Guru Mansyur terbilang cukup produktif menghasilkan karya tulis agama Islam terutama yang dalam disiplin ilmu falak (astronomi). Semasa hidupnya, beliau adalah rujukan masyarakat Betawi dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri.
Hingga sekarang, ilmu falak masih diajarkan di masjid ini. Salah satu santri asal Lampung yang saya temui di pekarangan masjid menyebutkan bahwa tiap malam dan setelah shalat shubuh, pengajian di sini selalu masih tetap berjalan.
[caption caption="Kaligrafi arab tulisan Guru Mansyur. Perhatikan tanda tangan beliau di pokok kanan bawah. Foto koleksi pribadi."]
“Saya sebenarnya nyantri sama salah satu Habib di Condet. Tapi kalau akhir pekan saya sering ke sini buat pengajian sekalian bantu-bantu pengurus masjid,” demikian ujar santri remaja berkulit sawo matang itu sambil menyapu daun-daun yang berguguran.
Di antara kitab yang beliau tulis adalah:
- Kaifiyatul Amal Ijtima.
- Khusuf wal Kusuf.
- Tadzkirotun Nafi'ah.
- Mizartul I’tidal.
- Khulashotul Jadawil.
- Diroyatul Ulum wa Manzharatin Nujum.
- Wasiilah at Thullaab.
- Majmuu’ Khamsu Rasail.
- Jadwal Faraidh.
- Al lu'lu al Mankhum.
Simbol Perjuangan Betawi
“Islam tidak mau ditindas, saya enggak mau ngelonin kebatilan”, tandas Guru Mansyur menolak sogokan Belanda.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Belanda rupanya tidak rela begitu saja. Para penjajah itu kembali ingin menancapkan kuku kolonialnya di republik ini.
Meski terkenal bijaksana, Guru Mansyur bersikap keras dan tanpa kompromi terhadap Belanda. Suatu ketika tahun 1948, Guru Mansyur dengan gagah berani mengibarkan bendera merah putih di menara masjid tersebut. Mirip dengan aksi pengibaran bendera di hotel Yamato, Surabaya.
Belanda pun murka. Tentara NICA menyerbu dan menembaki kubah menara masjid. Belanda juga beberapa kali memanggil Guru Mansyur ke Hoofdbureau atau Kantor Polisi di Gambir, mempertanyakan tentang aksi ini.
Penjajah sadar pengaruh besar Guru Mansyur terhadap perlawanan masyarakat Jakarta amat besar. Mereka berusaha membujuk beliau agar bekerjasama dengan kolonial Belanda. Dengan tegas Guru Mansyur menolak. “Islam tidak mau ditindas, saya enggak mau ngelonin kebatilan”, demikian tandas beliau dihadapan perwakilan Belanda yang mencoba merayunya dengan sejumlah uang.