Mohon tunggu...
Yohanes Patrio
Yohanes Patrio Mohon Tunggu... Buruh - Pekerja Harian Lepas

* Seorang Kuli yang Mencoba Beropini. * Pegiat Filsafat, Sastra dan Budaya. * Blog : www.yokonikopinion.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Demokrasi, Sidang MK, dan Sikap Etis yang Kita Perlukan dalam Kehidupan Sehari-hari

25 April 2024   11:05 Diperbarui: 4 Mei 2024   22:08 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash


Saya sepakat dengan mereka yang mengatakan bahwa sidang sengketa pilpres 2024 di MK kemarin adalah merupakan pendidikan demokrasi Indonesia. Dalam hal ini, saya sepakatnya bukan karena demokrasi di Indonesia tidak berjalan dengan baik atau demokrasi Indonesia yang sudah rusak sebagaimana yang selama ini digembar gemborkan oleh banyak kalangan. Baik kalangan elit akademik yang meamang memiliki kapasitas untuk berbicara atau mengkritik demokrasi , maupun oleh orang yang biasa saja, seperti saya, yang mudah digiring informasi dan narasi kemudian melahirkan perspektif yang dangkal karena hanya ikut - ikutan tanpa melalui proses pemikiran yang matang.

Lebih jauh saya setuju dengan pernyataan para pakar maupun pihak yang terlibat bahwa esensi paling dalam dalam sidang sengketa pilpres 2024 di MK kemarin tidak lain adalah pendidikan sekaligus perbaikan demokrasi. Kenapa demokrasi harus terus di
didik, dibina dan diperbaiki secara terus menerus? Ya karena demokrasi itu memang bukan merupakan sebuah sistem atau prisnsip  bernegara yang ideal.

Jika kita mau mengatakan bahwa demokrasi Indonesia itu tidak berjalan dengan baik atau sampai pada kesimpulan bahwa demokrasi Indonesia sudah rusak, kita harus tahu juga bahwa sebenarnya sistem demokrasi itu sendiri, bukanlah sebuah konsep bernegara yang baik. Setidaknya ini bisa kita lihat dari salah satu kritikan, misalnya dari Plato yang menjelaskan sisi buruk dari demokrasi. Melalui alegori sebuah kapal, Plato mengungkapkan bahwa demokrasi itu bukan konsep yang ideal, setidaknya dalam hal memilih atau menentukan seorang pemimpin.

Dalam negara demokrasi, pemimpin yang terpilih adalah bukan orang yang benar - benar kompeten atau ahli dalam bidang kepemimpinan. Hal ini disebabkan demokrasi memberikan kebebasan kepada siapa saja  untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin. Mau itu pedagang, pekerja buruh, petani atau yang paling ekstrem sekalipun seperti mantan napi, alumni koruptor dan lain sebagainya. Siapapun, berhak maju untuk dipilih sebagai pemimpin. Tanpa memandang berbagai latar belakang - etnis, agama atau rekam jejak akademis.

Jadi, Dari sini saja, kita semestinya harus bisa terima hasil dari sebuah keuputasan pemilihan kemarin secara sadar. Siapapun yang menang - Mau itu orangnya kita anggap tidak layak dari beberapa aspek, tapi itulah yang dipilih mayoritas orang Indonesia.

Jika demokrasi itu dikatakan merupakan prinsip yang kurang bagus, lalu kenapa kita memilih demokrasi sebagai sistem atau perinsip bernegara? Apakah para pemikir bangasa, terutama para pendiri bangsa dahulu tidak mempertimbangkan keburukan demokrasi ini? Sayangnya, tidak sesederhana itu. Sebab setiap prinsip atau paham bernegara selalu memiliki kelebihan dan kekurangan. Mau itu demokrasi, komunis, liberal atau apapun itu, selalu ada sisi atau segi yang tidak semua orang bisa terima. Untuk Indonesia, yang merupakan sebuah negara yang heterogen dalam hal kultural, ras dan agama, demokrasi merupakan paham bernegara yang paling cocok.

Sebagaimana kita tahu, asas demokrasi seperti kebebasan bagi setiap orang untuk memilih, kebebasan untuk berpendapat dan kebebasan untuk memperoleh hak yang sama dihadapan hukum, semua dijamin melalui Undang - undang dengan karakter khas Pancasila. Dan ini memang cukup idel bagi bangsa Indonesia yang beraneka ragam suku dan budaya.

Pendidikan demokrasi.

Oleh karena sejak awal demokrasi itu bukan merupakan konsep yang ideal atau bisa dibilang paham dan sistem bernegara yang buruk - jika mengacu kepada pemikiran Plato itu,  maka hal - hal  seperti yang terjadi selama proses pesta demokrasi 2024 kemarin, dari awal sampai akhir harus ditelaah atau di cek secara hukum agar demokrasi itu berjalan sebaik - baik dan sebagaimana mestinya.

Apabila seperti yang terjadi dalam perkara sengketa pilpres di MK kemarin, misalnya adanya indikasi kecurangan, pelanggaran UU dan kode etik dari instansi terkait atau adanya indikasi tindakan nepotisme dan intervensi presiden dalam rangka memenangkan pasangan calon tertentu, maka memang sebagaimana yang dijanjikan oleh demokrasi itu sendiri untuk mendapatkan hak dan kepastian hukum bagi setiap orang. Hak untuk memperoleh keadilan bagi yang merasa ditindas. Dan yang terpenting agar kita tahu bahwa proses berdemokrasi khususnya pilpres 2024 sudah berjalan secara adil, jujur dan semuanya tunduk pada peraturan hukum.

Indikasi - indikasi sebagaimana yang diungkapkan diatas, apabila terbukti secara hukum, maka benarlah pernyataan - pernyatan dari beberapa orang  bahawa demokrasi Indonesia tidak berjalan dengan baik atau bahkan sudah rusak. Faktanya, setelah Mahkama Konstitusi mengeluarkan putusan yang menolak semua gugatan, baik dari pihak 01 maupun 03, maka untuk sementara, kita bisa membantah semua premis - premis yang selama ini menyudutkan dan menuduh pemerintah yang dianggap tidak menjalankan demokrasi dengan baik. Melanggar undang - undang, bahkan presiden dituduh melakukan tindakan nepotisme dan berbagai hal dan prasangka negatif terhadap pemerintah dan demokrasi Indonesia. Itu semua secara sah, tidak terbukti didepan hukum. Namun, ini bukan berarti demokrasi Indonesia tidak butuh untuk dibenahi secara terus menerus kedepan. Melainkan harus terus diperbaiki sehingga seluruh masyarakat Indonesi mencapai kehidupan yang sejahtra, adil dan memiliki hak  yang sama dalam kepastian hukum.

Pelajaran yang bisa diambil untuk kehidupan kita sehari - hari sebagai manusia

Ada dua hal yang menurut saya cukup menarik dan perlu kita ambil pelajaran terutama selama proses sidang di MK kemarin. Ini murni untuk kehidupan yang kita jalani sehari - hari. Dan saya tidak melihatnya dari perspektif hukum, etika maupun bidang keilmuan tertentu. Ini adalah sudut pandang pribadi saja dan tanpa dilandasi dengan teori - teori tertentu .

Contoh - contoh sederhana yang  dihadirkan tidak terkait dengan apapun dan siapapun, terutama pihak yang terlibat dalam proses sidang kemarin. Jadi bagian ini, mungkin tidak mengandung wawasan apa - apa. Tapi tidak apa - apa, toh tidak ada ruginya juga jika diteruskan untuk membaca.

1. Jangan tergesa gesa mengambil kesimpulan.

Kehadiran profesor Magnis Suseno sebagai ahli etika dalam sidang kemarin cukup menarik. Bukan pada pemaparan - pemaparan beliau terkait keahliannya dalam bidang etika untuk membantu hakim dalam menggambarkan apakah benar ada pelanggaran etika dalam proses pilpres 2024. Melainkan pada komentar atau kesimpulan sebagian masyarakat Indonesia yang menurut saya sangat tergesa - gesa untuk sampai pada kesimpulan bahwa presiden seperti seorang mafia dan pencuri.

Kesimpulan yang dihasilkan tidak melalui proses berpikir yang dalam. Jadinya, interpretasi dan narasi yang dibangun juga dangkal. Kenapa begitu? Karena menurut saya kehadiran ahli etika seperti Profesor Magnis Suseno disana harus dilihat sebagai bagian dari proses. Proses apa? Proses menemukan apakah benar secara hukum, presiden telah mengambil peran untuk memenangkan paslon tertentu. Bagaimana mungkin kita ambil kesimpulan sementara  prosesnya masih berjalan?.

Memang, pernyataan - pernyataan yang beliau sampaikan disana diungkapkan dalam bentuk premis - premis, yang menuntut pihak tertentu termasuk kita untuk menilai atau memberikan kesimpulan benar atau salahnya suatu dugaan - dalam hal ini nepotisme dan intervensi yang dilakukan presiden Jokowi dalam proses pemilu presiden 2024. Apakah kita  rakyat bisa mengambil kesimpulan dari pemaparan Prof. Magnis Suseno dalam sidang di MK kemarin itu?.

Jika pertanyaan itu ditanyakan sekarang - dimana semua kondisi dalam pernyataan beliau selama sidang tidak terpenuhi secara hukum melalui keputusan hakim, kita bisa menarik kesimpulan bahwa preremis - premis itu hanya bersifat dugaan.

Jadi kesimpulan dari kata "Jika" yang disampaikan Prof. Magnis suseno selama sidang, tidak berimplikasi terhadap sebuah kesimpulan sebagaimana yang dihasilkan sebagian orang selama periode sidang - misalnya presiden adalah ketua mafia dan pencuri di sebuah toko roti.  

Jika dianalogikan sebagai sebuah program, apa yang disampaikan Prof. Magnis selama proses sidang adalah merupakan kondisi - kondisi. Berupa if - if saja, hipotesa belaka. Nilai atau data untuk menjalankan program, itulah yang sedang dicari dalam sidang. Jika nilainya terpenuhi, maka programnya berjalan. Karena nilai atau data untuk bisa menjalankan program tidak terpenuhi, maka program untuk mindiskualifikasi paslon lain - misalnya begitu, sebagaiman permohonan pihak 01, tidak bisa berjalan. Program selesai, Prabowo - gibran sah Jadi presidan.

Jadi pesan yang mungkin kita dapat dari sini adalah, jangan tergesa - gesa untuk mengambil kesimpulan atau keputusan. Dalam hal apapun, yang berkaitan dengan kehidupan kita sehari - hari.

2. Jangan Mudah Berprasangka Buruk Dan  Menuduh  Sebelum Memiliki Bukti Yang Kuat.

Ada satu pernyataan dari para ahli dalam sidang kemarin yang menurut saya sangat penting untuk kehidupan kita sehari hari. Jadi, ini tidak harus dikaitkan dengan sidang sengketa pilpres 2024 di MK kemarin itu. Tapi murni berkait dengan kehidupan kita sehari hari, dengan sifat kita manusia yang cenderung berprasangka dan menuduh - nuduh bahakan sebelum kita memiliki bukti yang cukup.

Misalnya, kita bertetangga dengan sesorang yang penampilannya mirip preman atau pencuri. Ketika dalam rumah kita terjadi kehilangan barang, kita bisa saja berprasangka dan menuduh tetangga kita tanpa bukti yang kuat. Hanya berdasarkan asumsi dan perspektif pribadi. Jikapun ada bukti, mungkin itu hanya tetangga lain yang melihat orang yang kita maksud, berkeliaran diseputar rumah tempat kita tinggal. Lalu kita semakin yakin bahwa pencurinya adalah dia, tetangga kita yang mirip preman itu. Ini akan sangat fatal apabila kita hendak menjadikan ini sebuah perkara dan memutuskan untuk membawanya ke meja hijau. Tanpa bukti yang kuat, dalil yang tidak akurat dan komprehensif, mustahil hakim akan mengabulkan permohonan kita.

Sebagaimana kata profesor Edward Omar Sharif Hiariej, salah satu ahli hukum dalam sidang MK kemarin bahwa bukti harus selalu lebih terang daripada cahaya. Bagitu pula untuk kehidupan kita terutama dalam lingkungan sosial dan bermasyarakat. Sebelum menuduh dan berprasangka buruk terhadap orang lain, pastikan kita melihat dengan mata kepala sendiri. Jika tidak, itu akan berakhir sebagai sebuah fitnah. Dan fitnah selalu lebih kejam dari membunuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun