Mohon tunggu...
Ammyta Pradita Wardaningrum
Ammyta Pradita Wardaningrum Mohon Tunggu... -

hippo's addict || museum addict || the best you can't have

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Mahasiswa, Golput dan Kehilangan Suara, Salah Siapa?

10 April 2014   00:23 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:51 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, seluruh rakyat Indonesia merayakan pesta demokrasi, dengan memilih para calon legislatif untuk lima tahun ke depan. Mendapatkan empat jenis suara, pemilih harus menentukan satu wakil mereka untuk duduk di kursi DPR, DPRD Provinsi, DPD, DPRD Kota.

Yogyakarta merupakan salah satu daerah pemilihan yang memiliki jumlah pemilih pemula cukup banyak, jika dilihat dari jumlah mahasiswa yang melanjutkan studi di kota pelajar ini. Sayangnya, di hari ini banyak mahasiswa yang belum bisa menggunakan hak pilihnya. Kebanyakan dari mereka beralasan ditolak oleh TPS setempat karena tidak membawa form A5 yang dibutuhkan.

“Sebenarnya aku dibayarin untuk pulang terus ikut pemilu, tapi males ah, capek bolak-balik, ada tanggung jawab kerjaan juga” , kata Resti, mahasiswi UGM.

Kebanyakan dari mereka mengeluh tidak memiliki informasi yang cukup tentang pelaksanaan pemilu. Seperti informasi bagaimana mengurus surat-surat yang dibutuhkan untuk memilih di tempat rantau. Juga tentang batas pengurusan surat, yang membuat mereka terpaksa kehilangan hak suara mereka.

Lalu, siapa yang patut disalahkan? KPU yang kurang melakukan sosialisasi, pemerintah setempat (RT/Desa), atau sikap mahasiswa yang pasif?

Menurut pengamatan penulis, di TPS Blimbingsari, ada beberapa mahasiswa yang harus kembali dengan kelingking tidak berwarna ungu karena tidak bisa memilih. Meski beberapa merasa kecewa, ada juga yang merasa baik-baik saja dengan memilih golput(tidak memilih).

“Kalau aku sih emang malas milih, ga kenal juga sama calon-calonnya” , kata Tika.

Jika pun mereka mencoblos calon legislatif, mereka tidak memiliki referensi calon yang layak untuk dipilih. Kurangnya sosialisasi tentang para calon legislatif membuat mereka kebingungan, siapa yang harus dipilih, siapa yang layak, siapa yang dapat dipercaya. Akhirnya, mereka memilih untuk tidak memilih, meski konsekuensinya mereka harus menerima siapa pun yang akan menjadi pemimpin nantinya.

Setidaknya, evaluasi dari pemilu kali ini adalah KPU harus memprioritaskan adanya sosialisasi bagi pemilih pemula, karena jumlah mereka cukup menentukan hasil pemilu. Sosialisasi yang rutin tetap harus didukung dengan partisipasi aktif mahasiswa untuk turut mencari tahu siapa calon yang layak dipilih. KPU juga harus memperhitungkan para pemilih yang merantau, memudahkan proses pengurusan pemindahan data pemilih, sehingga mereka tidak kehilangan suaranya.

[caption id="attachment_319375" align="alignleft" width="300" caption="Pemilih memasukkan surat suara"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun