Mohon tunggu...
myusuf298
myusuf298 Mohon Tunggu... Administrasi - semangat berbagi

hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Di Balik Akuisisi XL–Axis

4 Oktober 2013   07:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:01 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kami sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip dari Kemenkominfo yang mendukung XL mengakuisisi Axis". Demikian pernyataan Presiden Direktur XL, Hasnul Suhaimi kepada media (26/7/2013). Rencana XL Axiata mengakuisisi Axis menjadi berita hangat bulan ini. Banyak pihak ikut bicara, baik yang mendukung maupun mempertanyakan. Apa kiranya agenda Axiata Group Berhad, perusahaan telekomunikasi asal Malaysia yang menguasai XL, dengan aksi korporasi ini? Bagaimana industri telko nasional menyikapinya?



Menebak Agenda XL

LTE dipastikan bakal menjadi milestone penting bagi operator. Siapa pun yang menuai sukses LTE, punya kemungkinan besar merajai industri telko. Karenanya, operator perlu menyiapkan beberapa kunci sukses, meliputi antara lain kecepatan waktu, penguasaan frekuensi, investasi dan basis pelanggan. Aksi akuisisi XL, anak usaha pemberi kontribusi terbesar atas kinerja Axiata Group, terhadap Axis menjadi jalan pintas untuk melengkapi kunci sukses tersebut. Sebagaimana penjelasan berikut.

Baru tiga tahun sejak pertama diluncurkan, pelanggan LTE global telah melewati 100 juta. Pertumbuhan pelanggan global yang sangat cepat ini dipastikan akan terjadi juga di Indonesia. Karenanya, waktu menjadi penentu sukses LTE di masa depan.

Mengingat saat ini Indonesia sedang krisis frekuensi, penguasaan sejak dini tentu akan mempercepat implementasi LTE. Jika XL telah menguasai frekuensi yang layak, bisa jadi tidak perlu menunggu tender LTE oleh pemerintah. Kecuali jika LTE di alokasikan pada frekuensi lain seperti 700 MHz.

Bulan Maret lalu Kemenkominfo menetapkan pemenang tender 3G, yaitu Telkomsel dan XL. Dengan kemenangan tersebut, Telkomsel dan XL bakal menguasai tiga blok, sedangkan tiga operator lainnya hanya menempati dua blok. Sementara Indosat, meski hanya punya dua blok di 2,1 GHz, namun berencana memanfaatkan frekuensi 900 MHz untuk ekspansi 3G.

Saat ini Axis, perusahaan bernilai $ 1 miliar yang sahamnya dimiliki oleh Saudi Telecom Company (STC) dan Maxis Communications Berhad, mengendalikan dua blok 3G, yaitu di blok 2 dan 3 yang akan segera di migrasikan ke blok 11 dan 12. Sedangkan XL, paska pemenangan tender 3G, akan menguasai tiga blok, yaitu 8, 9 dan 10. Jika setelah akuisisi XL mengambil semua blok milik Axis, maka XL bakal mengendalikan lima blok yang berurutan, yaitu 8 sampai 12, atau setara dengan rentang pita 25 MHz. Lebar pita tersebut cukup untuk menggelar LTE yang membutuhkan 20 MHz.

Investasi LTE sangat besar, berbeda dengan investasi 3G atau HSPA. Salah satunya karena teknologi LTE tidak kompatibel terhadap 3G. Di saat investasi itulah, basis pelanggan menjadi sangat krusial. Semakin banyak jumlah pelanggan, pengembalian investasi tentu semakin mudah.

Sejak Hasnul Suhaimi berstatus sebagai Direktur, XL terlihat ambisius ingin menggeser posisi Indosat di nomor dua. Tapi sejauh ini mimpi tersebut tidak kunjung datang. Akuisisi Axis secara otomatis akan menambah jumlah pelanggan XL dari semula 49,1 juta menjadi 66,1 juta. Angka tersebut menempatkan XL di posisi kedua, berdiri di depan Indosat yang memiliki pelanggan 55,9 juta pada akhir triwulan pertama tahun 2013.

Konsolidasi Industri Telko

Nilai ekonomi industri telko per tahun berkisar Rp. 160 triliun, meliputi Rp. 130 triliun pendapatan operator dan sisanya gadget. Dari total pendapatan operator, sekitar 90% diraup tiga besar, yaitu Telkom Group, Indosat dan XL. Pendapatan operator lainnya hanya berkontribusi sekitar sepuluh persen.

Munculnya banyak operator yang berebut angka sepuluh persen telah membuat peta kompetisi telko nasional menjadi tidak sehat, bahkan tidak masuk akal. Banyak pihak termasuk operator, pemerintah maupun DPR telah sadar kondisi ini dan mengharapkan terjadinya konsolidasi. Namun sayang, sejauh ini kondolidasi baru terjadi antara Smart dan Fren. Rencana merger Flexi – Esia beberapa tahun lalu batal.

Dengan mempertimbangkan fakta saat ini, jumlah operator ideal adalah lima. Empat operator bermain dengan teknologi GSM dan satu pemain menggunakan CDMA. Dengan demikian, selain tiga besar di atas, hanya ada satu operator GSM dan satu CDMA.

Konsolidasi diyakini berdampak positif terhadap industri telko, paling tidak karena tiga hal berikut. Pertama, alokasi dan pemanfaatan pita frekuensi semakin optimal. Seperti diketahui, saat ini ada operator yang nyaris kehabisan pita frekuensi namun beberapa operator lainnya justru berlebih. Dampaknya, Indonesia kesulitan adopsi LTE akibat krisis pita frekuensi.

Kedua, profitabilitas operator semakin baik. Hal ini diperlukan untuk kesinambungan industri dan adopsi teknologi terbaru. Tentu kita berharap, ke depan tidak ada lagi operator yang menanggung rugi seperti tahun 2012 lalu, di mana ada operator yang mencatat EBITDA Margin 50% (plus), namun ada pula yang -50% (minus).

Ketiga, jaminan kualitas pelayanan. Kompetisi keras telah terbukti menurunkan tarif secara fantastis, sehingga menguntungkan pelanggan. Namun demikian, kondisi ini juga telah mendorong berbagai kecurangan dan penurunan kualitas pelayanan kepada pelanggan. SMS ‘gratis sepuasnya’ memang menguntungkan sebagian pelanggan, namun telah menimbulkan spam dan gangguan bagi penerima. Telepon ‘gratis’ memang menguntungkan sebagian pelanggan, namun juga menjebak sebagian lain yang tidak terlalu cermat. Dan masih banyak lagi yang sejenis.

Dukungan untuk Aksi XL

Setiap aksi korporasi selalu punya tujuan strategis. Begitu juga XL, tentu punya agenda khusus untuk keuntungan perusahaan. Dari penjelasan di atas, selain aspek finansial, paling tidak XL mendapat keuntungan berupa posisi kedua di atas Indosat dan penguasaan pita frekuensi. Keduanya menjadi landasan kokoh untuk investasi LTE guna melenggang pada kompetisi telko masa mendatang.

Terlepas apa pun target XL, akuisisi terhadap Axis akan berdampak positif terhadap industri telko nasional. Karenanya, semua pihak, seperti Kemenkominfo, BRTI, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), semestinya mendukung aksi tersebut.

Kita perlu belajar dari rencana merger Flexi – Esia yang batal tahun 2011 lalu. Yang mana pada waktu itu banyak pihak menentang bahkan terkesan mengancam. Akhirnya, rencana yang seharusnya sangat positif bagi industri telko nasional dan bisnis kedua operator, justru batal terjadi. Dampaknya, saat ini kita menyaksikan, Flexi dan Esia tidak bertumbuh bahkan menuju masa depan yang lebih mengkawatirkan.

Akhirnya, kita berharap semoga semua pihak mendukung rencana akuisisi XL terhadap Axis, sehingga aksi tersebut bisa segera terwujud. Dan selanjutnya, diharapkan muncul merger-akusisi lain, sampai jumlah operator telko mendekati ideal. Semuanya demi masa depan industri telko nasional yang lebih baik.

(artikel ini telah dimuat di Detikinet.com pada 30/7/13)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun