Apalagi seperti contoh di Serang, warung makan diatur berdasarkan Perda Nomor 20 tahun 2010 untuk tidak buka siang hari antara pukul 04.30 pagi sampai pukul 16.00 petang. Artinya tidak ada pelarangan disini, melainkan pengaturan jam buka. Mereka tidak lantas harus tutup sebulan atau bahkan harus tutup sepanjang siang.
Itu tandanya pedagang juga tidak akan dirugikan, cukup menyesuaikan jam buka saja dengan memperpanjang jam buka malam. Malah bisa berjualan hingga subuh dengan melayani kebutuhan saur yang tentu hal ini keberkahan tersendiri bulan ramadan bagi mereka yang berdagang makanan. Jadi aneh kalau harus diributkan dan malah berpotensi merusak budaya toleransi kita. Kami lantas bertanya-tanya bagaiamana jika club malam, lokalisasi dan tempat perjudian yang minta ditutup selama ramadan? Pantaun kami tempat begituan masih banyak beroperasi saat puasa? Apakah lantas reaksi penolakannya sama?
Lagi-lagi kalau terjadi penolakan, alasanya pasti masalah ekonomi, mata pencarian, soal periuk. Ketiga, lantas bagaimana bagi mereka yang tidak berpuasa karena alasan non muslim dan berhalangan secara syar'i?
Kami kira toleransi tetap bisa berjalan dengan baik, jika antara sesama bisa saling menghormati dan bisa sedikit berbagi kepentingan dengan menangguhkan kepentingan individu dan kelompok.
Bukan semata-mata umat Islam mayoritas dalam suatu daerah sehingga mereka harus dihormati, melainkan kembali lagi lebih pada spirit toleran, sikap mengorbankan kepentingan individu dan kelompok untuk eksistensi dan kebersamaan semua kelompok. Seperti contoh diatas saat Nyepi di Bali, umat non Hindu tidak keberatan tinggal dirumah untuk menghormati umat Hindu melakukan ritual Catra Brata penyepian. Dengan begitulah kemajemukan bangsa, bisa kita jaga. Sebagaimana umat Islam juga harus dapat menghormati dan memberikan kebebasan bagi umat lain dalam menjalankan ibadahnya.
Dan bahkan mereka umat Islam juga harus bisa berbagi dan berkorban kepentingan, seperti di beberapa daerah yang telah dicontohkan diatas dan banyak daerah lainnya lagi, tidak peduli apakah karena memang umat Islam itu minoritas ataupun mayoritas jumlahnya didaerah tersebut. Oleh sebab itu di daerah yang jumlah umat Islam-nya mayoritas sekalipun ia harus tetap toleran kepada non muslim untuk menghormati setiap ibadah yang mereka jalani.
Nah, karena itulah perlunya pengaturan agar tidak terjadi benturan dan toleransi tetap terjaga dengan baik. Keempat, Sejauh ini tidak terdapat hal yang salah dalam perda pengaturan jam buka warung makanan di Kota Serang. Hanya mungkin dalam pelaksanaannya yang perlu lebih hati-hati, perlu mengedepankan dan mengoptimalkan komunikasi secara persuasif dan kekeluargaan. Apalagi perda tersebut tentu dimaksudkan bukan dalam konteks arogansi mereka yang mayoritas melainkan untuk mengatur sebagaimana ulasan diatas.
Perda tersebut diberlakukan bagi semua, termasuk pedagang yang beragama Islam. Jadi sekali lagi secara umum, menurut hemat kami tidak ada yang salah dalam perda tersebut apalagi anggapan sejenisnya itu diskriminatif.
Begitu pula kemungkinan pihak Stapol PP yang sebenarnya hanya sebagai eksekutor di lapangan, selama sudah sesuai prosedur mereka hanya menjalankan tugas. Malah Perda tersebut sangat dibutuhkan sebagai bentuk aspirasi masyarakat, daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan maka negara dalam hal ini harus hadir mengantisipasi, mengatur untuk mencari titik temu secara moderat yang bisa mengakomodir semua kepentingan.
Dan kami yakin umat non muslim di Serang, secara umum tidaklah keberatan akan hal ini. Bahkan saya mencurigai, justru mereka yang berpandangan sekuler lah yang merasa keberatan akan aturan-aturan yang berbasis nilai syariat tersebut dan berdalih demi kepentingan mereka non muslim yg tidak berpuasa.
Kemudian menjadi dalang membangun opiini lewat media-media mainstrem dan membuat viral di sosmed dengan komentar dan meme yang tendensius dan destruktif atas nilai-nilai toleran itu sendiri. Ironinya sikap Presiden RI Joko Widodo bukan menengahi, malah seakan-akan berpihak dan mengambil keuntungan dibalik pristiwa tersebut. Banyak kemudian pejabat di negeri ini akhirnya juga ngekor dan terdikte pompahan gelombang opini publik tersebut. Penialain kami, pristiwa dan sikap publik dalam menyikapi masalah ini, bukanlah pengalaman berbangsa yang baik dari sudut pandang perjalanan toleransi dan kemajemukan kita.