1. LUAS, BATASAN & KARAKTERISTIK LOKASI
Hutan Adat Ammatoa Kajang secara administratif terletak di Desa Tana Toa, Desa Pattiroang, Desa Bonto Baji dan Desa Malleleng, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan seluas 313,99 hektar. Hutan Adat tersebut ditetapkan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.6742/MENLHK-PSKL/ KUM.1/12/2016 tanggal 28 Desember 2016. Masyarakat adat Kajang melihat hutan dalam pandangan yang lebih luas, termasuk aspek sosial-budaya dan lingkungan. Ekosistem hutan adat Ammatoa Kajang terbukti dapat bertahan dalam jangka panjang, karena bentuk pengelolaannya penuh dengan kebijakan lingkungan (ecological wisdoms).
2. POTENSI UNIK LOKASI
Masyarakat Kajang memiliki ajaran hidup dan pranata budaya yang disebut sebagai "Passang", yaitu hidup sederhana, jauh dari kerakusan terhadap benda duniawi dan mementingkan ketinggian batiniah dalam semua aspek kehidupan termasuk kewajiban menjaga dan merawat hutan beserta sumberdaya alamnya.
Bagi masyarakat Kajang, hutan merupakan simbol dari tangga sebagai jalan untuk turunnya arwah langit ke bumi dan naik dari bumi ke langit. Hutan merupakan media penghubung antara alam gaib dengan alam nyata. Kepercayaan Masyarakat Adat Kajang, Tana Toa adalah tempat lahirnya manusia pertama (tutowa mariolo, Mula tau, dan Ammatoa).
3. SISTEM PENANGANAN MASYARAKAT DENGAN NILAI NILAI BUDAYA
Masyarakat kajang diwajibkan untuk memelihara ragam makhluk yang ada di hutan dan sekelilingnya, serta pemberian 'Turie A'ra'na (Tuhan) yang ada di hutan, menyebabkan alam sekitar menjadi terpelihara. Baik Masyarakat
Adat Kajang maupun pihak luar diharuskan melepas alas kaki apapun ketika memasuki wilayah adat Kajang Dalam, hal ini berdasarkan filosofi Masyarakat Adat Kajang Berdasarkan letak lokasi pemukiman komunitas hukum adat Kajang terbagi atas dua kelompok yaitu "Kajang Dalam" (llalang Embayya) dan "Kajang Luar" (Ipantarang Embayya). Walaupun menempati beberapa desa, Masyarakat Adat Kajang yang dikenal sebagai asal mula Kajang adalah yang mendiami Desa Tana Toa.
Merusak hutan (ammanraki borong) bagi Masyarakat Adat Kajang merupakan tindakan yang bisa dikenakan sanksi "poko' habbala" atau sanksi paling berat, yaitu dikeluarkan dan tidak boleh kembali lagi ke wilayah adat Kajang. Tidak hanya bagi pelaku tapi seluruh keluarganya. Bagi Masyarakat Adat Kajang, hutan bagaikan dirinya sendiri. Jika hutan dirusak, maka sama seperti merusak dirinya sendiri, sehingga ketaatan dalam menjaga dan merawat hutan dapat terus terjaga lintas generasi hingga saat ini. Pemimpin tertinggi adat Kajang adalah Amma Toa dibantu oleh 26 pemangku adat dengan berbagai tugas dan fungsinya.
4. MANFAAT PENANGANAN BAGI MASYARAKAT
Mata pencaharian utama masyarakat Kajang adalah pertanian, yaitu ladang maupun sawah. Dalam mengelola lahan pertanian mereka pantang atau tabu menggunakan teknologi modern seperti traktor. Sejak awal penggarapan lahan sampai pada tahap panen, semuanya dilakukan dengan menggunakan teknologi yang masih tradisional misalnya menggunakan tenaga kerbau atau sapi untuk membajak. Kaum perempuan umumnya menekuni pekerjaan menenun dan menanam tarum.Â
Daun tanaman tersebut digunakan sebagai zat pewarna benang. Benang umumnya diperoleh dari hasil pemintalan tanaman kapas. Setelah kapas dipintal menjadi benang, kemudian ditenun menjadi kain, yang selanjutnya menjadi sarung (tope), pengikat kepala atau daster (passapu), baju tradisional (haju pokko), celana (saluara) dan sebagainya. Selain itu, perempuan melibatkan diri dalam rutinitas mengasuh anak (anjaga ana), mengambil kayu bakar (angngalle kaju bakara), dan mengambil air.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H