Mohon tunggu...
Muhammad Yulian Mamun
Muhammad Yulian Mamun Mohon Tunggu... Dosen - Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Antasari Banjarmasin

Tinggal di Banjarmasin, alumni KMI 2006. Menulis tentang sejarah, wisata, ekonomi & bisnis, olahraga dan film.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Inspirasi Jeroan dari Tokoh Bangsa

24 Februari 2018   20:13 Diperbarui: 25 Februari 2018   10:55 1867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kiai Mas Mansoer duduk di tengah. Foto: pwmu.co

Tekadnya sudah bulat untuk berangkat menyeberangi Laut Merah ke Mesir. Keberangkatan pelabuhan Jeddah berlanjut ke Kota Suez dan diteruskan hingga tibalah ia di Kairo. Tanpa restu berarti tidak ada uang saku dari tanah air. Mansoer pun hidup prihatin dan sederhana. Biaya hidup dan kuliah ia dapatkan dari bekerja paruh waktu di sela-sela waktu belajar.

Suatu hari ia melihat jeroan kambing yang dibuang di salah satu restoran kota Kairo. Di negara Arab, hanya beberapa bagian jeroan yang biasa dimakan seperti hati. Usus dan organ lain tidak lazim jadi konsumsi. Maka ia memberanikan diri untuk meminta sisa perut kambing itu ke pengurus restoran. Meski sempat bingung, restoran pun memberikannya ke Mansoer muda. Malah, pihak restoran senang karena tidak perlu repot mengurusi pembuangan limbah hewan itu. Akhirnya secara rutin Mansoer menerima limbah penuh berkah tersebut dan memasaknya untuk kebutuhan hidup.

Pulanglah ia ke tanah air pada 1915 dan menjadi salah satu tokoh pergerakan kemerdekaan nasional. Ia aktif di Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Perannya makin penting saat pendudukan Jepang hingga proklamasi kemerdekaan ketika menjadi salah satu dari Empat Serangkai bersama Sukarno, M. Hatta dan Ki Hadjar Dewantara.

Gus Dur dan 20 anjing piaraannya

Presiden Indonesia ke-4 ini memang gudang cerita yang tidak pernah habis. Kiai Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur tidak puas akan sistem pendidikan di Mesir saat ia duduk di tahun pertama Universitas Al Azhar. Singkat cerita ia berganti haluan ke Universitas Baghdad, Irak pada akhir 1960-an dan mendapat beasiswa di sana.

Gus Dur. Foto: Merdeka.com
Gus Dur. Foto: Merdeka.com
Selama tinggal di Irak, ia mengontrak sebuah rumah untuk ditinggali bersama para mahasiswa Indonesia lainnya. Total ada 20 orang termasuk Gus Dur yang tinggal seatap dan untuk memenuhi biaya sewa dan makan mereka mengumpulkan iuran. Setiap orang mendapat giliran masak setiap 20 hari sekali, sesuai jumlah penghuni rumah. Jadwal memasak Gus Dur adalah hari yang ditunggu-tunggu kawan-kawannya karena selalu ada menu istimewa yaitu gulai kepala ikan.

Hasil bergaul dengan mahasiswa dan penduduk setempat, Gus Dur tahu bahwa masyarakat Irak tidak doyan kepala ikan. Sisa kepala ikan menjadi limbah yang tidak berguna dan dibuang begitu saja di pasar.

Maka seperti Mas Mansoer yang meminta jeroan kambing kepada pengelola rumah makan untuk dijadikan lauk, begitu pula Gus Dur. Pemilik toko ikan pun heran melihat orang asing meminta kepala ikan dengan jumlah yang banyak, 20 buah.

"Saya kasih gratis, tapi buat apa sih kepala ikan sebanyak itu?"

"Untuk kasih makan anjing peliharaan saya," jawab Gus Dur.

"Memang ada berapa ekor?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun