Mohon tunggu...
Dhanang Sukmana Adi
Dhanang Sukmana Adi Mohon Tunggu... -

Seorang Ayah satu anak, Suami dari Yulita Rusli R, Yang Pengen nulis saja di Kompasiana selain mengelola beberapa blog pribadi seperti di mysukmana.info

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Citarasa Nasi Liwet Asal Kota Solo yang Khas

17 April 2016   22:40 Diperbarui: 17 April 2016   22:50 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Tiga Piring Nasi Liwet"][/caption]

Ditempat saya berasal, siapa yang tidak tahu Nasi Liwet? #kotasolo merupakan kota kaya akan jajanan kulinernya yang khas salah satunya adalah Nasi Liwet. Nasi Liwet adalah kuliner yang terdiri dari nasi gurih (dimasak dengan kelapa) mirip nasi uduk, yang disajikan dengan sayur labu siam, ditambah dengan suwiran ayam (daging ayam dipotong kecil-kecil) dan areh (semacam bubur gurih dari kelapa). sebagai orang yang tinggal di karisidenan Surakarta atau kotasolo, makanan ini sudah tidak asing lagi bagi saya. 

orang-orang solo kota sudah biasa memakan nasi liwet setiap waktu mulai dari untuk sarapan, sampai makan malam. Nasi liwet biasa dijajakan keliling dengan bakul bambu oleh ibu-ibu yang menggendongnya tiap pagi atau dijual di warung lesehan (tanpa kursi) hingga dipinggir jalan baik pagi maupun malam hari. Bahkan hotel-hotel berbintang yang ada di kota Solo banyak yang menyediakan Nasi Liwet breakfast , hingga tamu tamu hotel yang berasal dari luar negeripun seperti bule-bule juga menyukai makanan ini. karena lebih terasa gurih dan tidak pedas. apalagi mereka orang barat tidak terlalu suka makanan yang terlalu pedas.

[caption caption="Bahan Sayur Untuk Nasi Liwet"]

[/caption]

Nasi liwet merupakan kuliner yang cukup unik di kota Solo, karena Nasi liwet terkenal dengan teksturnya yang pulen dan rasanya yang gurih. Rasa gurih ini muncul dari hasil rebusan nasi yang dimasak dengan cara dikaru (dituangi) dengan air santan kelapa. Keunikan lain dari nasi liwet juga terletak pada cara penyajiaannya yang menggunakan daun pisang sebagai pembungkus dan berfungsi sebagai suru-nya (sendok). Keberadaan nasi liwet kini sudah merambah di kota-kota sekitarnya, seperti Yogyakarta, Klaten, Boyolali atau Sragen. Bahkan tidak hanya hotel saja, banyak restoran mewah di kota-kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya) menjadikan nasi lewet khas Solo ini sebagai menu utama.

Bahkan sebanyak 30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia (IKTI) atau masakan khas Indonesia wajib diajarkan di seluruh sekolah pariwisata. dan selain rendang yang sudah terkenal di dunia, Nasi Liwet masuk salah satunya diantara 30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia. menurut Direktur pengembangan wisata minat khusus. Achyaruddin, penetapan 30 IKTI itu bertujuan untuk menyetandarkan nomenklatur kuliner tradisional Indonesia serta menyetandarkan resep dan proses kuliner tradisional Indonesia melalui dapur uji coba. “Ini juga sebagai upaya untuk mengembangkan kuliner Indonesia di pasar dunia di samping untuk melestarikan kekayaan kuliner tradisional kita,” katanya.

Sejarah atau asal muasal Nasi liwet sebenarnya berawal dari peringatan bulan maulud nabi, dimana setiap bulan maulud masyarakat solo rutin menggelar upacara selametan atau yang biasa disebut dengan (Kenduri). Upacara Selametan itu ditujukan untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW dengan harapan mendapatkan berkah. Dalam sumber tradisi lisan, konon utusan Gusti Pangeran itu gemar menyantap nasi samin. Di Karenakan orang Jawa tidak bisa memasak nasi samin, maka mereka membuat nasi yang menyerupai nasi samin, yakni nasi liwet.ika kita baca Serat Centhini (1814-1823), nasi liwet dihadirkan ketika Pulau Jawa diguncang gempa bumi. 

Oleh karena itu Nasi liwet dihadirkan dengan sebaris doa yang dilantunkan untuk keselamatan. Dalam naskah kono itu juga memuat kalimat: liwet anget ulam kang nggajih atau wus lumajeng ngarsi atau sadaya kemebul. dan sebuah cerita mengatakan dulu Paku Buwana IX (1861-1893) memborong nasi liwet untuk para pangrawit keraton. Ketika hendak pulang, para penabuh gamelan keraton disediakan makanan nasi liwet. Para pangrawit diminta makan supaya istrinya nanti tidak repot menyiapkan sarapan (di rumah).

Dari cerita ini, nasi liwet ternyata sejak dulu memang sudah termasuk kuliner khas pada jaman kerajaan Solo masih berjaya. Perjalanan wisata kuliner nasi liwet bergerak di dalam ruang yang berbeda dari masa ke masa, Nasi liwet sanggup bertarung di tengah arus kuliner beraroma modern. Kuliner lawas yang sederhana, sesederhana nasi liwet tidak kalah dengan kuliner yang dikemas mewah. Nasi liwet menerabas batas dan sekat-sekat sosial baik  kaya-miskin, pribumi-nonpribumi, dari orang kantoran hingga jalanan.

Didalam budaya Jawa, Nasi liwet mempunyai banyak makna bahkan menurut Mardiwarsito dalam buku Peribahasa dan Saloko Bahasa Jawa (1980), Nasi (bahasa Jawa: sego, sekul) sangat kaya pesan dan makna. menjelaskan beberapa pesan kultural tentang nasi (sego, sekul). Bisa dicontohkan ,bahwa  sekul pamit (nasi berpamit), yakni terlambat mengerjakan sesuatu dan tidak memperoleh upahnya. Suatu ajaran bagi kita tentang pentingnya kedisiplinan. Sekul urug (nasi timbunan) yakni segala sesuatu yang tiada faedahnya. Menimbun dengan nasi sama saja tindakan bodoh, bakal sia-sia karena akan lenyap.

Beberapa pesan dan makna dari sepincuk nasi ini menggambarkan luasnya implikasi atau efek sosial-kultural kedekatan manusia Jawa dengan nasi, bagian primer dari nasi liwet. Ekspresi kultural tersebut mengajarkan keutamaan hidup manusia tidak hanya urusan makan (muluk), namun juga mengungkap nilai-nilai lain yang kudu dijunjung terkait tindakan manusia dalam melakoni hidup dan kehidupan. Merawat kuliner khas Nusantara seperti nasi liwet tanpa beralas piring dengan duduk lesehan sama sekali tidak melunturkan derajat dan harga diri kita sebagai sebuah bangsa.

Oleh karena itu jika sedang memburu kuliner di kotasolo terutama Nasi liwet jarang sekali ditemui pedagang nasi liwet menyajikan makananya dengan piring, pasti penyajiannya menggunakan pincuk daun pisang. dan juga makanan ini disajikan dengan lesehan dipinggir jalan (nggelar kloso)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun