Sama seperti cerita lalat dan kupu - kupu itu. Lalat bukannya tidak tahu, jika nektar lebih manis daripada sampah. Tapi dia juga sadar, nektar bukanlah makanannya melainkan santapan favorit kupu - kupu. Meskipun sampah bau, tidak enak dan tampak menjijikan, tapi itu adalah makanan pokok lalat. Ia juga tidak iri meski menyaksikan langsung keindahan mutualisme  antara bunga dan kupu - kupu. Juga tidak minder ketika tahu bahwa kupu - kupu mampu terbang lebih tinggi dari dirinya. Dan mau diyakinkan dengan seribu satu dalilpun, lalat tidak akan goyah dengan pendiriannya.  Dari situlah kemudian jati diri dia dibangun. Dari telur hingga menjadi lalat dewasa, ia tetaplah lalat. Hidup tenang tanpa masalah sebab ia enggan memakai topeng hanya untuk memperoleh apa yang sebenarnya tidak ia butuhkan.
Kita boleh sedikit playing victim, bahwa  hari ini, kita adalah korban dari marak dan dahsyatnya perkembangan teknologi informasi . Digitalisasi yang membabibuta, menusuk dan masuk dalam berbagai bidang seperti hiburan, fashion, olahraga, keuangan dan termasuk menu makanan yang sehari - hari kita konsumsi, telah merasuki dan dan mencemari kehidupan dan jati diri kita. Dan sebagian dari kita, gagal membentengi diri  dari arus digitalisasi yang sangat deras itu.
Tidak perlu repot - repot mencari contoh. Saya pribadi adalah contoh terbaik  dengan kehidupan masa lalu bersama teman - teman dan keluarga. Satu sample yang bisa dijadikan contoh dari apa yang saya anggap dari diri saya sudah terdistorsi oleh aspek diluar kehidupan saya - dalam hal ini digitalisasi dan kemajuan  zaman adalah makanan. Ini contoh kecil saja. Karena saya sangat tertarik dengan satu ungkapan yang entah saya dapatkan dari mana bahwa, " we are what we eat". Kita adalah apa yang kita makan, yang kita konsumsi. Dan konotasinya bisa macam - macam, tidak hanya sebatas pada makanan dan minuman. Bisa saja berita yang kita konsumsi, tontonan atau hiburan, atau mungkin omongan dan pola pikir lingkungan sekitar kita juga dikonsumsi yang bisa berpengaruh dalam membentuk pertumbuhan dan perkembangan hidup kita. Anda mungkin memiliki contoh yang sesuai dengan pengalaman dan kehidupan Anda sendiri.
Sebagai orang yang berasal dari sebuah desa terpencil, makanan seperti jagung dan umbi - umbian adalah jenis makanan favorit sekaligus makanan pokok yang selalu ready disetiap jam makan. Entah itu makan pagi, makan siang ataupun makan malam.
Pagi hari, menunya adalah jagung goreng tanpa minyak ditemani daun kacang panjang. Plus segelas kopi pahit. Bahasa Manggarai untuk jenis makanan ini adalah Latung cero pareng saung tago agu kopi paiit.
Siangnya, antara  ubi jalar atau atau keladi. Orang lain mungkin menyebutnya telo dan talas. Yang ini, biasa disebut  tete raja dan teko. Kadang - kadang untuk teko, bisa diolah menjadi ute kut dengan menambahkan jagung dan sedikit pucuk daun kopi. Ini semacam sayuran tapi sarat akan karbohidrat. Ya maklum, siang hari kami biasanya kerja banting tulang di kebun. Jadi memang harus diasupi banyak karbohidrat agar sedikit bertenaga.
Untuk malamnya, cukup sederhana karena memang  tidak membutuhkan banyak  energi untuk pergi tidur malam. Kalau bukan daeng tengger ya muku kengkar. Ini untuk menyebut sejenis ubi  kayu (ketela / singkong) yang gagal  mendapatkan vitamin dan protein yang baik didalam tanah pada saat pertumbuhan. Kemungkinan besar hal ini terjadi karena lahan atau tanah tempat ubi ditanam tidak memiliki kandungan atau zat hara yang subur. Jadi ubinya tidak tumbuh dengan baik. Selain itu, faktor lain dipengaruhi oleh curah hujan yang berlebih. Jadilah ubi yang dipanen, bukan berisi karbohidrat melainkan kandungan airnya tinggi dan sangat tidak enak untuk dikonsumsi.
Sedangkan muku kengkar adalah pisang yang seharusnya belum waktunya untuk dipanen, namun karena terdesak kekurangan makanan, ia terpaksa diambil lebih dini dari waktu panen yang seharusnya. Dan Anda tahu?  Meski makanan - makanan itu  tergolong makanan kelas paling bawah jika merujuk pandangan masyarakat sekarang ( termasuk saya pribadi), tapi pada saat itu, tidak  ada yang menyebutnya dengan label yang sama. Juga  tetangga dan orang - orang disekitar . Sebab  dari rumah ke rumah, rata - rata mengonsumsi hidangan yang serupa setiap hari.
Kini waktu sudah lama berlalu. Dan sejauh kaki melangkah berikut dengan pengalaman yang bertambah untuk mengejar laju cepatnya zaman berubah, perbedaan mulai dirasakan. Kerinduan akan masa lalu yang sempat dianggap sesuatu yang jauh dari kata kehidupan yang indah dan menyenangkan itu kian menerpa. Dan ditengah kerinduan itu pula kehidupan saat ini dengan segala "lifestylenya" mulai dipertanyakan.
Jika dulu makanan sederhana dengan 99% karbohidrat itu bisa mengenyangkan sekaligus menyenangkan, lantas kenapa sekarang diganti sepiring nasi dengan berbagai jenis lauk - pauk yang kaya akan vitamin dan protein justru tidak bisa dinikimati sungguh - sungguh? Kenapa dulu setelah makan hanya ditutup segelas air putih dan kadang juga kopi pahit, tapi setelah itu dopamin untuk mendukung semangat kerja pada hari itu begitu tinggi,  sementara sekarang setelah makan harus ditutup dengan segumpal asap dan terkadang lesu jika tidak menarik dan menghembuskannya? Jika dulu alkholol ( tuak )  dikonsumsi hanya ketika mengikuti  ritual adat, kenapa sekarang justru jadi rutinitas malam minggu dan pelengkap dalam perayaan kegembiraan yang terkadang lepas dari tujuannya, malah melahirkan kericuhan dan kekacauan bahkan di tanah orang sekalipun, tidak dipandang bulu ?.
Cerita lalat dan kupu - kupu diawal tadi, seharusnya merupakan sebuah kisah yang  patut untuk dijadikan bahan untuk merenung dan berkaca. Lalat tentu saja tidak sadar dirinya adalah seekor lalat. Juga ia tidak tahu jika sampah itu sebenarnya bau dan menjijikan. Dan ia pun tidak tahu  bahwa kehidupannya sedang diamati dan dibanding - bandingkan oleh sesuatu diluar dirinya, termasuk identitasnya sebagai lalat. Â