Mohon tunggu...
Muhammad Zainuddin Badollahi
Muhammad Zainuddin Badollahi Mohon Tunggu... Administrasi - Antropolog

Ethnograpy

Selanjutnya

Tutup

Makassar

Kota Makassar (Dari Masa Kerajaan Gowa-Tallo)

2 Agustus 2022   12:11 Diperbarui: 2 Agustus 2022   12:21 2406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MASA KERAJAAN GOWA-TALLO

Menurut sejarahnya, Provinsi Sulawesi Selatan menjadi salah satu pusat kegiatan perekonomian dan pusat pendidikan di wilayah Indonesia bagian Timur. Selain itu Sulawesi Selatan mewarisi tradisi kerajaan yang cukup kuat, diantaranya yakni Bone, Gowa, dan Luwu. Ketiga kerajaan ini merupakan kerajaan besar dan sangat berpengaruh baik di Sulawesi Selatan maupun di luar daerahnya (di wilayah Indonesia). Dengan memiliki tradisi seperti itu dan dalam konteks perkembangan demokrasi saat ini, wilayah Sulawesi Selatan menjadi daerah yang kaya, terutama dalam hal pengalaman interaksi antara warisan budaya yang kuat dengan keharusannya menerapkan prinsip-prinsip demokrasi.

Kota Makassar merupakan kota yang memiliki sejarah panjang hingga terbentuk seperti sekarang. Awalnya, Kota Makassar merupakan wilayah Kerajaan Makassar, nama lain Kerajaan Gowa. Nama Makassar baru diketahui pada abad ke-14, yang tercantum dalam Desawarnana Pupuh XIV. Disebutkan bahwa daerah di sebelah timur Jawa yang dikuasai Majapahit pada pertengahan abad ke-14 meliputi; ....."Bantayan, Luwuk, Makasar, Buton, Banggawi, Salayar....." 

Pada masa pemerintahan Raja Gowa IX Karaeng Tumapa'risi Kallonna (1512-1548), Kerajaan Gowa dikenal sebagai sebuah kekuatan politik dan pelabuhan perdagangan yang besar, yakni Gowa-Tallo. Dalam catatan perjalanan Tome Pires yang berjudul Suma Oriental of Tome Pires, di tahun 1513 mengatakan bahwa orang Makassar telah melakukan perdagangan dengan Malaka, Jawa, Borneo, Siam dan semua tempat antara Pahang dan Siam. Kerajaan Gowa pada tahun 1528 membentuk satu kekuasaan dengan Kerajaan Tallo yang berada di sebelah utara Benteng Somba Opu, ibukota Kerajaan Gowa. Persekutuan ini disebut rua karaeng na se're ri ata yang berarti "dua penguasa satu rakyat".

Dalam konteks sekarang, Kota Makassar berada diantara pusat Kerajaan Tallo di sebelah utara dan pusat Kerajaan Gowa di sebelah selatan. Pada masa pemerintahan Karaeng Tumapa'risi Kallonna, nama Makassar mulai dikenal dalam sejarah. Beberapa hal penting yang dilakukan raja ini diantaranya; mengubah daerah Makassar dari sebuah konfederasi antarkomunitas menjadi sebuah negara kesatuan Gowa; menyusun sebuah kitab hukum dan cara mengumumkan perang; Kerajaan Gowa untuk pertama kalinya menjalankan bisnis yang cukup substansial dengan pedagang-pedagang asing, sehingga di Kerajaan Gowa dikenal kata Syahbandar atau penguasa pelabuhan yang berasal dari Persia.

Ketenaran ini diperkuat pula oleh pelancong Portugis bernama Antonio Paiva yang memindahkan kapalnya ke selatan dari pelabuhan Siang pada tahun 1544 menuju "Gowa yang besar tempat kapal-kapal lebih terlindungi dari terpaan angin". Raja ini pula yang pertama kali didatangi oleh orang-orang Portugis; Sejak itu, Kerajaan Gowa di masa pemerintahan Tumapa'risi Kallonna berkembang menjadi kerajaan maritim. Armada niaganya berada di sepanjang pantai antara muara Sungai Jenebarang dan muara Sungai Tallo di sebelah utara yang disebut Maccini Sombala'. Pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan bebas kerajaan kembar Gowa-Tallo (Makassar) (Mattulada, 1991: 11).

Perkembangan Makassar berkaitan erat dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Kejatuhan menyebabkan para pedagang Melayu menyebar ke pelabuhan-pelabuhan lain demi mencari tempat berdagang yang dapat dijalankan secara aman dan menguntungkan. Pedagang Melayu pada awalnya mengungsi dan menetap di Kerajaan Siang (Pangkep), sebelum akhirnya berpindah ke Makassar.

Menurut Reid (2004), salah satu faktor yang turut membantu Gowa dalam persain-gan menarik patronase saudagar-saudagar Melayu adalah peran Portugis dalam mengkristenkan penguasa Siang, yang mengakibatkan para pedagang Melayu yang muslim, yang sebelumnya menetap di Kerajaan Siang mencari tempat lain. Faktor lain berkembangnya Makassar ialah diberinya "jaminan kebebasan" bagi pedagang Melayu untuk menetap di Makassar.

Di akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17, Makassar telah menjadi pusat perniagaan beberapa negara Eropa dan Cina. Pada masa pemerintahan Tunipalangga Ulaweng Raja Gowa ke X (1546-1565), pedagang Portugis telah meningkatkan hubungan dagang dengan Makassar dan mendirikan perwakilan dagangnya. Bahkan bangsa Portgis telah menetap di Makassar sejak tahun 1532. Jika sebelumnya di Makassar hanya ada perwakilan dagang Portugis, selanjutnya terdapat perwakilan dagang Inggris tahun 1613, Spanyol tahun 1615, Denmark tahun 1618 dan Cina tahun 1619.

Pesatnya kemajuan Kerajaan Makassar yang melakukan perdagangan rempah-rempah dengan pedagang Inggris dan pedagang Portugis, menimbulkan kebencian bagi Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Perusahaan dagang Belanda itu, ingin menguasai perdagangan di Makassar dan tidak menginginkan pedagang dari negara lain berada di Makassar (Poelinggomang, 2002). Namun, keinginan ini mendapat perlawanan keras dari Raja Gowa ke XIV Sultan Alauddin.

Speelman, sebagai penguasa Makassar yang baru, memilih wilayah Benteng Ujung Pandang dan daerah sekitarnya sebagai pusat pemukiman baru. Pemilihan didasarkan pada keadaan alam, letak yang strategis, dan sangat cocok untuk dijadikan pelabuhan dibanding benteng-benteng lainnya. Benteng ini diubah namanya menjadi "Rotterdam", yang mengacu pada tempat kelahiran Speelman.

Benteng Rotterdam kemudian digunakan sebagai markas tentara dan kantor perwakilan VOC di wilayah nusantara bagian timur. Speelman menata Makassar menjadi empat elemen. Pertama, pusat pemerintahan yang berada di Benteng Rotterdam. Di dalam benteng terdiri dari tembok-tembok batu yang besar, dengan pembagian ruang, blok-blok dan pintu gerbang. Sekitar benteng menjadi lingkungan pemukiman orang Belanda yang eksklusif. Pejabat, pegawai pemerintah dan tentara VOC umumnya bermukim dalam benteng dan wilayah sekitarnya. Kedua, tumbuh dan berkembang pemukiman di sebelah timur laut Benteng Rotterdam. Lokasi ini disebut "perkampungan pedagang dengan perumahan bagi orang-orang asing dan pendatang" atau dikenal dengan Negory Vlaardingen. Penghuni kawasan ini adalah pedagang yang berasal dari Eropa, orang Tionghoa dan penduduk asli yang beragama Kristen. Ketiga, yang ikut membentuk struktur dan tata ruang permukiman dalam pusat wilayah Kota Makassar adalah Kampong Melayu yaitu kampung yang terdapat di sebelah utara Vlaardingen. Nama Kampong Melayu melekat dari suku asal penghuninya yaitu orang-orang Melayu. Keempat, yakni Kampong Beru atau Kampung Baru, terletak di bagian selatan Benteng Rotterdam, berada di dekat pantai. Di daerah ini berdiam orang-orang dari Asia serta para bekas budak beragama kristen yang bekerja sama dengan Belanda. Mereka ini dikenal dengan istilah Mardijkers.

Terbentuknya pola keruangan kota Makassar, faktor keamanan menjadi alasan utama bagi pemerintah Belanda dalam merencanakan dan membentuk pola keruangannya. Hal ini dapat dilihat dengan terpusatnya berbagai fasilitas dalam kompleks benteng, selain itu bangunan-bangunan yang ada di dalam kompleks benteng dirancang untuk mengamati keadaan di luar benteng. Pertimbangan keamanan ini tetap berlanjut pada perkembangan pola keruangan kota selanjutnya yang ditandai dengan tetap terpusatnya fasilitas kota dalam satu kawasan. Kawasan yang dimaksud adalah kawasan yang dibatasi oleh Fort Rotterdam di sisi barat, Kampong Melayu di bagian utara, Fort Vredenburg di sisi timur dan kediaman gubernur pada bagian selatan.

Selain itu, penempatan berbagai daerah pemukiman bagi orang-orang pribumi baik pribumi lokal maupun yang datang dari wilayah di luar Makassar dalam perancangan kota Makassar yang menunjukkan pertimbangan faktor keamanan ini sebagai faktor utama dapat dilihat dengan penempatan pemukiman bagi mereka yang mengelilingi Kota Makassar. Selain penempatan berbagai unsur tersebut, berdasarkan catatan sejarah yang mengemukakan bahwa ditempatkannya orang-orang Melayu di Kampong Melayu, orang-orang Wajo di kampong Wadjo dan Arung Palakka di Bontoala yang notabene adalah sekutu Belanda karena mudah diajak kerjasama. Khusus terhadap penempatan Arung Palakka di Bontoala dikemukakan oleh Mattulada bahwa diberikannya daerah ini kepada Arung Palakkan karena daerah ini adalah tempat persembunyian bagi orang-orang Makassar yang melakukan perlawanan terhadap Belanda yang tidak setuju dengan perjanjian Bungaya. Pertimbangan keamanan ini tidak lain karena pada fase awal kekuasaan pemerintah Belanda di Makassar masih menghadapi serangan-serangan sporadis dari kerajaan Gowa-Tallo yang tidak senang dengan perjanjian Bungaya.

Penataan Kota Makassar yang dilakukan oleh Speelman, berkembang hingga menjadi kota metropolitan seperti sekarang. Dengan demikian keberadaan sebuah kota tidak lepas dari sejarah awal perkembangannya dan segala proses yang dilaluinya. Menurut Mumford (1967), perkembangan kota sangat berkaitan dengan fungsi waktu, sehingga aspek hitoris memegang peran penting dalam membentuk morfologi kota. Selain aspek historis, terdapat pula aspek fisik, aspek perencanaan kota, ekonomi, politik dan aspek sosial budaya masyarakat yang turut membentuk wajah kota.

MASA KOLONIALISME

Bagi masyarakat Sulawesi bagian selatan, perubahan besar yang menandai dimulainya jaman Hindia Belanda di abad ke-19 bisa dikatakan dimulai ketika Britania di bulan Maret tahun 1812 secara resmi mengambil alih kekuasaan di Makassar dan beberapa bu-lan kemudian wafat Arumpone La Tenritappu Sultan Ahmad Assaleh yang sudah menjadi penguasa Kesultanan Bone sejak seperempat abad terakhir. Selama itu juga dia telah memimpin hambanya melalui masa yang penuh gejolak utamanya ketika menyaksikan pergolakan yang dipicu oleh Batara Gowa. Sementara itu sudah sejak pertengahan abad ke-18 Kesultanan Gowa dalam posisi yang lemah. Tantangan La Maddukelleng Arung Matowa Wajo bersama La Mappasepe Karaeng Bontolangkasa terus membuat posisi kesultanan di Gowa dalam ancaman. Apalagi sampai dengan dipicunya gerakan Batara Gowa, posisi kesultanan selalu berada di tangan mereka yang masih berusia sangat muda. Kondisi sedikit membaik ketika sultan yang baru yakni I Temmasongeng Sultan Zainuddin menandatangani perjanjian dengan VOC di tahun 1770. Ketergantungan pada VOC menjadi semakin nampak ketika tanpa dukungan VOC Sultan Zainuddin dipaksa meninggalkan tahta dan meninggalkan pusaka-pusaka kesultanan pada saat Batara Gowa bersama pasukannya memasuki Kale Gowa di bulan Juni 1777. Hingga 1816 posisi kesultanan di Gowa diisi oleh sultan yang tak menguasai pusaka, atau posisi tersebut malahan kosong sama sekali.

Di Makassar berkuasanya Britania antara tahun 1812 dan 1816 merupakan katalis bagi banyak peristiwa yang terjadi sesudahnya. Berkuasanya Bri-tania ini bisa dianggap sebagai penyebab terbendungnya kekuasaan dan dominasi Bone di semenanjung barat Sulawesi meski tidak sampai melemahkannya. Bone yang di akhir abad ke-18 tampil lebih kuat karena tidak dipengaruhi kalau bukan malah diuntungkan oleh munculnya Batara Gowa terus berusaha meman-faatkan lemahnya kekuatan pesaingnya hingga akhirnya Britania muncul.

Ketika Britania mengambil alih kekuasaan atas Hindia di Batavia di bulan Agustus 1811, maka mereka menganggap pengambil alihan ini bukan perebutan koloni Belanda oleh Britania, melainkan membatalkan pengambil alihan yang tidak sah (to annul the unlawful annexation) koloni Belanda oleh Perancis dan kemudian meletakkan koloni ini di bawah perlindungan Britania Raya. Tidak serta merta daerah-daerah di luar Jawa dapat diserahkan kepada Britania karena dibutuhkan dukungan logistik yang tidak sedikit bagi Britania untuk dapat mengendalikan wilayah Hindia yang sedemikian luasnya. Baru kelak lebih dari setengah tahun sejak penyerahan di Batavia, Makassar bisa dis-erahkan kepada Britania.

Pada tanggal 8 Maret 1812, Gubernur Makassar Johan Bassar van Wikkerman menyerahkan kekuasaan atas wilayah ini kepada Richard Philips yang kemudian bertindak sebagai resident bagi Britania dan segera sesudah penyerahan, Philips menerapkan berbagai kebijakan untuk membuka Makassar dan sekitarnya bagi semua pedagang Eropa yang diharap-kannya dapat meningkatkan arus pe-layaran dan perdagangan di wilayah ini. Tidak lama sesudah Britania berkuasa, di bulan Juli 1812, Arumpone La Tenritappu Sultan Ahmad Assaleh wafat dan kemudian diberi gelar MatinroE ri Rompegading.

Pengganti La Tenritappu sebagai Arumpone adalah anak lelakinya yakni To Appatunru yang juga menjabat seba-gai Arupalakka dan sebagai Sultan Bone bergelar Sultan Muhammad Ismail Muhtajuddin. Tumbuh dewasa di masa Bone menikmati kekuasaan yang besar kala berhadapan baik dengan penguasa-penguasa lokal maupun dengan VOC yang melemah, To Appatunru tidak begitu saja bersedia takluk pada resident dari Britania. Hubungan antara Bone dengan Britania terus memburuk dan mengarah kepada pertentangan bersenjata. Sejak akhir tahun 1813 To Appatunru sudah mempersenjatai warganya di Bontoala (terletak tidak jauh di sebelah timur Benteng Rotterdam kini sudah menjadi bagian pusat Kota Makassar) yang sejak abad ke-17 merupakan permukiman resmi para penguasa Bone dan warganya pada saat berada di Makassar.

Menyadari beratnya tantangan keadaan yang bakal diha-dapinya, Resident Philips segera meminta Batavia untuk mengirimkan bantuan dan di awal bulan Juni 1814 pasukan yang diharapkan sudah tiba. Tidak sampai seminggu kemudian, pada tanggal 7 Juni 1814 Bontoala diserang dan ditaklukkan oleh pasukan gabungan Britania dan dibantu oleh pasukan dari Kesultanan Gowa, Sopppeng dan Sidenreng. Sultan Bone mening-galkan Bontoala dan mundur ke arah pegunungan di utara (sekarang Maros), sementara istana Kesultanan Bone di Bontoala dibakar dan kampung ini disita dan tidak lagi menjadi milik Kesultanan Bone dan wilayahnya dijual kepada pejabat Britania di Makassar dan warga kota lainnya.

Tanpa diketahui di Makassar, dalam waktu yang hampir bersamaan, jauh di seberang lautan di London sedang dirundingkan pengembalian wilayah koloni yang dikuasai Britania ke Belanda menyusul dikalahkannya Napoleon. Hasil dari perundingan tersebut adalah Perjanjian London yang ditandatangani pada 13 Agustus 1814 yang memuat pengaturan pengembalian tersebut. Meski demikian, karena terhambat oleh situasi yang belum menentu di Eropa penyerahan sesung-guhnya baru terlaksana kemudian. Penyerahan koloni ke Belanda dilaksanakan oleh John Fendall pada tanggal 19 Agus-tus 1816. Apabila pelaksanaan penyerahan di Batavia baru bisa terjadi 2 tahun setelah penandatanganan, penyerahan Makassar baru terjadi pada 7 Oktober 1816 yang dilakukan oleh Dalton dan diterima oleh Komisaris P.T. Chasse.

Bagi masyarakat di Sulawesi bagian selatan, satu peristiwa penting yang men-gakibatkan serangkaian peristiwa penting lainnya adalah datangnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang pertama (sesudah pengembalian Hindia ke Belanda), yakni G.A.G.P Baron van der Capellen di tahun 1824. Kunjungan ini sebenarnya sudah lama direncanakan ti-dak lama sesudah dia menjabat sebagai gubernur jenderal. Sebenarnya pengel-olaan Jawa menjadi prioritas utama seperti yang juga dilakukan oleh Raffles maupun Daendels sebelumnya, namun van der Capellen harus juga memikirkan penataan ulang pengelolaan Kepulauan Maluku dimana tidak adanya pengendalian kolonial yang mapan menjadikan keadaan menjadi rentan yang terbukti dengan terjadinya Perlawanan Pattimura di Ambon di akhir tahun 1817 hanya beberapa bulan sesudah Ambon diserahkan kembali oleh Britania kepada Belanda. Selama tahun-tahun berikutnya van der Capellen hanya bisa mengirim utusan-utusannya untuk mengurus wilayah timur Hindia dan baru di tahun 1824 dia bisa berlayar ke timur, pertama-tama ke Ambon sebelum akhirnya sandar di Makassar di pada tanggal 5 Juli 1824.

Tak lama sesudah tiba di Makassar, van der Capellen segera mengambil serangkaian keputusan untuk mengatur wilayah ini. Pada tanggal 17 Juli 1824 gubernur jenderal mengeluarkan satu aturan tata pemerintahan baru untuk wilayah Makassar yang mengatur baik aspek administratif maupun peradilan (atau lengkapnya Eene niuwe organisatie van het Gouvernement van Makassar wordt daargesteld, en gearresteerd een reglement op de administratie der policie en op de Civile en Criminele Regtsvordering aldaar, atau Nieuwe Organisatie 1824). Nieuwe Organisatie 1824 ini diterbitkan dalam Staatblad 1824 Nomor 31a, sedangkan dalam istilah "Makassar" dimaksudkan dalam aturan ini termasuk wilayah mulai dari titik utara yang sekarang kota Palu sampai Pulau Selayar dan Pulau Sumbawa di selatan dan Pulau Buton di timur. Namun demikian dalam rinciannya, wilayah yang diatur adalah wilayah-wilayah yang dikuasai langsung oleh penguasa kolonial ("grondgebied van het Gouvernement van Makassar"). Untuk wilayah Sulawesi bagian selatan, yang diatur di sini dalam pasal 1 ayat 1 adalah kota (pada waktu itu district) Makassar, Zuider Districten (termasuk di antaranya Galesong, Polombangkeng dan Takalar), Maros (termasuk di antaranya Sudiang, Tanralili, Pangkajene, Segeri), Bulukumba dan Bantaeng (sebagai satu kesatuan), dan Selayar. Wilayah ini akan tetap dipimpin oleh seorang gubernur, sedang untuk tiap distrik akan dikelola oleh seorang magis-traat (untuk distrik Makassar) atau seo-rang residen untuk distrik lainnya yang didampingi oleh penguasa pribumi (regent) dan kepala-kepala desa atau kampung.

Dalam waktu yang bersamaan dengan penggodogan Nieuwe Organisatie 1824, disiapkan juga satu naskah perjanjian baru yang harus ditanda tangani oleh para penguasa lokal di wilayah ini yang kelak dikenal sebagai "Perjanjian Bungaya yang diperbaharui" (vernieuwd Bongaijasch Contract untuk teks lengkapnya bisa dilihat di Ikhtisar 1973: 263). Isi naskah perjanjian ini meneguhkan kembali apa yang disebut sebagai "perdamaian, pertemanan dan persekutuan" ("vrede, vrienden bondgenootschap") yang sudah diperjanjikan dalam Perjanjian Bungaya di tahun 1677 (ayat 24), antara, waktu itu, VOC dengan penguasa-penguasa lokal di Sulawesi bagian selatan.

Dengan pernyataan sedemikian rupa maka dalam kedua per-janjian ini disiratkan adanya pengakuan kedaulatan para penguasa lokal meski dibatasi oleh ayat-ayat lainnya. Demikian pula sebagian besar isi Perjanjian 1824 tidak banyak berbeda dengan Perjanjian 1667 dengan beberapa pengecualian penting. Yang pertama, posisi Gowa seba-gai pihak yang kalah dalam Perang Makassar dan segala kewajiban yang dibebankan kepadanya tidak lagi di sebutkan dalam Perjanjian 1824. Yang kedua (dan ini yang mengganggu pihak Kesultanan Bone) di ayat 3 disebutkan bahwa semua penguasa lokal yang menanda tangani perjanjian ini dianggap setara dan tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain ("geen superioriteit"), meski ada hubungan kakak-adik ("ouderen en jongeren broeder") dimana di ayat 4 dinyatakan penguasa Bone dan Gowa sebagai anggota-anggota yang tertua ("oudste leden").

Berbeda dengan Perjanjian 1667 dalam perjanjian ini Gowa seolah dinaikkan dari pihak yang kalah perang menjadi anggota tertua, sedang Bone disamakan dengan yang lain meski juga anggota tertua. Hak khusus yang dimiliki oleh Bone sebagai sekutu setia di bawah La Tenritata Arupalaka dalam Perang Makassar meski juga tak disuratkan dalam Perjanjian 1667, karenanya tak lagi disiratkan apalagi disuratkan dalam Perjanjian 1824.

Nieuwe Organisatie 1824 dan Perjanjian Bungaya yang diperbaharui adalah dua dokumen yang paling penting di abad ke-19 yang merupakan refleksi dari hubungan yang tentu saja dipaksakan antara pemerintah kolonial dengan para penguasa lokal di Sulawesi bagian selatan. Dari dilaksanakannya dua kebijakan tersebut, maka dalam pandangan administratif penguasa kolonial, secara umum wilayah Sulawesi bagian selatan dibagi atas dua kategori yakni wilayah yang dikuasai dan dikelola secara langsung oleh pemerintah kolonial dan wilayah yang tidak dikua-sainya tetapi dikuasai oleh para penguasa lokal yang semua menanda tangani perjanjian dengan pemerintah kolonial dan mendapat kebebasannya meskipun dibatasi. Meski demikian tidak berarti bahwa pemerintah Hindia Belanda sudah lebih percaya diri, sebaliknya kedatangan James Brooke ke Bantaeng dan Teluk Bone di tahun 1840 menunjukkan masih mudahnya petualang Britania untuk masuk ke wilayah Hindia. Dan hal ini harus dicegah.

Di tahun 1848 pengaturan administratif dilanjutkan dimana Pemerintahan Makassar diganti namanya dengan Pe-merintahan Celebes dan Daerah-daerah Tergantung (Gouverenement van Celebes en Onderhoorigheden) yang secara eksplisit menunjukkan wilayah yang diklaimnya meski pada prakteknya tidak mengubah wilayah yang dikelolanya, termasuk Sulawesi bagian selatan di dalamnya.

Dengan pengaturan ini, secara lebih rinci lagi pembagian wilayah dilakukan dimana kini, dibagi menjadi 3 "kategori" wilayah yakni (1) wilayah pemerintah (gouvernements landen) yang diperintah langsung, (2) wilayah pemerintah yang tak diperintah langsung, dan (3) daerah-daerah sekutu (bondgenootschappelijke landen). Wilayah kategori pertama hanya meliputi Distrik Makassar, Distrik-distrik Utara (Noorderdistricten), Bantaeng dan Bulukumba (istilah resminya Bonthain en Boelokoemba), dan Pulau Selayar, sedang kategori kedua meliputi wilayah Kaili (Kajelie), Pare-Pare, Tanette, Tallo, Wajo, dan Laiwui. Sedang mereka yang masuk dikategori ketiga, dianggap sebagai "sekutu" dengan dasar penandatanganan para penguasa wilayah-wilayah ini atas Perjanjian Bungaya yang diperbaharui dan termasuk di dalamnya Mandar, Toraja, Masenrempulu (Massenre Boeloe), Luwu, Ajattappareng (Adja Tamparan), Bacukiki, Nepo, Labaso, Barru, Soppeng, Bone, Gowa, Sandrabone, Tu-ratea, Buton, Pulau Sumbawa, dan Pulau Flores.

Sebagai landasan utama pengaturan administratif dan pengendalian kolonial maka kedua alat utama yang diletakkan di tahun 1824 yakni Nieuwe Organisatie dan Perjanjian Bungaya yang diperbaharui menjadi sangat penting. Dan pentingnya kedua alat ini hanya bisa dipahami apa-bila dilihat secara bersama-sama dimana Nieuwe Organisatie 1824 seolah mendapat legitimasi dan pengakuan lokal melalui Perjanjian Bungaya yang diperbaharui. Nieuwe Organisatie 1824 digunakan untuk mengatur wilayah-wilayah yang diperintah langsung sedangkan Perjanjian Bun-gaya yang diperbaharui menjadi dasar hubungan antara negara kolonial dengan kekuatan lokal yang setidaknya secara teoretik mengikuti argumen Resink masih berdaulat meski dalam prakteknya kedaulatannnya tergerus terus sejalan dengan semakin menguatnya negara colonial.

MASA PENAMAAN MAKASSAR

Pada zaman penjajahan Belanda dan pada zaman pendudukan tentara Jepang sampai setelah kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia diakui dan sebelum namanya dirubah, ibukota Propinsi Sulawesi Selatan ini disebut kota Makasar. Namun di dalam bahasa daerah, baik dalam bahasa daerah Makassar maupun di dalam bahasa daerah Bugis tidak dikenal kata Makassar untuk menyebut ibukota Propinsi Sulawesi Selatan ini. Baik di dalam bahasa daerah Makassar maupun di dalam bahasa daerah Bugis selalu dipergunakan Ujung Pandang, Jumpandang atau Juppandang untuk menyebutkan nama ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. lni pulalah salah satu alasan yang kuat mengapa pada zaman Daeng Pattompo. menjabat sebagai Walikota, nama kota Makassar diubah menjadi kota Ujung Pandang. Perubahan nama kota Makassar menjadi Ujung Pandang cukup banyak dan ramai dipersoalkan serta menimbulkan golongan yang pro atau setuju dan golongan yang kontra atau tidak setuju dengan perubahan itu.

Penyatuan dua kerajaan kembar Gowa-Tallo merupakan langkah pemufakatan penyelesaian konflik atau perang. Sejak penyatuan dua kerajaan itu, sebuah bandar baru dibangun yang dikenal dengan nama Makassar. Hal itu berakibat Bandar Tallo dan Bandar Sombaopu hanya dipandang sebagai bagian dari bandar baru tersebut. Penyebutan nama Makassar dapat dipandang mewakili eksistensi Gowa-Tallo. Siapa yang memberikan nama itu dan kapan diberikan serta diterima oleh pemilik bandar dan kerajaan itu sulit diketahui.

Sebagaimana disebutkan, nama 'Makassar' telah dikenal jauh sebelum bandar Makassar baru muncul. Jika informasi tersebut dihubungkan dengan kedudukan Bandar Makassar dan Kerajaan Makassar yang dalam perkembangannya ditempatkan sebagai satu-satunya bandar terpenting dalam pelayaran ke Maluku, maka dapat dikatakan bahwa penamaan itu berkaitan dengan kedudukan bandar dan kerajaan itu di kawasan jalur utara pelayaran Malaka-Maluku. Posisi itu menempatkan Makassar menjadi bandar terpenting dan pusat perdagangan transito internasional dalam dunia perdagangan maritim pada akhir abad ke-16 hingga paruh pertama abad ke-17. Makassar menjadi pusat niaga untuk pelaut dan pedagang di Asia dan Eropa dalam komoditas rempah-rempah.

Satu hal yang tidak jelas, kabur, dan sering membingungkan dalam narasi sejarah Sulawesi Selatan adalah penyebutan Makassar yang bercampur dalam berbagai kategori; entitas politik, etnis/antropologis, serta unit geografis. Selain itu, Makassar seringkali tidak dapat dibedakan dan dijelaskan secara kronologis tentang keberadaan Kerajaan Gowa dan Tallo.

Menurut Kitab Negarakretagama (pupuh XIII dan XIV), Makassar adalah nama daerah di Jawa bagian timur yang pernah dikuasai Majapahit pada pertengahan abad ke-14. Namun, hingga saat ini, Makassar belum dikenal sebagai nama kota atau nama kerajaan. Kata Makassar hanya merujuk pada suatu suku/suku, dengan sebutan 'orang Makassar', yang memiliki bahasa sendiri, dan mendiami pesisir selatan, meliputi wilayah Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, sebagian Bulukumba, sebagian Maros dan sebagian Kepulauan Pangkajene.

Munculnya entitas politik, menjadi dasar lahirnya kota atau ibu kota. Di Sulawesi Selatan, entitas politik awal dipersoalkan berupa politik kecil/komunitas lokal (bori, wanua), yang disatukan dengan lahirnya mitos tumanurung dan disertai gaukang/kalompoang. Mitologi tumanurung oleh kaum bangsawan didasarkan pada argumen "hak yang diberikan oleh Tuhan" untuk memerintah dan membenarkan posisi khusus mereka.

Di sisi lain, benda keramat (gaukang) berfungsi sebagai tempat pembentukan komunitas dan kedaulatan (sovereignty), serta representasi kekuatan politik dan simbol pemersatu kelompok. Adanya kesatuan masyarakat (paqrasangang) disertai dengan berkembangnya sistem ketentuan agama, sosial, dan politik.

Berdasarkan lontara' Patturiolong Tugowaya (sejarah masyarakat Gowa) sekitar tahun 1300 M di semenanjung selatan Pulau Sulawesi, tepatnya di wilayah Takak Bassia Gowa, diturunkan dari surga seorang wanita yang dipercaya sebagai tumanurung. Saat itu, sebuah unit politik kecil yang terdiri dari 'sembilan negara/bendera/pelayan' (bate/kasuwiyang salapang) bersatu dan sepakat diangkat sebagai pemimpin. Tumanurung kemudian dinikahkan dengan Karaeng Bayo (penguasa lautan), seorang tokoh yang terkait dengan kerajaan yang kuat di seberang lautan dan memiliki keahlian maritim. Dari perkawinan tersebut lahir keturunan yang kemudian menjadi raja-raja Gowa, sekaligus memperkuat berdirinya suatu kekuasaan politik yang disebut Kerajaan Gowa.

Hanya Kerajaan Gowa-Tallo dan keterlibatannya dalam perdagangan internasional, yang menimbulkan konsekuensi dalam entitas ini. Pertama, Kerajaan Gowa-Tallo kemudian sering disebut sebagai Kerajaan Makassar, terutama di kalangan penjelajah dan pedagang Barat di Asia Tenggara. Kedua, lanskap perkotaan tidak hanya di sekitar Benteng Somba Opu, tetapi memanjang di sepanjang pantai, dan disebut Bandar Makassar atau Kota Makassar. Luas wilayah kota dan pemukiman yang terpisah membuat sulit untuk mengenali pusat atau batas kota. Seperti dalam penjelasan Anthony Reid bahwa orang tidak bisa memahami apa yang menjadi pusat di kota. Kota tampak kacau dan hampir tidak ada batas antara kota dan pedesaan (Reid, 1980: 240).

Ruang kota yang dimaksud adalah kumpulan desa-desa yang mirip dengan keadaan kota (urban state) termasuk pemukiman besar. Sejak saat itu, Makassar menjadi sebutan yang baik sebagai nama kerajaan atau sebagai nama kota/ibukota kerajaan. Bandar (kota) Makassar yang dihuni oleh penduduk hingga 100.000 jiwa dari berbagai negara memungkinkan diadakannya pertemuan-pertemuan dan juga perluasan ide-ide baru sebagai hasil dari persinggungan budaya.

Kerajaan Makassar kemudian berpindah dari satu kesuksesan ke kesuksesan lainnya, tidak hanya dalam hal perluasan wilayah, tetapi juga dalam inovasi teknis dan intelektual. Beberapa raja yang berkuasa pada abad ke-16, seperti Tunipalangga' (1546-1565) dan Tunijallo' (1565-1590) menghasilkan karya dan kebijakan penting, antara lain; menampilkan penulis istana, membuat senjata perang dengan mesiu, hubungan diplomatik luar negeri, penggunaan batu bata, pencampuran emas dengan logam, penggunaan sistem timbangan dan ukuran, dan pengerahan berbagai pengrajin ke dalam serikat pekerja.

Pesatnya kebangkitan Makassar dan tracking pada abad ke-16 dan berlanjut pada abad ke-17, oleh Anthony Reid menjelaskan cara pandang perdagangan sebagai kekuatan penentu. Menurut transformasi ekonomi sebagai substruktur yang melakukan peristiwa dan perubahan dalam periode. Di era ini untuk pertama kalinya dunia bersatu secara fisik dengan membuka jalur perdagangan langsung antara Eropa dan belahan dunia lainnya. Karena perdagangan, para pemimpin lahir dengan bakat khusus dalam mengadopsi pemikiran dan teknologi baru. Salah satu kunci sukses dari pos perdagangan ini adalah karena mereka membawa semua pedagang asing dari seluruh dunia.

Kemunduran Makassar mulai terlihat sejak kematian Mangkubumi Karaeng Pattingalloang pada tahun 1654. Terjadi pemusatan kekuasaan yang tidak memiliki batas-batas kekuasaan yang jelas. Selain itu, muncul konflik antar elite penguasa, pemberontakan musiman orang Bugis, dan berbagai tindakan sewenang-wenang penguasa hingga merusak daya tarik Bandar Makassar bagi para pedagang. Makassar tetap menjadi kota besar hingga ditaklukkan oleh Belanda (1660-1669), namun kota ini tidak lagi memiliki kesatuan dan visi untuk menghadapi ancaman yang ada ketika orang Eropa tiba sebagai pedagang dan mitra paralel. Banyak peninggalan dari masa ini, antara lain: babad sejarah (patturiolong), traktat (ulukana), sumpah (tunra sapatta atau sumpa), buku adat (rapang/rapang bicara), peraturan sosial (parakara), deklarasi perang (timu-timu bunduq), catatan harian (lontaraq bilang), dan silsilah. Semua memiliki kemampuan untuk melestarikan kata-kata dan tindakan dari masa lalu.

Tidak berlebihan, jika periode sejak awal abad ke-16 hingga menjelang akhir abad ke-17 merupakan masa-masa perkembangan modernitas dalam arti luas. Merujuk catatan Cummings yang menyebut bahwa penguasa Makassar di abad ke-16 dalam pencapaiannya sering kali menyebut kata; "pertumbuhan", "kenaikan", "perluasan", dan "kemajuan". Kerajaan ini bertransformasi dari kekuasaan kecil menjadi kekuasaan paling dominan di semenanjung Sulawesi. Para penguasa Makassar mengubah awal yang tidak menjanjikan menjadi kisah yang mengesankan. Anthony Reid menyebutnya sebagai "salah satu cerita sukses paling cepat dan spektakuler sepanjang sejarah Indonesia".

Kota Makassar merupakan kota terbesar keempat di Indonesia dan terbesar di Kawasan Timur Indonesia. Sebagai pusat pelayanan di Kawasan Timur Indonesia (KTI), Kota Makassar berperan sebagai pusat perdagangan dan jasa, pusat kegiatan industri, pusat kegiatan pemerintahan, simpul jasa angkutan barang dan penumpang baik darat, laut maupun udara dan pusat pelayanan pendidikan dan kesehatan. Kota Makassar diapit dua buah sungai yaitu: Sungai Tallo yang bermuara disebelah utara kota dan Sungai Jeneberang bermuara pada bagian selatan kota.

Kota Makassar bisa dikategorikan sebagai kota dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Sebab Makassar memiliki banyak sarana perekonomian yang terbuka tiap harinya. Yakni Shopping Mall, Rumah Bernyanyi, Supermarket dalam ukuran besar maupun kecil, berbagai industri, toko-toko, dan juga termasuk pasar serta pedangang kecil-kecilan. Sarana Jalan di sepanjang kota Makassar tengah dilakukan upaya alternatif jalan dengan melakukan pelebaran badan jalan dan penambahan jembatan layang atau fly over dan bundaran di depan bandara sultan hasanuddin yang dibangun untuk meretas kemacetan yang hampir terjadi tiap harinya. Sedangkan untuk saran komunikasi, penduduk kota Makassar telah difasilitasi dengan beragam pemancar untuk jaringan telivisi, radio dan telepon.

MAKNA LOGO

Setiap daerah dalam bentuk kabupaten atau kota masing-masing memiliki budaya yang khas dan karakter masyarakat yang berbeda-beda sebagai cerminan sosial budaya dan lingkungan alamnya. Selain social budaya, daerah-daerah tersebut masing-masing memilik iidentitas yang menjadi simbol daerahnya dalam bentuk logo. Logo suatu daerah kabupaten-kota merupakan visualisasi dari nilai-nilai yang dianut oleh daerah tersebut. Itulah sebabnya sebuah logo selain mempertimbangkan nilai-nilai estetis juga sarat dengan makna-makna simbolik yang diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi dan motivasi dari daerah tersebut dalam menata dan membangun daerahnya. Selain itu, perwujudan sebuah logo atau lambing terkadang juga mengangkat peristwa yang bernilai historis dari suatu bangsa atau daerah.

Seperti halnya dengan lambing Negara Republik Indonesia, setiap daerah dalam bentuk kabupaten/kota di seluruh Indonesia juga memilki lambang (logo) yang menjadi salah satu dari identitas daerah tersebut. Lambang (logo) dari setiap kabupaten-kota sarat dengan nilai-nilai budaya yang menjadi sumber inspirasi, motivasi, ataupun sebagai dokumen dari sebuah peristiwa persejarah bagi daerah tersebut. Namun, berdasarkan pengamatan penulis makna dan nilai-nilai yang terkandung pada lambing setiap kabupaten-kota khususnya di Sulawesi-Selatan hanya dipahami oleh orang-orang tertentu pada generasi tua.

Sementara pada generasi muda hampir bias dipastikan bahwa mereka tidak tahu sama sekali. Padahal dari lambing tersebut sarat dengan nilai-nilai budaya; kerarifan lokal (local wisdom) yang dapat diterapkan dalam kehidupan kekinian sebagai filter di dalam menghadapi arus globasilasi. Selain itu, dengan memahami arti lambing daerah masing-masing mereka juga dapat memahami akar budaya sendiri, mencintai budaya sendiri, dan pada akhirnya akan merasa bangga terhadap hasil budayanya sendiri.

Arti/Makna Logo Kota Makassar:

1. Perisai putih sebagai dasar melambangkan kesucian;

2. Perahu yang kelima layarnya sedang terkembang melambangkan bahwa Kota Makassar sejak dahulu kala adalah salah satu pusat pelayaran di Indonesia;

3. Buah padi dan kelapa melambangkan kemakmuran;

4. Benteng yang terbayang di belakang perisai melambangkan kejayaan Kota Makassar;

5. Warna Merah Putih dan Jingga sepanjang tepi perisai melambangkan kesatuan dan kebesaran Bangsa Indonesia;

6. Tulisan "Sekali Layar Terkembang, Pantang Biduk Surut Ke Pantai," menunjukkan semangat kepribadian yang pantang mundur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Makassar Selengkapnya
Lihat Makassar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun