Pertama, traumatik pada pencairan dana Airtime tahap 1, dimana pihak-pihak yang telah mengeluarkan dana cukup besar justru dibikin deg-degan oleh lembaga peradilan. Oleh karenanya wajar, jika pada proses tahap 2 ini semua pihak yang terkait berusaha mencari payung yang berlapis, agar keputusan yang mereka ambil dapat dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Sikap hati-hati yang berlebihan ini tidak hanya merasuki para Opsel dan Operator Lokal, namun juga terjadi pada jajaran regulasi, yaitu Direktorat Jendral Postel dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Alhasil, mekanisme penyelesaian dana Airtime tahap 1 tidak bisa dilaksanakan pada tahap 2, dan celakanya, kesepakatan mekanisme tahap 2 tidak mudah disepakati oleh semua pihak.
Kedua, tentang distribusi. Distribusi dana Airtime tahap 1 meninggalkan banyak kritik dari banyak pihak. Terlepas dari valid tidaknya kritik tersebut, namun setidaknya telah menjadi warning bagi seluruh pihak yang terkait untuk lebih berhati-hati dan tidak melaksanakan kesalahan yang sama.
Ketiga, tentang periode. Beberapa Opsel berpandangan bahwa pembayaran Airtime tahap 1 bersifat final, tidak ada lagi pembayaran lanjutan. Mengenai kelambatan PM.05/2006 mereka beranggapan tidak bisa dengan serta merta Opsel menanggung resikonya. Sebagian pihak lainnya berpendapat bahwa periode Airtime tahap 2 mulai dari April 2005 sampai dengan ditetapkannya PM.05/2006, yaitu Januari 2006. Sementara APWI bersikeras bahwa periode Airtime tahap 2 adalah April 2005 sampai dengan Januari 2007. Pendangan APWI mengacu kepada PM.05/2006 Pasal 22 tentang Ketentuan Peralihan, dimana PKS Wartel dapat direvisi selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah PM tersebut. APWI juga berargumentasi, bahwa tagihan yang mereka terima dari Operator Lokal masih mencantumkan kalimat Airtime sampai Januari 2007.
Meskipun APWI telah berusaha keras mengikuti seluruh proses dan persyaratan yang diinginkan pihak-pihak terkait, namun sampai saat ini proses penyelesaian Airtime tahap 2 masih menghadapi jalan terjal. APWI menginginkan periode sampai Januari 2007, sedangkan Opsel berargumentasi hanya sampai Januari 2006. Sementara Dirjen Postel dan BRTI yang diharapkan dapat menjadi penengah, justru ambil jarak dalam pertikaian ini, dan cenderung menyarankan penyelesaian secara business-to-business. Ketegangan tidak bisa dihindari, akhirnya pada tanggal 17 Februari 2010 APWI melayangkan somasi kepada Opsel. Menanggapi somasi tersebut, para Opsel justru merapatkan barisan dan secara kolektif menunjuk kuasa hukum untuk mewakili mereka dalam proses hukum yang mungkin terjadi. Dan benar saja, kuasa hukum Opsel menantang APWI untuk membawa proses penyelesaian Airtime kepada Badan Arbitrase (BANI). Menyikapi perkembangan yang kurang positif ini, APWI membuat keputusan untuk menggelar demo, seperti telah kita saksikan tanggal 18 Maret 2010 lalu.
Sungguh proses penyelesaian dana Airtime tahap 2 ini melelahkan. Bayangkan saja, APWI telah cukup sabar mengikuti proses ini selama lebih dari 33 bulan, namun belum terlihat jalan keluar yang diharapkan. Bahkan, seandainya saja masalah periode ini bisa disepakati semua pihak, APWI masih harus menghadapi beberapa pekerjaan besar lagi, antara lain proses rating dan splitting, mekanisme pembayaran dari Opsel kepada APWI, mekanisme distribusi dana dari APWI kepada para pengusaha Wartel, kebenaran data pengusaha Wartel, dan tentu saja laporan pertanggungjawaban yang harus diserahkan kepada audit independen yang ditunjuk. Dan yang terakhir, tentu saja tidak kalah serunya, adalah menghadapi pihak-pihak yang keberatan dan tidak puas dengan APWI.
Proses rating dan splitting adalah proses penghitungan jumlah total dana Airtime, jumlah kewajiban masing-masing Opsel, dan jumlah hak masing-masing pengusaha Wartel. Mekanisme pembayaran dari Opsel kepada APWI bisa saja cash lunas atau cicilan beberapa termin waktu. Pembayaran bisa saja ditransfer langsung kepada rekening APWI, bisa juga di tampung di rekening atas nama bersama. Distribusi dana kepada para pengusaha Wartel dapat saja dilaksanakan langsung oleh APWI, namun bisa juga dilakukan oleh pihak eksternal dalam pengendalian dan pengawasan bersama. Tentang pengusaha Wartel yang berhak, bisa saja keseluruhan pengusaha Wartel atau bisa juga hanya pengusaha yang telah menunjuk APWI melalui Berita Acara bermaterai. Berbicara tentang kriteria pengusaha Wartel juga menjadi semakin sulit, karena realitas di lapangan menunjukkan jumlah Wartel yang sudah tutup usaha lebih dari separo. Pilihan-pilihan keputusan ini berdampak signifikan, bahkan mengandung konsekuensi hukum, sehingga dapat dipastikan, pengambilan setiap keputusan di atas memerlukan upaya negosiasi yang berat dan mungkin waktu yang panjang.
Selamat kepada APWI yang tabah menjalani setengah proses penyelesaian dana Airtime selama 33 bulan, semoga setengahnya lagi dapat ditempuh dengan penuh kesabaran (http://myusuf298.blogspot.com).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H