Mohon tunggu...
myusuf298
myusuf298 Mohon Tunggu... Administrasi - semangat berbagi

hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Beda Lebaran Simbol Perpecahan Pemimpin Islam

6 September 2011   01:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:12 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senin (29/8) sore kami sekeluarga sampai di Pekalongan, kampung halaman dan tempat bermain semasa kecil. Hari itu merupakan hari indah bagi keluarga meskipun sebenarnya kami melewati perjalanan mudik yang sungguh luar biasa beratnya. Sewaktu buka puasa ibu menyiapkan lontong opor dan di atas lemari telah bertumpuk ratusan lontong dan ketupat. Kutanya pada ibu, "kok lontongnya banyak sekali, kalau lebaranya rabu gimana?". Spontan ibu menjawab dengan ketus "nggak mau. lebaran harus besok!". Pukul 20.00 wib kami menyaksikan di TV, Menteri Agama memimpin sidang itsbat dan memutuskan lebaran jatuh pada hari rabu. Kulirik ibu sambil tersenyum, sayang ibu justru membalas senyum dengan wajah amat masam tanda kekecewaan yang mendalam. Cerita belum berhenti, karena pagi harinya kami sekeluarga harus menelpon mertua di Jogja yang telah melaksanakan sholat ied di alun-alun kidul.

 

Kisah serupa pasti dialami oleh ribuan keluarga di negeri ini. Betapa kecewanya mereka, setelah melewati mudik yang berat dan berharap suasana lebaran yang indah, ternyata ternodainya oleh ketidakkompakan pemimpin ormas islam. Namun, apa mau dikata, rakyat telah cukup dewasa menyikapi polah dan karakter pimpinan negeri ini.

 

Muhammadiyah menetapkan lebaran pada hari selasa (30/8), sementara Pemerintah bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU) dan ormas lain menetapan lebaran pada hari rabu (31/8). Keputusan Muhammadiyah sesuai dengan metode yang mereka pergunakan yaitu hisab, sementara NU menggunakan metode rukyat. Perbedaan metode ini telah mengakibatkan beda lebaran sejak puluhan tahun yang lalu. Tanpa adanya kemauan untuk bersatu, bisa saja perbedaan ini bakal terpelihara sampai kiamat nanti.

 

Kenapa perlu menyatukan lebaran? Paling tidak ada beberapa alasan. Pertama, lebaran telah menjadi bagian dari tradisi bangsa, bukan lagi domain islam semata. Tradisi lebaran di Indonesia merupakan tradisi lokal yang unik dan tidak duanya di negara lain. Tradisi lebaran telah menyeret tradisi mudik yang dahsyat, tradisi sowan, reuni dan halal bi halal, membentuk pola konsumsi spesifik, mengangkat ekonomi daerah urban, mempengaruhi dunia industri dan seterusnya. Bahkan lebaran tidak lagi menjadi milik muslim, namun telah berpengaruh luas terhadap kehidupan non muslim. Karena dampaknya yang luas, lebaran juga selalu menyita perhatian Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Industri dan Perdagangan, serta Departemen Perekonomian.

 

Kedua, perbedaan khilafiyah tidak semestinya memisahkan umat secara luas. Sejarah islam dunia telah menunjukkan, betapa perbedaan khilafiyah telah meruntuhkan persatuan muslim dunia sampai hari ini. Saking parahnya perpecahan muslim saat ini, rasanya tidak ada satu orang pun yang berani bermimpi untuk membangun persatuan dan ukhuwah islamiyah. Semua pasrah dan akhirnya asyik dengan firqoh-nya masing-masing, hingga lupa pentingnya persatuan islam global. Di Indonesia sendiri perseturuan Muhammadiyah versus NU sempat kita rasakan getirnya di era sebelum tahun 1990-an. Generasi orang tua kami sempat mengharamkan anak laki mereka menikahi perempuan Muhammadiyah. Aksi lempar batu juga sempat kami lakukan semasa kecil di perkampungan Pekalongan. Alhamdulillah generasi baru Muhammadiyah dan NU telah cukup toleran. Sudah biasa kita saksikan pengikut Muhammadiyah menjadi makmum sholat subuh di masjid NU yang berqunut, bahkan mereka mengikuti tahlilan dan sholawatan. Sebaliknya pengikut NU juga sudah terbiasa dengan jum’atan satu adzan dan tarawih delapan rakaat. Kita menyayangkan, kecenderungan toleransi yang makin baik di tingkat grassroot, belum bisa diikuti oleh elit, khususnya dalam penentuan hari lebaran. Perbedaan lebaran sedikit banyak pasti menjadi batu sandungan bagi upaya rekonsiliasi umat.

 

Mungkinkah lebaran disatukan? Pasti mungkin, karena banyak celah yang bisa diupayakan. Pertama, karena lebaran menyangkut kehidupan bangsa yang sangat luas, semestinya penentuan hari lebaran menjadi otoritas Pemerintah, dan seharusnya semua ormas tinggal mengikuti saja, tidak perlu membuat tandingan. Pak Kyai berpesan "Mengikuti pemimpin dholim masih lebih baik daripada tidak mempunyai pemimpin". Jika memang demikian, ketaatan mengikuti Keputusan Pemerintah adalah wajib, tidak terkecuali bagi ormas islam. Kebiasaan menolak Keputusan Pemerintah semestinya tidak diteruskan lagi.

 

Kedua, menunaikan hasil ijtihad bukanlah harga mati. Pak Kyai mengajari kami, "Ijtihad yang benar berpahala dua, dan yang salah berpahala satu". Lebih lanjut beliau mengajari "Taraweh delapan rakaat atau dua puluh rakaat sama benarnya, yang salah adalah yang tidak taraweh". Jika ijtihad memang bisa dinomorduakan dengan pertimbangan maslahah yang lebih luas, seharusnya hisab dan rukyat pun bisa disimpan untuk persatuan umat yang lebih luas.

 

Ketiga, kesepakatan kriteria hilal. Seperti direkomendasikan Prof Thomas kepada ANTARA (24/8), sebenarnya kubu hisab dan hilal masih bisa dipertemukan, bilamana mereka menyepakati kriteria hilal. Dengan kesepakatan kriteria hilal, lebaran tahun ini bisa disatukan.

 

Keempat, adopsi ilmu pengetahuan terkini. Bulan ini diberitakan NASA sedang mengusulkan anggaran US$ 8.7 miliar untuk pembuatan James Webb Space Telescope (JWST), sebuah teleskop yang diklaim mampu melihat planet di bintang lain. Mendengar berita ini, sepantasnya umat muslim malu, karena disaat non-muslim mencapai perkembangan ilmu pengetahuan yang demikian maju, umat muslim Indonesia justru bertikai hanya karena urusan melihat hilal.

 

Celah untuk menyatukan lebaran tidakhanya empat seperti di atas, masih banyak hal yang bisa ditulis. Tapi cukuplah sekian, karena tulisan ini bukan untuk pencerahan apalagi mengajari, namun sekedar untuk meyakinkan para pemimpin, khususnya ormas islam, bahwasanya persatuan menjadi dambaan umat, lebih-lebih persatuan hari lebaran. Perbedaan lebaran sesungguhnya menjadi simbol keangkuhan pemimpin umat karena ngotot dengan ijtihad-nya sendiri dan tidak legowo mengikuti Keputusan Pemerintah. Perbedaan lebaran juga menjadi simbol perpecahan pemimpin islam, atau paling tidak bibit perpecahan, karena mereka terbukti tidak mampu berkomunikasi, dan menjadikan ormas lain sebagai imam bagi dirinya dan  atau sebaliknya. Semua celah dan tulisan ini tiada makna, karena semuanya akan berujung kepada kearifan pemimpin umat, yaitu bersediakah mereka berkompromi demi persatuan umat dan keindahan momen lebaran. Semoga kita semua sadar, bahwasanya persatuan hari lebaran menjadi bagian penting dari upaya untuk membangun persatuan umat yang sedang terkoyak saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun