Saya sepakat dengan mereka yang mengatakan bahwa sidang sengketa pilpres 2024 di MK kemarin adalah merupakan pendidikan demokrasi Indonesia. Dalam hal ini, saya sepakatnya bukan karena demokrasi di Indonesia tidak berjalan dengan baik atau demokrasi Indonesia yang sudah rusak sebagaimana yang selama ini digembar gemborkan oleh banyak kalangan. Baik kalangan elit akademik yang meamang memiliki kapasitas untuk berbicara atau mengkritik demokrasi , maupun oleh orang yang biasa saja, seperti saya, yang mudah digiring informasi dan narasi kemudian melahirkan perspektif yang dangkal karena hanya ikut - ikutan tanpa melalui proses pemikiran yang matang.
Lebih jauh saya setuju dengan pernyataan para pakar maupun pihak yang terlibat bahwa esensi paling dalam dalam sidang sengketa pilpres 2024 di MK kemarin tidak lain adalah pendidikan sekaligus perbaikan demokrasi. Kenapa demokrasi harus terus di
didik, dibina dan diperbaiki secara terus menerus? Ya karena demokrasi itu memang bukan merupakan sebuah sistem atau prisnsip  bernegara yang ideal.
Jika kita mau mengatakan bahwa demokrasi Indonesia itu tidak berjalan dengan baik atau sampai pada kesimpulan bahwa demokrasi Indonesia sudah rusak, kita harus tahu juga bahwa sebenarnya sistem demokrasi itu sendiri, bukanlah sebuah konsep bernegara yang baik. Setidaknya ini bisa kita lihat dari salah satu kritikan, misalnya dari Plato yang menjelaskan sisi buruk dari demokrasi. Melalui alegori sebuah kapal, Plato mengungkapkan bahwa demokrasi itu bukan konsep yang ideal, setidaknya dalam hal memilih atau menentukan seorang pemimpin.
Dalam negara demokrasi, pemimpin yang terpilih adalah bukan orang yang benar - benar kompeten atau ahli dalam bidang kepemimpinan. Hal ini disebabkan demokrasi memberikan kebebasan kepada siapa saja  untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin. Mau itu pedagang, pekerja buruh, petani atau yang paling ekstrem sekalipun seperti mantan napi, alumni koruptor dan lain sebagainya. Siapapun, berhak maju untuk dipilih sebagai pemimpin. Tanpa memandang berbagai latar belakang - etnis, agama atau rekam jejak akademis.
Jadi, Dari sini saja, kita semestinya harus bisa terima hasil dari sebuah keuputasan pemilihan kemarin secara sadar. Siapapun yang menang - Mau itu orangnya kita anggap tidak layak dari beberapa aspek, tapi itulah yang dipilih mayoritas orang Indonesia.
Jika demokrasi itu dikatakan merupakan prinsip yang kurang bagus, lalu kenapa kita memilih demokrasi sebagai sistem atau perinsip bernegara? Apakah para pemikir bangasa, terutama para pendiri bangsa dahulu tidak mempertimbangkan keburukan demokrasi ini? Sayangnya, tidak sesederhana itu. Sebab setiap prinsip atau paham bernegara selalu memiliki kelebihan dan kekurangan. Mau itu demokrasi, komunis, liberal atau apapun itu, selalu ada sisi atau segi yang tidak semua orang bisa terima. Untuk Indonesia, yang merupakan sebuah negara yang heterogen dalam hal kultural, ras dan agama, demokrasi merupakan paham bernegara yang paling cocok.
Sebagaimana kita tahu, asas demokrasi seperti kebebasan bagi setiap orang untuk memilih, kebebasan untuk berpendapat dan kebebasan untuk memperoleh hak yang sama dihadapan hukum, semua dijamin melalui Undang - undang dengan karakter khas Pancasila. Dan ini memang cukup idel bagi bangsa Indonesia yang beraneka ragam suku dan budaya.
Pendidikan demokrasi.
Oleh karena sejak awal demokrasi itu bukan merupakan konsep yang ideal atau bisa dibilang paham dan sistem bernegara yang buruk - jika mengacu kepada pemikiran Plato itu,  maka hal - hal  seperti yang terjadi selama proses pesta demokrasi 2024 kemarin, dari awal sampai akhir harus ditelaah atau di cek secara hukum agar demokrasi itu berjalan sebaik - baik dan sebagaimana mestinya.
Apabila seperti yang terjadi dalam perkara sengketa pilpres di MK kemarin, misalnya adanya indikasi kecurangan, pelanggaran UU dan kode etik dari instansi terkait atau adanya indikasi tindakan nepotisme dan intervensi presiden dalam rangka memenangkan pasangan calon tertentu, maka memang sebagaimana yang dijanjikan oleh demokrasi itu sendiri untuk mendapatkan hak dan kepastian hukum bagi setiap orang. Hak untuk memperoleh keadilan bagi yang merasa ditindas. Dan yang terpenting agar kita tahu bahwa proses berdemokrasi khususnya pilpres 2024 sudah berjalan secara adil, jujur dan semuanya tunduk pada peraturan hukum.
Indikasi - indikasi sebagaimana yang diungkapkan diatas, apabila terbukti secara hukum, maka benarlah pernyataan - pernyatan dari beberapa orang  bahawa demokrasi Indonesia tidak berjalan dengan baik atau bahkan sudah rusak. Faktanya, setelah Mahkama Konstitusi mengeluarkan putusan yang menolak semua gugatan, baik dari pihak 01 maupun 03, maka untuk sementara, kita bisa membantah semua premis - premis yang selama ini menyudutkan dan menuduh pemerintah yang dianggap tidak menjalankan demokrasi dengan baik. Melanggar undang - undang, bahkan presiden dituduh melakukan tindakan nepotisme dan berbagai hal dan prasangka negatif terhadap pemerintah dan demokrasi Indonesia. Itu semua secara sah, tidak terbukti didepan hukum. Namun, ini bukan berarti demokrasi Indonesia tidak butuh untuk dibenahi secara terus menerus kedepan. Melainkan harus terus diperbaiki sehingga seluruh masyarakat Indonesi mencapai kehidupan yang sejahtra, adil dan memiliki hak  yang sama dalam kepastian hukum.