Pagelaran seni akbar "Panggung Gembira" di Pondok Pesanten Gontor Ponorogo berakhir menjelang tengah malam. Para santri pun beranjak ke asrama masing-masing karena besok keabrek kegiatan sudah menunggu. Pesantren ini hampir tidak ada waktu kosong, karena dalam kamus mereka istirahat bukanlah diam tapi pergantian satu pekerjaan ke pekerjaan lain. "Ar rahatu fi tabaduli al a'maal", demikian ujar sebuah perkataan hikmah dari negeri Arab yang menempel di dinding asrama.
Namun sekelompok remaja tanggung masih bergeming di atas panggung. Mereka adalah santri kelas 6 (setingkat kelas 3 SLTA) yang menjadi shohibul hajat, panitia, penyelenggara, event organizer, sekaligus penampil dalam pentas itu. Sudah menjadi tradisi bahwa di akhir acara akan ada evaluasi dan penilaian dari pimpinan pondok terhadap penyelenggaraan acara. Kiai pimpinan pondok di akhir penilaian akan memberikan semacam angka rapor untuk pagelaran ini. Angka 10 adalah nilai paripurna dan jadi idaman.
Jeritan nada gitar, alunan khusyuk seruling atau tabuhan energik rebana bukan hal yang aneh di Pesantren Gontor. Seni adalah salah satu media pendidikan yang diyakini para kiainya dapat membentuk karakter dan akhlak santri. Pagelaran seni selalu diadakan setiap awal tahun ajaran baru untuk mengajarkan kreativitas dan kemandirian.Â
Bahkan santri yang memang tidak berbakat seni tetap diikutsertakan dalam pentas, meski 'hanya' berupa peran kecil di panggung ataupun tugas di belakang layar. Mereka bahu-membahu dari fase penggalian dana, penyusunan format acara, pembangunan background yang gigantik, hingga penampilan di depan penonton. Program pembentukan karakter ini sudah ada sejak pesantren berdiri tahun 1926, jauh sebelum jargon pendidikan karakter digaungkan.
Sebelum membacakan hasil penilaian, Kiai Hasan, salah satu pimpinan pondok mengajak para santri kelas 6 bersama menyanyikan lagu "Ayah".
Di mana ... akan kucari
Aku menangis, seorang diri
Hatiku, slalu ingin bertemu
Untukmu, aku bernyanyi
Beberapa detik kor dadakan ini berjalan tanpa musik, seorang santri cepat tanggap bergegas menggapai keyboard buatan Jepang di tengah panggung. Iringan nada pun membersamai lagu yang pertama kali dirilis band The Mercy's tahun 1975 tersebut. Suasana bertambah syahdu hingga sampai ke bait:
Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi
Rona wajah Kiai Hasan berubah sembab. Tampak ia berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah. Berjuta kenangan tercurah dalam lagu ciptaan maestro pop pentolan The Mercy's Rinto Harahap ini.
Lagu ini seolah membawa memori Kiai Hasan kembali ke masa silam, saat ayahnya, KH Ahmad Sahal berpulang ke hadirat Ilahi. Perpisahan ini semakin sendu karena Kiai Hasan muda tidak bisa menemani ayahandanya di detik-detik terakhir, bahkan tak dapat menyaksikan jenazahnya masuk ke liang lahat.
Amplop Putih