Benteng Rotterdam kemudian digunakan sebagai markas tentara dan kantor perwakilan VOC di wilayah nusantara bagian timur. Speelman menata Makassar menjadi empat elemen. Pertama, pusat pemerintahan yang berada di Benteng Rotterdam. Di dalam benteng terdiri dari tembok-tembok batu yang besar, dengan pembagian ruang, blok-blok dan pintu gerbang. Sekitar benteng menjadi lingkungan pemukiman orang Belanda yang eksklusif. Pejabat, pegawai pemerintah dan tentara VOC umumnya bermukim dalam benteng dan wilayah sekitarnya. Kedua, tumbuh dan berkembang pemukiman di sebelah timur laut Benteng Rotterdam. Lokasi ini disebut "perkampungan pedagang dengan perumahan bagi orang-orang asing dan pendatang" atau dikenal dengan Negory Vlaardingen. Penghuni kawasan ini adalah pedagang yang berasal dari Eropa, orang Tionghoa dan penduduk asli yang beragama Kristen. Ketiga, yang ikut membentuk struktur dan tata ruang permukiman dalam pusat wilayah Kota Makassar adalah Kampong Melayu yaitu kampung yang terdapat di sebelah utara Vlaardingen. Nama Kampong Melayu melekat dari suku asal penghuninya yaitu orang-orang Melayu. Keempat, yakni Kampong Beru atau Kampung Baru, terletak di bagian selatan Benteng Rotterdam, berada di dekat pantai. Di daerah ini berdiam orang-orang dari Asia serta para bekas budak beragama kristen yang bekerja sama dengan Belanda. Mereka ini dikenal dengan istilah Mardijkers.
Terbentuknya pola keruangan kota Makassar, faktor keamanan menjadi alasan utama bagi pemerintah Belanda dalam merencanakan dan membentuk pola keruangannya. Hal ini dapat dilihat dengan terpusatnya berbagai fasilitas dalam kompleks benteng, selain itu bangunan-bangunan yang ada di dalam kompleks benteng dirancang untuk mengamati keadaan di luar benteng. Pertimbangan keamanan ini tetap berlanjut pada perkembangan pola keruangan kota selanjutnya yang ditandai dengan tetap terpusatnya fasilitas kota dalam satu kawasan. Kawasan yang dimaksud adalah kawasan yang dibatasi oleh Fort Rotterdam di sisi barat, Kampong Melayu di bagian utara, Fort Vredenburg di sisi timur dan kediaman gubernur pada bagian selatan.
Selain itu, penempatan berbagai daerah pemukiman bagi orang-orang pribumi baik pribumi lokal maupun yang datang dari wilayah di luar Makassar dalam perancangan kota Makassar yang menunjukkan pertimbangan faktor keamanan ini sebagai faktor utama dapat dilihat dengan penempatan pemukiman bagi mereka yang mengelilingi Kota Makassar. Selain penempatan berbagai unsur tersebut, berdasarkan catatan sejarah yang mengemukakan bahwa ditempatkannya orang-orang Melayu di Kampong Melayu, orang-orang Wajo di kampong Wadjo dan Arung Palakka di Bontoala yang notabene adalah sekutu Belanda karena mudah diajak kerjasama. Khusus terhadap penempatan Arung Palakka di Bontoala dikemukakan oleh Mattulada bahwa diberikannya daerah ini kepada Arung Palakkan karena daerah ini adalah tempat persembunyian bagi orang-orang Makassar yang melakukan perlawanan terhadap Belanda yang tidak setuju dengan perjanjian Bungaya. Pertimbangan keamanan ini tidak lain karena pada fase awal kekuasaan pemerintah Belanda di Makassar masih menghadapi serangan-serangan sporadis dari kerajaan Gowa-Tallo yang tidak senang dengan perjanjian Bungaya.
Penataan Kota Makassar yang dilakukan oleh Speelman, berkembang hingga menjadi kota metropolitan seperti sekarang. Dengan demikian keberadaan sebuah kota tidak lepas dari sejarah awal perkembangannya dan segala proses yang dilaluinya. Menurut Mumford (1967), perkembangan kota sangat berkaitan dengan fungsi waktu, sehingga aspek hitoris memegang peran penting dalam membentuk morfologi kota. Selain aspek historis, terdapat pula aspek fisik, aspek perencanaan kota, ekonomi, politik dan aspek sosial budaya masyarakat yang turut membentuk wajah kota.
MASA KOLONIALISME
Bagi masyarakat Sulawesi bagian selatan, perubahan besar yang menandai dimulainya jaman Hindia Belanda di abad ke-19 bisa dikatakan dimulai ketika Britania di bulan Maret tahun 1812 secara resmi mengambil alih kekuasaan di Makassar dan beberapa bu-lan kemudian wafat Arumpone La Tenritappu Sultan Ahmad Assaleh yang sudah menjadi penguasa Kesultanan Bone sejak seperempat abad terakhir. Selama itu juga dia telah memimpin hambanya melalui masa yang penuh gejolak utamanya ketika menyaksikan pergolakan yang dipicu oleh Batara Gowa. Sementara itu sudah sejak pertengahan abad ke-18 Kesultanan Gowa dalam posisi yang lemah. Tantangan La Maddukelleng Arung Matowa Wajo bersama La Mappasepe Karaeng Bontolangkasa terus membuat posisi kesultanan di Gowa dalam ancaman. Apalagi sampai dengan dipicunya gerakan Batara Gowa, posisi kesultanan selalu berada di tangan mereka yang masih berusia sangat muda. Kondisi sedikit membaik ketika sultan yang baru yakni I Temmasongeng Sultan Zainuddin menandatangani perjanjian dengan VOC di tahun 1770. Ketergantungan pada VOC menjadi semakin nampak ketika tanpa dukungan VOC Sultan Zainuddin dipaksa meninggalkan tahta dan meninggalkan pusaka-pusaka kesultanan pada saat Batara Gowa bersama pasukannya memasuki Kale Gowa di bulan Juni 1777. Hingga 1816 posisi kesultanan di Gowa diisi oleh sultan yang tak menguasai pusaka, atau posisi tersebut malahan kosong sama sekali.
Di Makassar berkuasanya Britania antara tahun 1812 dan 1816 merupakan katalis bagi banyak peristiwa yang terjadi sesudahnya. Berkuasanya Bri-tania ini bisa dianggap sebagai penyebab terbendungnya kekuasaan dan dominasi Bone di semenanjung barat Sulawesi meski tidak sampai melemahkannya. Bone yang di akhir abad ke-18 tampil lebih kuat karena tidak dipengaruhi kalau bukan malah diuntungkan oleh munculnya Batara Gowa terus berusaha meman-faatkan lemahnya kekuatan pesaingnya hingga akhirnya Britania muncul.
Ketika Britania mengambil alih kekuasaan atas Hindia di Batavia di bulan Agustus 1811, maka mereka menganggap pengambil alihan ini bukan perebutan koloni Belanda oleh Britania, melainkan membatalkan pengambil alihan yang tidak sah (to annul the unlawful annexation) koloni Belanda oleh Perancis dan kemudian meletakkan koloni ini di bawah perlindungan Britania Raya. Tidak serta merta daerah-daerah di luar Jawa dapat diserahkan kepada Britania karena dibutuhkan dukungan logistik yang tidak sedikit bagi Britania untuk dapat mengendalikan wilayah Hindia yang sedemikian luasnya. Baru kelak lebih dari setengah tahun sejak penyerahan di Batavia, Makassar bisa dis-erahkan kepada Britania.
Pada tanggal 8 Maret 1812, Gubernur Makassar Johan Bassar van Wikkerman menyerahkan kekuasaan atas wilayah ini kepada Richard Philips yang kemudian bertindak sebagai resident bagi Britania dan segera sesudah penyerahan, Philips menerapkan berbagai kebijakan untuk membuka Makassar dan sekitarnya bagi semua pedagang Eropa yang diharap-kannya dapat meningkatkan arus pe-layaran dan perdagangan di wilayah ini. Tidak lama sesudah Britania berkuasa, di bulan Juli 1812, Arumpone La Tenritappu Sultan Ahmad Assaleh wafat dan kemudian diberi gelar MatinroE ri Rompegading.
Pengganti La Tenritappu sebagai Arumpone adalah anak lelakinya yakni To Appatunru yang juga menjabat seba-gai Arupalakka dan sebagai Sultan Bone bergelar Sultan Muhammad Ismail Muhtajuddin. Tumbuh dewasa di masa Bone menikmati kekuasaan yang besar kala berhadapan baik dengan penguasa-penguasa lokal maupun dengan VOC yang melemah, To Appatunru tidak begitu saja bersedia takluk pada resident dari Britania. Hubungan antara Bone dengan Britania terus memburuk dan mengarah kepada pertentangan bersenjata. Sejak akhir tahun 1813 To Appatunru sudah mempersenjatai warganya di Bontoala (terletak tidak jauh di sebelah timur Benteng Rotterdam kini sudah menjadi bagian pusat Kota Makassar) yang sejak abad ke-17 merupakan permukiman resmi para penguasa Bone dan warganya pada saat berada di Makassar.
Menyadari beratnya tantangan keadaan yang bakal diha-dapinya, Resident Philips segera meminta Batavia untuk mengirimkan bantuan dan di awal bulan Juni 1814 pasukan yang diharapkan sudah tiba. Tidak sampai seminggu kemudian, pada tanggal 7 Juni 1814 Bontoala diserang dan ditaklukkan oleh pasukan gabungan Britania dan dibantu oleh pasukan dari Kesultanan Gowa, Sopppeng dan Sidenreng. Sultan Bone mening-galkan Bontoala dan mundur ke arah pegunungan di utara (sekarang Maros), sementara istana Kesultanan Bone di Bontoala dibakar dan kampung ini disita dan tidak lagi menjadi milik Kesultanan Bone dan wilayahnya dijual kepada pejabat Britania di Makassar dan warga kota lainnya.