketika perjuangan yang kita berikan tidak mendapatkan hasil yang sesuai. Kalah dan menjadi pecundang tentu bukan mimpi seseorang, tapi saya selalu percaya bahwa “Seorang atlit hebat memiliki kepribadian yang baik”. Tidak peduli seberapa banyak medali dan penghargaan yang sudah diraih, seseorang tetap bukan siapa-siapa tanpa kepribadian yang baik.
Hasil buruk yang ditorehkan Brasil di dua event besar dalam kurun waktu satu tahun tentu menjadi sorotan dan bahan kritik semua pihak, bahkan salah satu legenda hidup tim Samba, Rivaldo dengan jujur mengungkapkan bahwa Brasil bukan lagi tim yang spesial dan berbenah adalah hal yang wajib dan harus dilakukan. Brasil, sebuah tim dengan tradisi juara yang mengakar kuat itu kini berada di titik nadirnya.
Jika tim sehebat dan sekelas Brasil saja mampu jatuh, terpuruk sejauh itu bagaimana dengan Indonesia yang bahkan melewati level Asia Tenggara saja begitu sulit. Banyak orang yang mungkin sudah muak mendengar kisruh yang terjadi antara PSSI dan Kemenpora yang bak benang kusut yang sulit terurai. Polemik tanpa ujung yang akhirnya mengorbankan keberlangsungan sepakbola di negeri kita ini.
Indonesia yang berpendudukan lebih dari 250 juta bahkan tidak mampu membuat tim sepakbola yang kuat dan bisa bicara banyak di kancah persepakbolaan dunia. Satu-satunya hal yang membuat sepakbola Indonesia terkenal seantero jagad saat ini adalah karena sanksi yang diberikan FIFA atas kisruh sepakbola kita. Jadi apa yang bisa dibanggakan.
Tidakkah harusnya Indonesia juga melakukan apa yang dianjurkan Rivaldo pada Brasil, yaitu introspeksi diri dan berbenah. Ingatlah sebuah prestasi tidak datang secara instan tapi butuh waktu panjang untuk mewujudkannya. Mau sampai kapan Stadion kebanggaan kita, Gelora Bung Karno dibiarkan sunyi tanpa pekik semangat yang membahana, meneriakan IN...DO..NESIA. Tidak ada yang lebih romantis selain melihat sekumpulan orang berjersey merah menyatukan suara dan menyanyikan lagu Indonesia Raya juga mengurai do’a demi kemenangan dan kejayaan tim sepakbola Indonesia. Iyakan? (ndy)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H