Sejauh ini penggelaran fixed broadband tertinggal jauh dibanding 2G/3G. Jumlah fixed broadband baru mencapai 500 juta, sementara 2G/3G telah mencapai 4.5 miliar dengan pemanfaatan mobile broadband mencapai 536 juta. Dengan adopsi teknologi Wimax, kini operator fixed broadband mendapat angin segar dan harapan baru untuk berkompetisi dengan operator 2G/3G. Karena dengan Mobile Wimax, mereka mampu memberi layanan yang sepadan dengan LTE Advanced yang kemungkinan bakal di adopsi oleh 2G/3G.
Implementasi di Indonesia
November 2009, Pemerintah Indonesia menetapkan pemenang tender lisensi Fixed Wimax untuk 15 zona secara nasional. Pada Agustus 2010, tinggal lima opertor yang berhak mengantongi lisensi tersebut, yaitu Telkom, Indosat Mega Media, Berca, Jasnita dan First Media. Dari lima operator tersebut, baru First Media yang telah menggelar Fixed Wimax secara komersial di wilayah Jabotabek dengan merek dagang Sitra. Sebenarnya Berca sudah menggelar jaringan di berbagai kota bahkan telah mengumumkan merek dagang WiGO, namun sayang uji laik operasi (ULO) belum diterbitkan Pemerintah karena alasan kelengkapan administrasi. Telkom dan Jasnita telah mengajukan permohonan penundaan ULO selama setahun ke depan, sedangkan Indosat beberapa waktu lalu juga menyatakan belum siap dalam waktu dekat. Beberapa operator mengusulkan agar Pemerintah segera menerbitkan lisensi untuk Mobile Wimax, mengingat teknologi Fixed Wimax dan Mobile Wimax tidak saling kompatibel, sehingga resiko bisnisnya relatif besar.
Langkah First Media yang buru-buru menggelar Wimax sangat tepat. Sebaliknya, sangat disayangkan, Telkom terlambat menggelar jaringan Wimax. Karena sejatinya, yang paling diuntungkan oleh lisensi Wimax adalah operator fixed broadband, yaitu Telkom dan First Media. Bagi keduanya, Fixed Wimax akan memperkuat posisi dan teknologi mereka sebagai operator fixed broadband. Jika kelak mereka juga mengantongi lisensi Mobile Wimax, tentu saja mereka menjadi semakin kokoh, karena akan mampu berkompetisi lebih sepadan dengan para operator seluler yang mungkin menggelar layanan mobile broadband dengan LTE.
Bagi Berca dan Jasnita, Fixed Wimax tentu saja menjadi tantangan. Jika target mereka adalah segmen korporasi dan rural, Fixed Wimax menjadi relevan. Namun jika target mereka adalah segmen ritel, sebaiknya mereka mengadopsi Mobile Wimax, karena Fixed Wimax bakal menjadi tantangan yang sangat berat.
Bagi Indosat, lisensi Wimax menjadi tanda tanya. Meskipun Indosat mempunyai fixed broadband, namun market share kurang signifikan, dan terkesan tidak serius. Dengan 40 juta pelanggan, Indosat sangat kuat posisinya sebagai operator seluler. Dengan kondisi ini, lebih baik bagi Indosat untuk mengadopsi LTE.
Seperti halnya Indosat, pilihan yang lebih baik bagi para penyelenggara HSxPA seperti Telkomsel, XL Axiata, Three dan Axis adalah LTE. Sejak Agustus 2010 lalu, Telkomsel bersama ZTE telah melakukan uji coba LTE di beberapa kota. Demikian juga dengan XL yang sudah mengumumkan kesiapannya untuk uji coba LTE. Sejauh ini Indosat, Three, Axis dan operator seluler lainnya belum menyampaikan rencana untuk menggelar LTE.
Peran Penting Pemerintah
Lisensi Fixed Wimax telah dikantongi lima operator. Bagi Telkom dan First Media lisensi tersebut menjadi berkah, bagi Berca dan Jasnita menjadi pekerjaan rumah, sedangkan bagi Indosat menjadi pertanyaan. Baru-baru ini Pemerintah menyatakan sedang mengevaluasi lisensi Mobile Wimax, sedangkan LTE akan dikaji lebih lanjut pada 2012.
Haruskah, kapankah lisensi Mobile Wimax dan LTE perlu diterbitkan?. Untuk Mobile Wimax, sejatinya Pemerintah punya opsi untuk tidak menerbitkan. Paling tidak ada beberapa pertimbangan sebagai berikut. Pertama, Mobile Wimax dan LTE memberikan layanan dan kinerja yang relatif sama bagi pengguna. Kedua, Mobile Wimax dan LTE bersaing satu sama lainnya, bahkan TD-LTE berpotensi membunuh Wimax, karena pemakaian spektrum yang sama. Ketiga, spektrum frekuensi relatif terbatas. Keempat, menjaga iklim industri yang kondusif. Jumlah operator seluler di Indonesia sudah terlalu banyak. Jika semuanya menggelar LTE, selanjutnya ditambah operator Mobile Wimax, maka penyelenggara 4G bakal semakin banyak. Meskipun kondisi ini sering menguntungkan pengguna karena harga yang kompetitif, namun hal ini cenderung merugikan operator, mengingat investasi 4G relatif besar.
LTE menjadi jalur mandatori menuju 4G bagi penyelenggara GSM/HSxPA, karenanya lisensi LTE bersifat mandatori pula. Namun demikian Pemerintah punya opsi mengatur kapan waktu yang tepat untuk menerbitkan lisensi LTE. Pilihan yang lebih baik adalah menunda lisensi tersebut untuk beberapa tahun mendatang, dengan alasan. Pertama, Standar teknologi LTE Release 9 baru di diumumkan Desember 2009. Karena umur yang relatif muda, adopsi teknologi LTE masih terbatas, sehingga teknologi maupun handset pengguna masih langka dan harganya mahal. Sebagai perbandingan, teknologi 2G diadopsi Indonesia setelah berumur 4 tahun, 3G diadopsi setelah 5 tahun, dan Wimax diadopsi setelah 5 tahun. Kedua, Penetrasi 3G masih relatif terbatas. Penetrasi 3G memang terbilang lambat. Tidak hanya di Indonesia, fenomena ini juga terjadi di negara lain. Sebuah riset di India menyatakan hanya 20% pelanggan berminat menggunakan 3G dalam waktu dekat, sementara dari 842 juta pelanggan ponsel di China pemakaian 3G belum mencapai 10 persen. Konsekuensi kelambatan penetrasi 3G antara lain: ROI operator belum maksimal; masyarakat belum berpengalaman menjelajahi mobile broadband; spektrum frekuensi belum terpakai secara optimal (www.myusuf298.com)