Demikian di antara isi surat Hulagu.
Serta merta, Qutuz menghabisi keenam utusan Mongol. Kepala mereka digantung di dinding salah satu gerbang kota Kairo yang tersohor, Babul Zuwaila.
Maka, pada bulan Ramadhan tahun 1260 Masehi, pasukan Mongol dengan armada tidak kurang dari 20 ribu bertemu dengan pasukan Mamluk pimpinan panglima Baybars di lembah Ain Jalut, Palestina.
Muhib sadar, pemandangan di depan matanya hanya mimpi. Namun dia tak kuasa beranjak ke alam nyata. Keperkasaan Mamluk beradu dengan keganasan Mongol, begitu asyik ditonton. Debu membumbung ke angkasa, di antara pergumulan perang. Tebasan pedang yang menyabet baju zirah menimbulkan efek percikan api. Trang… trang.… Bunga api berpijar di mana-mana.
Pasukan Mongol dibantu oleh sekutunya; pasukan kerajaan Georgia dan Armenia termakan jebakan. Mereka sudah terkepung di atas kawasan perbukitan Ain Jalut.
Namun bukan Mongol namanya kalau menyerah begitu saja. Mereka berupaya lolos dengan memusatkan serangan ke sayap kiri barisan pasukan Islam. Hampir saja usaha mereka berhasil. Pasukan Muslim sudah hampir kewalahan menghadapi amukan Mongol.
Di saat kritis, Sultan Qutuz memacu kudanya ke tengah-tengah pasukan. Ia melepas helm bajanya agar para tentara bisa melihat wajahnya. Qutuz lalu berteriak nyaring, “Wa islamah, wa islamah…!” “Demi Islam! Demi Islam…!”. Sontak semangat pasukan di sayap kiri melambung, gemuruh pasukan Mamluk menyahut seruan itu. Muhib sampai terbawa suasana yang heroik tersebut, ikut-ikutan memekik sambil mengepal tangan ke atas. “Perasaan saya ketika itu ikut menggelora. Terbakar-bakar rasanya”
Akhirnya, sebagian besar tentara Mongol binasa. Kitbugha, panglima Mongol juga akhirnya tewas. Kitbugha juga termasuk salah satu aktor penting dalam penyerangan Mongol ke Baghdad, tahun 1258.
Ini kemenangan yang menentukan sejarah dunia. Kesultanan Mamluk di Kairo memang harapan terakhir untuk membendung arus Mongol.
“Sepertinya waktu tidur, arwah-arwah panglima Mamluk itu ikut masuk ke mimpi saya. Sayang mimpinya cuma sebentar,” kata Muhib menceritakan “perangnya” bersama tentara Mamluk.
Meski tidak percaya takhayul, bisa jadi Muhib benar. Sebab letak Masjid Farag ibn Barquq memang berada di tengah pemakaman raja dan orang-orang Mamluk. Sultan Farag sendiri meninggal dalam peperangan melawan Mongol di Suriah. Di Masjid ini hanya ada makan ayahandanya, Sultan Al Zahir Saifuddin Barquq. Barquq adalah pelopor dinasti Mamalik Burgi pada abad ke 14. Kata “Burgi” artinya menara. Julukan ini disematkan karena para penerusnya menjadikan benteng peninggalan Shalahuddin yang berada di ketinggian bukit sebagai pusat untuk menjalankan pemerintahan.