Mohon tunggu...
Mohamad Zaki Hussein
Mohamad Zaki Hussein Mohon Tunggu... lainnya -

Warga masyarakat biasa, anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP).

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Etika Akademis vs. Keselamatan Publik

26 Februari 2011   06:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:15 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Naskah: Mohamad Zaki Hussein, Alfensius Alwino, Ranap Simanjuntak

Salah satu alasan IPB tidak mau mengumumkan nama-nama produk susu dan makanan bayi yang menurut riset mereka, tercemar, adalah karena bertentangan dengan etika akademis dan penelitian. Problemnya, bagaimana jika kode etik ini bertentangan dengan keselamatan publik dan hak konsumen untuk mengetahui?

Belakangan ini isu susu formula yang tercemar oleh bakteri Sakazakii mencuat kembali ke permukaan. Sebagian kalangan masyarakat pun menjadi resah. Pasalnya, Institut Pertanian Bogor (IPB) yang melakukan riset dan menggulirkan wacana adanya susu formula dan makanan bayi yang tercemar Enterobacter Sakazakii pada 2008, tidak mau mengumumkan nama-nama produk yang tercemar itu. Bahkan ketika sudah ada putusan MA mengenai hal ini, mereka tetap tidak mau mempublikasikannya.

Alasan IPB tidak mau mengumumkan nama-nama produk yang (pernah dan mungkin sekarang sudah tidak) tercemar adalah karena belum menerima amar putusan MA mengenai kasus ini. Selain itu, mereka juga menyatakan, pengumuman nama-nama produk itu bertentangan dengan etika akademis dan etika penelitian. Alasan yang kedua menarik untuk dicermati lebih lanjut, karena terkait dengan fungsi ilmu pengetahuan dalam masyarakat.

Pertanyaannya, apakah betul ada etika seperti itu dalam dunia akademis dan penelitian? Dan jika yang menjadi taruhannya adalah keselamatan publik, apakah etika itu tetap harus didahulukan di atas keselamatan publik? Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Andri G. Wibisana, meragukan adanya kode etik seperti itu. "Kode etik sich tidak jelaslah," ujar Andri kepada Mimbar Politik (17/2).

Ia kemudian memberikan contoh penelitian-penelitian yang membuka nama perusahaan atau produk. Seperti kasus Ajinomoto yang dikatakan mengandung babi. Kemudian, produk transgenik (rekayasa genetika) dari perusahaan Aventis yang dinyatakan tidak sesuai untuk manusia, hanya untuk hewan. Lalu, buku The Corporation yang membuka skandal IBM dengan Nazi, dan buku Fast Food Nation yang secara habis-habisan mengkritik McDonald.  "Kalau di luar negeri malah jelas-jelas disebut, misalnya, produk ini mengandung ini, Monsanto mengandung ini, itu biasa. Disebut nama perusahaannya, itu biasa kalau di banyak jurnal internasional," tandas Andri.

Lagipula, kalaupun ada kode etik seperti itu, tetap ada prinsip lain yang perlu dipertimbangkan dalam kasus ini, yaitu hak konsumen untuk tahu dan keselamatan publik. "Taruhlah mungkin ada kode etik seperti itu, kalau itu dianggap sebuah prinsip, tapi ada prinsip lain, hak-hak konsumen untuk tahu, itu juga tidak boleh diabaikan. Terus ada kepentingan umum yang lebih besar sebenarnya, public safety yang lebih luas, yang sebenarnya juga harus diperhatikan," kata Andri.

Terlebih lagi, sudah ada putusan MA yang tentu lebih tinggi daripada kode etik akademik atau penelitian. "Mau ngomong apa, mau kode etik pun, itu pengadilan, itu yang paling tinggi," ujar Andri. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Ade Novita dari Divisi Klub Peduli ASI (KLASI) Yayasan Orang Tua Peduli (YOP). "Etika dalam struktur hukum khan hanya kebiasaan, dan dia kedudukannya lebih rendah tentunya dibanding keputusan pengadilan," kata Ade kepada Mimbar Politik (17/2).

Sementara itu, Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), merasa bahwa sikap IPB itu ganjil. IPB tidak membeberkan merk-merk susu yang tercemar bakteri karena alasan etika, tapi dulu mereka sendiri yang menggulirkan wacana ini dan membuat resah masyarakat. "Seharusnya, output-nya diumumkan. Ini yang diinginkan oleh masyarakat, sehingga masyarakat bisa mengantisipasi produk susu yang tercemar bakteri Sakazakii," ujat Arist kepada Mimbar Politik (16/2).

Adapun Andri menduga, penolakan IPB untuk mempublikasikan nama-nama produk yang tercemar, lebih disebabkan oleh karena adanya perjanjian dengan pendana atau karena ketakutan digugat oleh para produsen susu. "Mungkin itu perjanjiannya dengan funding. Kita tidak tahu khan. Atau mungkin ketakutan digugat oleh perusahaan susunya," ujar Andri.

Terkait dengan campur tangan perusahaan-perusahaan produsen susu tercemar dalam kasus ini, beberapa kalangan di Komisi IX, dalam rapat dengar pendapat Komisi IX DPR dengan Menteri Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan IPB (17/2), menduga adanya kongkalingkong antara IPB dengan perusahaan-perusahaan pemilik susu tercemar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun