Gaya klasik begitu terasa dengan penggunaan kayu berornamen. Arsitektur unik yang paling mencolok adalah 4 tiang soko guru yang masih dipertahankan sesuai bentuk aslinya. Saat saya tiba, pengurus masjid sedang bercakap-cakap dengan peneliti dari Eropa. Masjid ini rupanya memiliki daya tarik bagi sejarahwan dari luar negeri.
Masjid ini dulunya bernama Masjid Jami Kampung Sawah yang didirikan tahun 1130H/1717M, atas prakarsa Abdul Malik putera dari Pangeran Cakrajaya Adiningrat dari Jayakarta. Beliau dijuluki Tumenggung Mataram karena punya pengaruh pada Kesultanan Mataram saat bersama menggalang kekuatan melawan penjajah.
Perubahan nama menjadi Al Mansyur, terjadi pasca kemerdekaan Indonesia untuk menghormati salah satu ulama sekaligus pejuang dari Jembatan Lima. Beliau adalah KH Muhammad Mansyur atau biasa disebut Guru Mansyur. Nama beliau juga diabadikan sebagai nama jalan di daerah ini, tempat di mana Pasar Mitra berada.
Paku Jakarta dan Pakar Ilmu Falak
[caption caption="Guru Mansyur. Sumber foto: www.jakarta.go.id"]
Ridwan Saidi, budayawan Betawi—yang sering muncul di televisi nasional—menyebut bahwa gelar “Guru” bagi masyarakat Betawi memiliki kedudukan khusus karena guru punya ilmu yang luas. Menurut Engkong Ridwan yang masih memelihara rambut gondrongnya ini, masyarakat Betawi membagi pendakwah agama Islam dalam tiga kategori yakni guru, mualim, dan ustadz.
Guru adalah ulama yang mempunyai keahlian dalam suatu atau banyak disiplin ilmu, mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa dan memiliki kemampuan mengajar kitab. Guru biasanya mengabdi kepada umat di masjid atau madrasah yang ada di lingkungan tempat tinggalnya. Mualim merupakan orang berilmu agama yang memiliki otoritas mengajarkan kitab namun tidak bisa mengeluarkan fatwa. Sementara ustadz lebih fokus mengajarkan pengetahuan dasar agama, seperti membaca Al Qur’an.
Dalam bukunya yang berjudul “Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya” (diterbitkan oleh Gunara Kata tahun 1997) disebutkan bahwa Guru Mansyur bersama Guru Mugni dari kampung Kuningan disebut sebagai “Paku Jakarta”. Julukan ini berarti mereka berdua adalah panutan, rujukan masyarakat Jakarta. Bahkan almarhum Gus Dur mengartikan gelar “paku bumi” sebagai “wali pelindung” dalam artian berkat keberadaan beliau lah kota Jakarta aman dari segala marabahaya dan bencana.
Lahir tahun 1878, Guru Mansyur sejak kecil mendapat pendidikan langsung dari ayahandanya yaitu Imam Abdul Hamid bin Imam Muhammad Damiri bin Imam Habib bin Abdul Mukhit. Dari ayahnya ini beliau memiliki garis keturunan sampai kepada Pangeran Cakrajaya dan Pangeran Jayakarta. Adapun keturunan Guru Mansyur yang terkenal sekarang adalah da’i nasional Ustadz Yusuf Mansyur.
Selain itu Guru Mansyur muda juga berguru pada beberapa ulama masyhur Betawi seperti Haji Imam Mahbub, Imam Tabrani dan Imam Mujtaba di Meester Cornelis (Sekarang Jatinegara, Jakarta Timur). Nama terakhir ini dikenal dengan gelar Syaikhul Masyayikh yang artinya “dedengkot para ulama” karena kedalaman ilmunya.
Beliau kemudian berangkat ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama saat berusia 16 tahun. Empat tahun di tanah suci, beliau kembali ke tanah air dan mengajar di madrasah orang tuanya. Beliau juga mengajar di Jami’atul Khair, Pekojan. Di lembaga pendidikan yang didirikan oleh ulama Jakarta keturunan Hadhramaut Yaman ini, beliau kenal lebih dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan Islam dalam perjuangan kemerdekaan. Di antara andil Guru Mansyur bersama para tokoh Islam di Jakarta adalah mempertahankan Masjid Al Makmur Cikini dari pembongkaran tahun 1925.