Sebagaimana kutipan Mahatma Gandhi Quotes yaitu "Untuk mengubah dunia, ubahlah diri kalian sendiri dulu." Perubahan paradigma administrasi Pajak harus karena apa? Karena Pajak menyangkut ke kehidupan masyrakat yaitu bisnis, pribadi bahkan mungkin bangun tidurpun harusnya inget Pajak, sementara diluar itu yang namanya bisnis, perilaku orang, semakin kesini berubah dan berkembang termasuk model usaha nah kalau kita tidak mengikuti model atau Pajak tidak mengikuti akan perubahan teknologi zaman sekarang dan perubahan generasi entah milenial, generasi W, dan Z itu khawatir pajak akan ditinggal dengan bisnis makanya pajak harus ikut berlomba akan perubahan bahkan bukan tidak mungkin seharusnya yang idealnya pajak lebih jauh daripada bisnisnya.Â
Apalagi ditengah kondisi pandemi dengan segala keterbatasan dari segi komunikasi, jarak, lalu mobilities dan lain sebagainya. Disamping itu, dihadapkan juga dengan perkembangan teknologi yang terus bergulir semakin berkembang dan semakin maju yang mengakibatkan hampir semua pelaksanaan administrasi dapat dilakukan secara paperless dan secara elektronik.
Menteri Keuangan telah menerbitkan tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik. Tata cara tersebut termuat dalam PMK NOMOR 63/PMK.03/2021. Kebijakan ini ialah ketentuan anak dari PP 74 atau 2011 s. t. d. d PP 9 atau 2021. Dalam Pasal 2 ayat 1 ditegaskan kembali wajib pajak bisa melakukan hak serta penuhi kewajiban perpajakan dengan cara elektronik serta memakai tanda tangan elektronik.
Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik merupakan pelaksanaan hak dan kewajiban pemenuhan yang merupakan lingkup kewenangan Direktorat Jendral Pajak, bunyi penggalan Pasal 3 ayat (1). Dokumen elektronik yang digunakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik ditandatangani oleh wajib pajak dengan menggunakan tanda tangan elektronik.Â
Tanda tangan elektronik itu dapat berupa tanda tangan elektronik tersertifikasi sesuai dengan ketentuan PMK 63/2021. Tanda tangan tersertifikasi merupakan tanda tangan elektronik yang dibuat dengan menggunakan sertifikat elektronik, adapun sertifikat elektronik itu bisa diterbitkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik instansi (untuk ASN, TNI, Polri) dan non-instansi.Â
Penyelenggara sertifikasi elektronik merupakan penyelenggara sertifikasi elektronik yang mendapatkan pengakuan oleh kementrian yang menyelanggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dan ditunjuk oleh Menteri. Penunjukan sebagai penyelanggara sertifikasi elektronik oleh Menteri ditetapkan dengan keputusan Menteri keuangan yang ditandatangani oleh direktur jenderal atas nama menteri bunyi penggalan Pasal 3 ayat 7 PMK 63/2021.
Tanda tangan elektronik tidak tersertifikasi berlandaskan pada ketetapan dalam PMK 63/ 2021 tanda tangan elektronik tidak tersertifikasi ialah tanda tangan elektronik yang dibuat dengan memakai sandi otorisasi DJP yang diterbitkan Ditjen Pajak. Guna mendapatkan sandi otorisasi DJP wajib pajak mesti mengajukan permohonan penerbitan kode otorisasi DJP kepada Direktorat Jenderal Pajak demikian maksud bagian Pasal 5 ayat 1 kebijakan tersebut.Â
Ada pula permohonan kode otorisasi DJP bisa diajukan beriringan dengan permohonan registrasi diri guna mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak( NPWP) ataupun dengan cara terpisah sesudah wajib pajak mendapatkan NPWP. Dalam pengajuan permohonan penerbitan kode otorisasi DJP dengan cara elektronik, wajib pajak perlu mengisi blangko permohonan kode otorisasi DJP setelah itu wajib pajak menyampaikan email serta no telepon seluler aktif. Wajib pajak pula melakukan aktivitas guna validasi serta autentikasi bukti diri.Â
Bersumber pada pada permohonan yang diajukan itu DJP kemudiannya bakal melakukan riset maupun administrasi atas keseluruhan informasi wajib pajak dan pemeriksaan validasi dan auntentikasi atas bukti diri wajib pajak. Bersumber pada riset serta pemeriksaan itu Ditjen Pajak membagikan kode otorisasi DJP serta menerbitkan surat keterangan penerbitan kode otorisasi DJP. Ditjen pajak pula bisa menolak permohonan wajib pajak dengan menerbitkan surat penolakan penerbitkan kode otorisasi DJP.
Tanda Tangan Digital Ala DJP
Perkembangan teknologi menjadikan dalam segala hal dapat dilakukan digital mulai dari berbelanja, belajar, marketing promosi, hingga persetujuan dokumen termasuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Selain mempermudah digitalisasi membuat aktivitas manusia menjadi lebih aman dan nyaman. Tanda tangan elektronik merupakan jawaban perwujudan era digital. Seperti apa tanda tangan elektronik itu?Â
Tanda yang terdiri atas informasi elektronik yang berfungsi sebagai alat untuk memverifikasi identitas penandatanganan sekaligus untuk menjamin keutuhan dan keautentikan dokumen berbeda dengan tanda tangan pada umumnya dengan menggunakan pena diatas secari kertas sebagai tanda persetujuan atau memberi informasi data diri kini tanda tangan dapat dibuat secara elektronik yang berfungsi sama seperti tanda tangan konvensional.Â
Tanda tangan elektronik memungkinkan untuk menandatangi dokumen penting dimanapun dan kapanpun sekalipun dalam perjalanan. Salah satu dari keuntungan tersebut adalah mendukung good corporate governance (GCG) dalam kaitan transparansi pengelolaan keuangan perusahaan. Dengan adanya digitalisasi pada bidang pajak, wajib pajak dapat dengan mudah mengakses segala informasi dan layanan pajak yang dibutuhkan tanpa harus datang langsung ke kantor pajak.Â
Tidak hanya itu, pemanfaatan teknologi yang tepat dapat membantu otoritas pajak melengkapi data dan informasi wajib pajak. Dengan data tersebut, otoritas pajak dapat lebih berfokus pada wajib pajak yang memiliki risiko tinggi dalam proses pengawasan dan pemeriksaan. Tanda tangan elektronik juga mendukung pengurangan penggunaan kertas dan membuat pekerjaan menjadi efisien dengan tidak mengirimkan dokumen secara fisik yang memakan waktu lama. Tanda tangan elektronik aman, hemat, mudah, efisien dan terpecaya.
Pengajuan Permohonan Surat Keberatan Dilakukan Secara Elektronik Lebih Mudah
Peraturan perpajakan di Indonesia menggunakan sistem Self Assessment artinya masyakarat indonesia sudah memiliki NPWP sering disebut sebagai Wajib Pajak ini harus melakukan kewajiban perpajakannya menggunakan sistem yang telah ditentukan yaitu Self Assessment artinya wajib pajak tersebut harus menghitung sendiri pajaknya, menyetorkan sendiri pajaknya dan kemudian melaporkan sendiri pajaknya dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan tentulah d Direktur Jenderal Pajak juga memiliki kewajiban dan kewenangan yaitu didalam menguji kepatuhan daripada wajib pajak. Kepatuhan ini diuji dalam hal misalnya apakah wajib pajak tersebut sudah melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik didalamnya contohnya sudah menerapkan tarif yang tepat, apakah perhitungannya sudah benar, dan apakah penyetoran serta pelaporannya sudah tepat waktu atau terlambat?Â
Maka pihak Direktur Jenderal Pajak mempunyai hak untuk melakukan pemeriksaan yang biasa sering dikenal dengan turunnya SP2 (Surat Perintah Pemeriksaan). Di dalam pemeriksaan tersebut biasanya wajib pajak akan dimintai dokumen dan hasil dari dokumen yang diberikan akan diperiksa oleh team pemeriksa biasa disebut fiskus pajak. Hasil pemeriksaan tersebut akan disampaikan oleh fiskus pajak kepada wajib pajak melalui SPHP (Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan).Â
Fiskus pajak menyampaikan SPHP ke wajib pajak bawah di dalam pemeriksaan tersebut terdapat perbedaan misalnya menurut wajib pajak hitungnya adalah seperti ini (A), menurut fiskus pajak hitungnya seperti ini (B) sehingga ada satu perbedaan, maka fiskus pajak mengirimkan surat undangan pembahasan akhir.Â
Di dalam surat undangan ini wajib pajak diundang untuk datang bahas bersama apakah hasil temuan dalam pemeriksaan ini pihak wajib pajak setuju atau tidak, di dalam pembahasan tersebut diterapkan atau dituangkan di dalam produk hasil pemeriksaan Namanya SKP (Surat Ketetapan Pajak), contohnya SKPKB, SKPKBT, SKPN, SKPLB, SKPLBT. Di dalam 5 hasil Surat Ketetapan Pajak itu yang mendapatkan SKPN biasanya tida bermasalah artinya pada saat pemeriksaan tidak ada selisih antara perhitungaan wajib pajak dan fiskus pajak. Jika SKPLB atau SKPLBT itu tidak terlalu bermasalah karena atas kelebihan tersebut akan dikembalikan oleh negara kepada wajib pajak.
Yang biasanya menjadi masalah adalah SKPKB dan SKPKBT disebabkan karena adanya perbedaan antara wajib pajak dengan fiskus pajak, dalam pembahasan akhir pihak wajib pajak boleh menerima dengan menyetujui seluruhnya artinya wajib pajak tersebut menyetorkan pajak terutang sesuai dengan perhitungan fiskus pajak, tapi wajib pajak juga mempunyai hak menyetujui sebagian atau juga bisa menolak seluruhnya dengan penyelesaian pihak wajib pajak mengajukan permohonan surat keberatan ke Kanwil.Â
Di sana kan dibahas lagi ditingkat Kanwil apakah ada selisih atau memang tidak selisih, inilah yang menyebabkan munculnya surat permohonan keberatan. Pengajuan surat keberatan ini sudah bisa diajukan secara elektronik. Penyampaian surat keberatan secara elektronik ini dapat dilakukan melalui fitur e-objection pada laman DJP Online. Untuk bisa memakai fitur e-objection, wajib pajak harus melakukan aktivasi fitur layanan pada menu profil. Syarat dan tata cara pengajuan agar dapat menyampaikan surat keberatan secara elektronik yaitu memiliki EFIN yang aktif, EFIN diperlukan untuk keperluan registrasi DJP Online, lalu lakukan registrasi via DJP Online, dan selanjutnya memiliki sertifikat elektronik untuk memberikan tanda tangan elektronik atas surat keberatan yang disampaikan melalui fitur e-objection.Â
Setelah memenuhi ketiga hal tersebut maka wajib pajak dapat melakukan pengisian surat keberatan sesuai dengan petunjuk yang tertera pada fitur e-objection dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Lalu wajib pajak dapat memilih untuk menjabarkan alasan pengajuan keberatan melalui kolom yang tersedia atau dengan mengunggah dokumen. Dalam hal wajib pajak memilih kolom yang tersedia, maka dapat mengisi alasan keberatan dengan maksimal 4.000 karakter. Jika wajib pajak memilih untuk mengunggah dokumen alasan keberatan maka dokumen tersebut harus berbentuk portable document format (PDF).
Â
Daftar Pustaka :
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pembahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008, Nomor 166 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6621);
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);
Perdirjen Pajak Nomor PER-14/PJ/2020 tentang Tata Cara Penyampaian Surat Keberatan Secara Elektronik (E-Filing)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H