“Sudahlah. Aku bilang aku sudah menyerah sejak awal. Namun kau tetap saja menggelakku untuk terus berlari. Aku sudah memilih tak sedikitpun melawan, tetap saja mengalungkan senapan di pundakku. Berperang. Sifatku tak akan melawan sifat pemaksamu. Aku sudah menyadari untuk terbiasa mengalah agar kau senang, agar engkau nyaman untuk merubah dirimu sendiri. Hanya senyum yangkutunjukkan bersamaan diwaktu aku menyimpan tangisku dibalik baju.”
Aku sudah bereingkarnasi menjadi lembar-lembar yang di ketik dan digandakan beribu eksemplar. Aku membuat sedih Arka dan Hilda. Karena aku, mereka menyesali kebodohan mereka.
***
Dulunya aku harus berusaha mencari uang dengan membaca, meneliti, menyortir, memilih, mengganti, dan memodifikasi ribuan keping kata yang dikirim ke redaktur. Hari-hari seperti ketika aku menangkap sebuah bintang dan menjadikan terlepas ribuan sinarnya kembali kelangit dari genggaman. Lembaran koran adalah tempatku menabur bintang-bintang itu. Namun susunan bintang-bintang inilah yang sangat menusukku. Ternyata mereka hidup.
Menjadi editor koran besar memang tak sulit. Hanya buang satu dua kata dan memasang kata lain. Namun payah sekali ketika membiarkan kemunafikan tersusun dan diterbitkan begitu saja. Nuraniku berbisik “Tulisan-tulisan yang kau lihat semakin menyesakkan ketika yang dibicarakan KKN pejabat yang mulia, ilusi motivasi, optimisme yang tak merangkul bersama untuk maju, manusia bodoh kau membiarkannya semua tersebar. Aku akan keluar dari ragamu jika terus kau paksa menerima kemunafikkan ini.” Suara-suara seperti ini selalu menyiksaku. Tak memberi kesempatan menjelaskan sesuatu untuk sekedar menghindar dari perasaan tertekan. Dulu janjiku tidak akan takut, asal kebenaran yang kutulis, kini semua menjadikanku pengecut. Entahlah suatu hari aku akan menginginkan kematian dengan kebenaran yang kugenggam dalam pena hitamku.
****
Sahabat karibku, Arka dengan idealisme seorang jurnalis sejati. Dia selalu mengirikan jurnal sejati untukku dalam penjara idealisme kebohongan. Jurnal yang lepas dari bumbu dapur media dan kebenarannya pun tak tercemar uang-uang kotor. Perbandingan dan karakterisasi yang kubuat antara tulisan yang mengantri di media dengan laporan Arka padaku selalu saja kontradiktif. Idealismeku hampir selalu padam. Aku sangat tergantung pemberian Arka.
Aku masih ingat kenapa menjadi seperti ini. 4 tahun aku dan Arka tak pernah nyaman hidup dalam lingkungan kampus kebohongan yang justru menjadikunci umat yang katanya agen of change. Kamilah pejuang independen atas ketidaknyamanan intelektual dan inisiatif yang menemukan jalan perubahan.
Meskipun kami punya Kartu Pers menjadi yang senjata kami. Tak jarang menjadi bumerang yang menyerang balik. Kami pernah terancam drop out dari kampus.
Hanya untuk mengkuti sebuah festival busana nasional, tiga mahasiswi harus rela diperintah paksa melucuti almamater kebanggaan dan pakaian luarnya di salah satu ruang pejabat kampus. Mereka dipaksamelenggak-lenggok layaknya model majalah porno yang memamerkan gairahnya. Mereka datang hanya meminta tanda tangan kecil.
Kami merangkum berita itu dalam publikasi independen. Pencekalan demi pencekalan dilakukan pihak kampus. Aku dan Arka sempat berselisih untuk mencabut berita tersebut karena sebuah ancaman pembunuhan. Akhirnya aku menguatkan hati untuk tetap bertahan dengan kebenaran tersebut. Kami serius menanggapi ancaman tersebut. Seminggu kami keluar kota untuk menjauhkan diri dari ancaman dan upaya yang bisa merenggut nyawa kami. Titik perjuangan terakhir adalah ketika kami wajib menghadapi tuntutan untuk pindah kampus.
Meskipun lepas dari status mahasiswa dengan status lulus kami tidak puas. Keputusan Arka dan aku pilih sebenarnya hanyalah pelampiasan dari usaha pembenaran garis-garis belot. Lebih dari 2 tahun kami menjadi jurnalis lapangan, namun jarang sekali berita kami masuk barisan dalam koran. Padahal banyak space buat tulisan menarik kami. Memang tulisan kami adalah tanda kebencian pada publik. Tak ayal, dari banyak tulisan kami hanya deskripsi pujian yang kami tulis saja yang mendapat pujian tinggi untuk dimuat. Ketika itu kita masih bodoh dan tak menau apapun.
Jalan baru coba kami buat, Arka memilih tetap sebagai jurnalis profesional lapangan. Sedangkan aku mengikuti promosi menjadi editor muda dapur media. Barulah kutemukan tali kuat yang menarik mimpi kami ke dunia nyata.
Dapur media yang kebohongannya lebih pekat tercampur dari pada kampus membohongi kami. Kamilah parasit dapur media, namun kami adalah jiwa mutualisme yang terbelah. Jembatan besar akhirnya kami rencanakan akan kami bangun. Hal positif menjadi modal yang mendasari jembatan tersebut.
Beberapa tahun bekerja keras, Arka mendapat gelar jurnalis lapangan tebaik. Namun tetap saja kami masih berdiri di atas bayangan kebohongan.Bodohnya ketika kami menjadi jurnalis lapangan kita tak mengenal dapur media dengan bumbu intervensi. Bodoh sekali bekerja pada orang yang membuat kami bodoh.
****
Banyak bukti yang menunjukkan kami masih bodoh. Kehidupan pers memiliki 2 muka. Kehidupan yang banci. Mereka banyak tau kebenaran tapi tak sekalipun memberitahu banyak. Alasannya berentet seperti teks Pancasila. Satu ; demi stabilitas. Dua ; keamanan mereka. Tiga ; bisnis berita sejati dan berita jelmaan. Rentetan selanjutnya alasan yang cukup dibuat-buat saja oleh pers. Alasan yang bisa disebut isu untuk meramaikan media.
Media kadang menjadi barang tunggangan. Semua diberitakan di sana. Hiburan, kejahatan, keislaman, terorisme, KKN, gosip, banyak hal tak penting lainnya. Media memberitakan tanpa memperhitungkan sudut pandang yang akan diterima masyarakat luas. Tidak mempertimbangkan konflik yang akan terjadi dengan berita yang muncul.
Tiga; bisnis berita bagian pers. Kami melakukannya. Menjual berita orisinil ke pasaran para pengamat kebijakan. Kami hanya menulis berita-berita manis untuk dimuat di koran, sebagai syarat saja agar masih diakui kalau kami junalis profesional yang produktif.
Penjualan berita sejati ini menguak bagaimana seorang pengamat publik bisa menjadi amat cerdas. Membicarakan ini itu yang amat mustahil bisa mereka ketahui dengan profesinya sekarang. Kecuali mereka punya mata-mata dan aliansi yang membayangi pemerintah. Aliansi yang selalu memperbaharui informasi. Aliansi mata-mata itu adalah kami para wartawan munafik.
Pengamat berita ini sama saja munafiknya. Mereka tidak ingin repot. Aku selalu tertawa kesal melihat opini publik yang mereka buat. Enak saja jika dibawah pojok koran tertulis “Opini dari Dr.xxxxx S.IP, M.H”.
*****
“Ka, kamu ngerasaain keremehan gak dengan berita kemarin?,” aku menodong langsung dengan pertanyaan penuh kepentingan.
“Maksudnya?,” Arka menanyakan balik dengan singkat.
“Baca nih paragraph paling bawah .....Serumit apapun dunia perpolitikan licik di Negara ini sangat gampang buat diketahui. Membeli informasi itu seperti menjentik jari..... keterlaluan mereka, tak tau terimakasih sama sekali” aku memberitahu dengan menunjuk-nunjuk koran.
“Siapa penulisnya?” pertanyaan interogasi Arka masih berusaha mencari celah untuk mempermasalahkannya”
“Prof. XX. S. Ip. Profesor gendeng dia. Mata duitan. Ngajar saja gak becus. Kita jadi korbannya,”
“Panjang kalo ceritanya sama dia. Coba nanti aku hubungi apa maksud ungkapan dalam tulisannya itu. Sekilas memang seperti kiasan. Tapi buatku itu pelecehan,” jawab Arka protes datar.
“Menghubungi?” tanyaku singkat.
“Kemarin aku yang menawarkan informasi dari berita itu. Dia bayar mahal buat informasi kita. Kamu belum cek rekening bulan ini?”
“Belum. Tapi aku rasa harus pikir-pikir lagi jual pada dia. Seenaknya merendahkan harga diri kita”
“Oke deh soal itu. Tapi kalo Hilda gimana? Harus bayar berapa gua kalo kencan sama dia”, pertanyaan menusuk.
“Haha... serius kamu?”
“Masih mencoba memastikan enaknya serius atau ga? Haha,”jawaban yang mengesalkan.
“Pikir aja sendiri. Dia terlalu istimewa buat dibagi,”
“Siap bos. Haha gaya lo.... sok romantis wew,” Arka mengejek.
“She is not sweet, but she is good looking-lah” Arka menambahi pujian untuk mengejek aku”
“Everything wis -Ka” Gak ada alasan buat menjawab lagi.
*******
“Selamat siang pak”
“Siang. Ada apa Arka?” tanya Mr. XX
“Pak saya ada masalah tentang berita yang anda tulis kemarin lusa”
“Tentang?”
“Maksud anda membeli informasi seperti menjetik jari apa pak?” Arka mulai mengiterogasi.
“Oh itu ya... jangan dianggap serius nak. Cuman majas hiperbola saja,”
“Maksudnya pak?”
“haha.... pemerintah itu goblok. Mereka membuat bermacam-macam skenario untuk menyembunyikan jati diri jahatnya. Tapi tak tau ada orang cerdas seperti aku yang menggunakan tangan Aliansi pers gelap yang menjadi indera keenamku,”
“Jadi begitu pak. Terima kasih”
Arka murka dengan perkataannya itu. Ia ingin memberi pelajaran kepada Mr. XX
******
“Assalamualaikum. Pak saya punya bahan baru untuk di ekspos di koran”
“Waalaikumsalam. Tolong kirimkan saja nanti honornya disesuaikan. Saya lagi banyak kerjaan”
“Pak sayang sekali jika dihiraukan begitu saja pak. Rating anda sedang naik jadi tidak perlu great news untuk saat ini. Lebih sering lebih menguntungkan pak”
“Betul juga. Kamu bisa menggarapkan sekalian berita itu? Sekarang benar-benar sibuk untuk menyimak hal semacam itu. masalah honor bisa ditambah”
“Bisa saja pak. Dua hari lagi saya kirim”
********
Satu minggu kemudian opini tersebut dimuat.Luar biasa. Tulisan tersebut menjadi pemicu Headline. Kasus yang pernah tenggelam mengenai pelecehan di kampus terangkat kembali oleh nama yang berbeda. Nama yang lebih memiliki pengaruh. Arka lah menjadi sutradaranya.
Adegan yang terjadi diluar dugaan. Jebakan Arka membuahkan sedikit anugrah. Mr. XX meminta lebih banyak informasi. Mr. XX memiliki urusan untuk menyingkirkan tikus-tikus tua di mantan kampus Arka. Mulailah campur tanganku dibutuhkan.
Penyelidikan aku mulai. Dengan cepat aku menemukan nama korban beberapa tahun lalu. Seketika itu pula Mr. XX menggerakkan kuasanya untuk menemukan saksi mati kasus ini. Mereka akan disterilkan oleh Mr. XX. Aku, Arka, dan Mr. XX sekarang ber-aliansi. Bukan partner.
*********
“Ka, ternyata gak ada kata terlambat asal kita mau bertahan,”
“Aku sendiri tak menyangka. Profesor gendeng itu tertarik. Kukira jati dirinya penakut,”
“Apa kita yang bodoh mungkin? Sekarangkan waktu Detekfif Mouri terkenal,”
“Haha.... sudah lama kita melewatkan serial itu”
“Beberapa bulan lagi sepertinya aku akan istirahat,”
“Istirahat. Mimpi kita belum tercapai kawan”
“Aku mau nikah Ka. Aku milih hidup tenang sama Hilda ajalah. Keburu direbut orang”
“Hah? Ga nyangka loe cuek banget sama dia punya perasaan yang dalem banget”
“Ga usah bicara soal perasaan. 100 kalipun aku ga bakal paham. Pokoknya aku mau nikah secepatnya sama Hilda. Titik.”
Kata titik menyudahi pembicaraan tentang rencana pernikahanku. Masing-masing berlalu.
************
Sebulan sudah rencana pernikahan kami rencanakan. Bersamaan dengan itu skenario peringkusan tikus masalalu di mantan kampusku dan Arka berjalan. Sebulan ini Aliansi berjalan dengan tegap. Sibuk merelasikan diri masing-masing dengan informasi dan analisis yang ada.
Korban yang berhasil kami temukan hanya satu. Dengan kekuasaan Mr. XX gadis tersebut menuntut Tikus yang sempat menggigit kulitnya dulu. Gigitan yang tinggal membekas di memori dan rasa malu dalam hatinya. Dendam akan terbalaskan.
Terabai sudah perasaan tidak terima karena diremehkan. Sebentar lagi dendam ketidakadilan akan terbalas pada tikus itu. Kekuasaan penuh dalam skenario kami. Dan tangan kami tidak akan kotor menyentuh tikus keparat itu.
Mr. XX menjadi tokoh sekarang. Suaranya semakin menghujam. Mantan kampus kami teguncang dengan menklimaksnya kasus pelecehan itu. Aksi turun jalan dan penertiban masa setiap hari terjadi. Sangsi tidak berlaku dengan semakin banyaknya pengkudeta dari kalangan mahasiswa.
“Kami menuntut keadilan” teriak para mahasiswa. This is product of agen of change.
Semua bersorak gembira ketika tikus kampus itu dijatuhi hukuman 10 tahun dan dipecat dari kursi kepegawaiannya. Kami puas dengan skenario kami. Teater aliansi sukses besar. Mr. XX sekarang menjadi seorang pelopor penegakan hukum. Namanya lebih seing masuk media Nasional. Dia memang tokoh yang mempesona dengan sekejap. Tapi kamilah sutradara dengan naskah yang sudah bertahun-tahun tenggelam.
**********
Aku mencoba menghubungi Hilda. Mencoba fokus untuk melaksanakan penikahan secepatnya. Kupikir sudah saatnya mendamaikan hidup.
Kedatangan Arka membuatku terkejut. Sangat mengejutkan meskipun untuk seorang penulis berita sepertiku. Hilda menitipkan kabar untuknya.
“Maaf, aku harus pergi. Aku adalah salah seorang korban dari Tikus Kampus yang baru saja kamu ringkus. Aku menemuimu dan Arka semata-mata untuk membalas dendam kejadian memalukan itu. Terima kasih kamu sudah membantuku, aku sama sekali tidak bisa membalas cintamu,”
“Begitulah kawan. Aku juga baru tau maksudnya seperti itu,”
“Dimana aku bisa menemui Hilda?”
“Maaf kawan aku juga tak tau kemana dia pergi. Aku kemarin sore ditemui dia di tempat aku meliput berita teakhir tentang tikus kampus kita. Hanya itu yang ia sampaikan. Dia tidak ingin menemuimu, aku coba memaksanya. Tapi aku baru sadar kemauannya itu memanfaatkan kita untuk balas dendam. Kita punya kepentingan yang seimbang.”
“Kamu tidak bohong kan Ka?”
“Kamu curiga? Pikirkan apa alasanku berbohong pada partnerku?”
“Kamu mencintai Hilda?”
Suasana sedikit terhenti.
“Aku tidak menyangka hanya karena perasaanmu kamu menjadi begitu butanya. Aku sahabatmu kawan. Hilda adalah milikmu. Bukan untukku,”
“Sekarang dia Pergi. Bodoh. Bodoh sekali aku. Tertipu dalam berbagai kepentingan,”
Otakku berhenti. Begitu keras jantungku berdegup. Arka mengelus-elus punggungku. Kemudian dia berbicara.
“Kawan sejatiku. Sudah saatnya kita mencari kehidupan yang damai. Uang di rekening kita sudah lebih dari cukup untuk kehidupan yang damai,”
“Maksudmu apa Ka?”
“Aku ingin ke luar negeri. Aku ingin mencari pengalaman baru di sana. Apa kamu ikut?”
“Hah? Betulkah Ka? Aku tidak percaya kata-katamu,”
“Sudahlah. Mungkin kamu juga tau. Aku juga lelah dengan perburuan dan skenario yang membayahakan ini,”
“Jika seperti itu baiklah. Aku akan tetap tinggal. Aku masih ingin meneruskan tugasku di sini. Hilda telah menghancurkan sebagian impian besarku. Aku mencoba melupakannya dulu.”
Cerita itu beranjak. Arka ke luar Negeri membawa sebuah rahasia dan dendam.
************
Terpuruklah kehidupanku. Hilda menjadi milik Arka.jauh di luar negeri mereka menikah.
Episode-episode cerita antara Hilda, Arka, Mr. XX masuk akal. Aku bertemu dengan Hilda di tempat kerja. Kenapa Arka mengangkat kasus pelecehan beberapa tahu lalu. Dan aliansi yang memanfaatkan Mr. XX adalah puncak usaha balas dendam. Kesimpulanku Hilda dan Arka adalah otak semua Teater ini. Mereka, cinta mereka, rencana mereka, mengorbankan semuanya.
********************************
Aku sekarang hanya menjadi buku yang masih hidup. Tapi penulisku sudah menempatkan dirinya di alam kubur. Aku melihatnya dia menulis dengan pena yang berbau racun. Berhari-hari ia menghirupnya hingga ia menyelesaikan lembaran-lembaranku. Aku menjadi saksi nyata kepedihan kisah penulisku. Naskah teater Jurnalis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H