Mohon tunggu...
M. Zulficar Mochtar
M. Zulficar Mochtar Mohon Tunggu... -

Dilahirkan di Makassar 22 Juli 1971. Merampungkan pendidikan program study Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK) di Universitas Hasanuddin dan Kebijakan Lingkungan di Cardiff University - UK dan bergelut intensif dengan berbagai isu kelautan. Saat ini menjadi penggiat LSM Lokal Kelautan, Destructive Fishing Watch (DFW) dan Indonesia Maritime Institute (IMI)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kelautan Bukan Perikanan

2 Januari 2010   10:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:40 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bukan sekedar masalah semantik. Urusan kelautan memang bukan hanya masalah ikan dan ekosistemnya. Meskipun perikanan adalah salah satu sumber ekonomi yang sudah terbukti ampuh dan berkontribusi besar bagi Indonesia, tidak berarti pembangunan kelautan harus identik dengan perikanan saja. Visi ini cukup disadari sebenarnya. Makanya ada kata ‘dan’ yang benderang pada institusi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia.

Sayangnya, praktek pembangunan kelautan Indonesia selama ini masih jauh dari optimal dan mengerdilkan pembangunan kelautan dalam perspektif yang lebih luas. Dari lima direktoral jenderal (ditjen) teknis yang berada di DKP, empat diantaranya didominasi oleh urusan ikan misalnya Ditjen Perikanan Budidaya (PB), Ditjen Perikanan Tangkap (PT), Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) serta Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP). Bahkan kegiatan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) yang setingkat Ditjen di DKP, juga masih didominasi oleh persoalan perikanan. Sementara hanya ada satu ditjen yang berperan sebagai ditjen ‘dan lain-lain’, yaitu Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) yang mencoba mengurusi semua hal mulai Iklim, bencana, kemiskinan, pulau-pulau perbatasan, tata ruang, konservasi dan berbagai isu besar lainnya.

Format kelembagaan seperti ini berimplikasi signifikan pada fokus rekrutmen staf, kebijakan, riset, prioritas maupun program-program yang dikembangkan oleh DKP. Akibatnya, pembangunan kelautan berjalan amat lambat dan justru bingung ketika harus merespon isu non-perikanan yang semakin mengancam. Dan tidak heran pula, banyak sekali bengkalai di bidang-bidang yang tidak terkait langsung dengan perikanan ini.

Demikian pula dengan perguruan tinggi yang mengembangkan kelautan maupun perikanan. Kurikulum yang diadopsi untuk mengembangkan ‘kelautan’ sejak akhir tahun 80-an masih dominan berbau ikan. Akibatnya, skill luaran perguruan tinggi perikanan maupun kelautan selama dua dekade ini hampir tidak berbeda nyata.

Patron pikir ‘hanya perikanan’ ini sebenarnya banyak ditentukan oleh dominasi pakar dan praktisi pertanian dan perikanan yang aktif dalam membangun fondasi dan memformulasi kata pembangunan kelautan Indonesia. Ini tentu saja harus diapresiasi. Sementara kontribusi praktisi dan pakar berlatar belakang teknik tidak signifikan. Seiring dengan perkembangan isu kelautan yang ada, mereka baru muncul dan berkiprah dalam beberapa tahun terakhir. Itupun tanpa dibarengi konsep dan arah yang jelas. Sehingga perannya masih sekedar pelengkap, dan belum mampu membangun portofolio yang jelas.

Tantangan kompleks

Indonesia menghadapi tantangan pembangunan kelautan yang amat serius dan kompleks. Tahun 2030, sekitar 2000 pulau-pulau kecil Indonesia diperkirakan akan tenggelam akibat kenaikan muka air laut. Belum ada resep jitu yang dikembangkan mengantisipasi ini, baik terkait manusia, ekosistem maupun dampak lainnya. Hingga saat ini Indonesia juga belum berhasil merampungkan kesepakatan garis perbatasan wilayah Indonesia dengan 10 negara tetangga. Padahal, batas negara ini amat erat kaitannya dengan kedaulatan negara. Disamping itu, kawasan pesisir dan kepulauan masih menjadi kantong-kantong kemiskinan di negara ini. Pemenuhan fasilitas, layanan masyarakat maupun infrastruktur jauh dari memadai, sehingga SDM di wilayah ini menjadi tertinggal.

Indonesia juga berada di wilayah ‘Pacific Ring of Fire’, yaitu pertemuan tiga lempeng besar aktif yang membuat Indonesia rawan terhadap gempa dan bencana. Pola antisipasi maupun penanganan bencana pesisir belum menemukan format yang tepat. Di sisi lain, indikasi penangkapan ikan berlebih (overfishing) makin nyata di berbagai lokasi utama penangkapan ikan di Indonesia. Ironisnya, ribuan kapal asing illegal setiap tahun masih berkeliaran dan mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia. Praktek pemboman, pembiusan dan trawl ikan (destructive fishing practices) masih terus marak dan menggerus sumberdaya perikanan Indonesia yang makin menipis.

Untuk itu, dikotomi kelautan dan perikanan tidak relevan lagi. Harmonisasi disiplin berbasis pertanian dan teknik justru perlu segera dikonsolidasikan.

Terobosan Kelautan

Tidak mungkin menolak takdir sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Potensi kelautan yang ada perlu dimanfaatkan secara optimal. Tantangan yang begitu besar harus mampu diantisipasi. Untuk itu, pembangunan kelautan tidak bisa dipasung hanya di bidang perikanan saja. Disini, DKP memegang peranan kunci yang mampu mengilhami praktisi kelautan dan perikanan lain untuk mengikuti trend dan evolusi yang dikembangkan. Pola antisipasi ‘ala-kadarnya’ yang dilakukan untuk merespon bidang selain perikanan harus segera diubah drastis, dengan setidaknya tiga terobosan penting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun